Xavier remaja dingin yang hidup dalam keluarga penuh rahasia, dipertemukan dengan Calista—gadis polos yang diam-diam melawan penyakit mematikan. Pertemuan yang tidak di sengaja mengubah hidup mereka. Bagi Calista, Xavier adalah alasan ia tersenyum. Bagi Xavier, Calista adalah satu-satunya cahaya yang mengajarkan arti hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona Jmn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Layar
Jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Xavier kembali bangun dari tidurnya—entah sudah berapa kali sejak tadi malam. Ia menggerakkan tubuh, menghela napas pendek, lalu menatap sekeliling kamar luasnya di mansion sang opa yang masih diliputi keheningan.
Ting!
Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Xavier meraihnya dengan cepat. Sebuah tautan dari Opa Arya terpampang di layar. Tanpa ragu, ia membukanya. Isinya berupa daftar tugas dan catatan penting: bagaimana menjadi pemimpin yang tangguh, cara memperhatikan bawahan, hingga strategi untuk menjaga wibawa keluarga.
Tak ada rasa terkejut di wajah Xavier—hal seperti ini ia sudah perkirakan. Justru matanya berkilat penuh semangat, seakan semakin termotivasi untuk mempelajari semua itu.
Ia bangkit dari tempat tidur, lalu duduk di kursi depan meja belajarnya. Laptop hitam di hadapannya ia nyalakan. Begitu layar menyala, seulas senyum muncul tanpa ia bisa tahan—gambar Calista yang imut terpampang jelas, foto yang ia ambil diam-diam.
"Dasar si polos," gumamnya rendah.
Tangannya segera bergerak di atas keyboard, mengetik dengan fokus penuh. Sorot matanya yang tajam seakan menyimpan ambisi besar, menyatu dengan rasa hangat yang diam-diam hadir setiap kali bayangan Calista melintas dalam benaknya.
•○•
Di kediaman Valerius, Bela terbangun lebih awal dari biasanya. Ia menoleh sekilas ke samping—suaminya masih tertidur pulas, napasnya teratur, wajahnya damai. Bela perlahan bangkit dari ranjang, meski punggungnya terasa pegal setelah semalam menuruti hasrat sang suami.
"Punggung gue..." gumamnya lirih sambil memijat pelan bagian pinggang.
Ia berjalan menuju lemari khusus milik suaminya. Jemarinya menyapu setiap sisi laci, mencari sesuatu. "Di mana sih kuncinya..." gerutunya dengan nada kesal. Tatapannya sempat kembali pada suaminya yang terlelap. Sebuah senyum miring menghiasi wajahnya.
"Untung gue udah servis dia," bisiknya pelan, puas dengan dirinya sendiri.
Beberapa menit berselang, matanya berbinar. "Akhirnya." Ia menemukan kunci yang ia cari. Dengan cepat ia membuka lemari, merapikan berkas-berkas yang sebelumnya berantakan, lalu menutupnya kembali dengan hati-hati.
Sebelum keluar, ia memastikan sang suami masih terlelap. Dengan langkah ringan namun waspada, Bela mengendap ke pintu. Begitu pintu kamar tertutup, ia menghela napas lega dan segara melangkah menuju kamar di ujung lorong.
Klik! Pintu terbuka, dan Bela masuk. Tatapannya tajam saat melihat putranya masih pulas di atas ranjang. Ia mendekat, lalu mengguncang lengannya dengan kasar.
"Adrian, bangun."
Pemuda itu mengerjap pelan, lalu menatap sinis pada ibunya. "Ada apa sih, Mom? Adrian ngantuk, tahu."
"Mommy gak peduli. Sekarang bantu Mommy cari berkas Daddy kamu," tegas Bela dingin.
Adrian melirik jam dinding, mendengus kesal. "Mom, ini jam tiga pagi. Nggak bisa besok aja?" Ia hendak menarik kembali selimut, tapi Bela sudah lebih dulu merenggutnya kasar.
"Adrian, kamu mau Papa kamu marah? Kita harus dapatkan berkas itu kalau mau kembali ke dia!" ucapnya tajam.
Adrian berdecak, wajahnya malas setengah mati. "Iya, iya..." akhirnya ia bangkit dengan enggan.
"Sekarang cuci muka. Cepat! Mommy tunggu di luar." Suara Bela terdengar tegas, tak memberi ruang untuk membantah. Ia lalu berbalik, meninggalkan kamar putranya dengan langkah angkuh.
••
Suara pintu berderit pelan saat terbuka. Adrian dan Bela melangkah masuk ke dalam ruang kerja Leo, atmosfernya langsung terasa berat dan penuh wibawa.
Ruangan kerja di rumah itu tampak megah dengan dinding berlapis kayu cokelat gelap yang dipoles mengilap. Sebuah meja besar dari marmer hitam berdiri kokoh di tengah ruangan, dihiasi lampu gantung kristal yang memancarkan cahaya hangat. Rak buku tinggi memenuhi sisi ruangan, menampilkan koleksi buku langka dan botol anggur mahal. Lantai berkarpet tebal meredam langkah, sementara jendela besar dengan tirai beludru merah marun menambah kesan berwibawa. Semua tertata rapi, memancarkan aura berkelas dan penuh kuasa.
