Doni, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef bagi Naira Adani aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 1. UNDIAN TAKDIR
..."Kadang keberuntungan datang bukan untuk memberi hadiah, tapi untuk menguji seberapa jauh seseorang berani bertahan."...
...---•---...
Doni Pradipta tidak pernah percaya pada keberuntungan, apalagi mukjizat. Baginya, hidup adalah serangkaian pilihan sulit, kerja tanpa henti