"Adrian, kamu sudah sabotase CCTV, kan?" tanya Bela sambil melirik putranya.
"Iya, Mom. Tenang saja, soal sabotase aku juara," jawab Adrian penuh percaya diri.
"Bagus. Sekarang kita cari berkas itu. Jangan sampai ada terlewat," tegas Bela.
Adrian mengangguk singkat. "Iya, Mom."
Mereka pun berpencar, mengobrak-abrik setiap sudut ruangan. Namun tanpa mereka sadari, sepasang mata tengah memperhatikan gerak-gerik mereka dari balik layar. Ada sebuah CCTV kecil tersembunyi di balik lemari kaca, tersamarkan seolah hanya pajangan biasa.
"Sampai kapan pun kalian mencari, kalian takkan pernah mendapatkannya," ucap sosok itu dengan senyum sinis, menatap berkas yang sudah lebih dulu ada di tangannya.
"Mom, nggak ada," keluh Adrian frustasi setelah hampir satu jam berlalu tanpa hasil.
"Di mana sih dia sembunyikan berkas itu?!" desis Bela dengan nada kesal.
Adrian tiba-tiba menghentikan langkahnya. "Mom, tunggu..."
Bela menoleh cepat. "Apa maksudmu?"
"Berkas sepenting itu nggak mungkin disimpan di ruang kerja biasa seperti ini," jelas Adrian serius.
Bela terdiam, kata-kata putranya terdengar masuk akal. Keduanya saling pandang sebelum serentak berucap pelan—
"Di kantor."
•○•
Meja makan panjang itu dipenuhi aroma sarapan hangat. Roti panggang tersusun rapi di atas piring porselen, ditemani selai dan buah segar yang menggoda mata. Asap tipis dari kopi hitam mengepul, berpadu dengan cahaya pagi yang menembus tirai tipis, menghadirkan suasana hangat namun berwibawa. Kursi-kursi berlapis kulit tersusun teratur, seolah menanti percakapan kecil yang akan mengiringi pagi.
"Sayang, tumben kamu telat bangun," ucap Oma Saras sambil menatap cucunya yang baru menghampirinya.
"Xavier nggak bisa tidur semalam, Oma," jawab Xavier, lalu duduk di kursinya. "Opa sudah ke kantor?" tanyanya saat tak melihat sosok sang kakek.
"Iya, Sayang. Katanya ada rapat mendadak," jawab Oma Saras sambil menyodorkan segelas susu.
"Terima kasih, Oma." Xavier meneguknya hingga tandas, lalu bangkit dari duduknya.
"Xavier berangkat dulu."
"Oma sudah siapkan bekal untukmu. Oma tahu kamu pasti akan melewatkannya," ucap Oma Saras penuh perhatian.
Awalnya Xavier enggan menerimanya, namun mengingat Calista yang gemar makanan sehat, ia pun mengambilnya. "Makasih, Oma."
"Iya, Nak." Oma Saras tersenyum lembut, menatap kepergian cucunya dengan haru. Perlahan ia berbisik lirih, seakan berbicara pada seseorang yang tak lagi ada.
"Angel... kamu tak perlu khawatir, Mama dan Papa akan menjaga Xavier."
♡♡○♡♡
"Xavier ke mana sih? Apa dia nggak masuk sekolah?" gumam Calista sambil berdiri di ambang pintu kelas, matanya terus melirik ke arah koridor. Sisa beberapa menit lagi bel masuk berbunyi, namun bayangan Xavier tak kunjung terlihat.
"Al..." sapa Calista saat melihat Alvaro baru saja melangkah masuk.
"Hai, gadis manis," ucap Alvaro dengan senyum menggoda. Namun, Calista menanggapinya biasa saja.
"Al, kamu nggak bareng Xavier?" tanya langsung.
"Cie, ada yang nyariin, nih," bukannya menjawab, Alvaro malah menggoda. Pipi Calista memerah, senyum malu pun tak bisa ia tahan.
"Apaan sih, Al? Calista serius, tahu!" ucapnya dengan nada kesal, meski wajahnya justru tampak menggemaskan.
Alvaro terkekeh kecil, hendak menjawab, tapi langkahnya terhenti ketika seseorang tiba-tiba menghampirinya dan berbisik di telinganya. Wajah Alvaro sontak berubah serius. "Xavier..." desisnya, sebelum berbalik dan berlari meninggalkan kelas.
Mendengar nama itu disebut, dada Calista ikut berdebar. Kepanikan langsung menyeruak, pikirannya penuh tanda tanya. Ia ingin mengejar, tapi bel pelajaran pertama keburu berbunyi, bersamaan dengan masuknya Ibu Mawar ke dalam kelas.
"Aduh... gimana ini?" Calista menggigit bibir, hatinya bimbang. Di satu sisi ia khawatir pada Xavier, di sisi lain pelajaran sudah dimulai. Namun, hanya butuh sedetik baginya untuk mengambil keputusan.
"Ah, Vier lebih penting," ucapnya lirih, lalu segara berlari keluar, mengikuti arah Alvaro.
jangan lupa Vote😭🫡🙏🥰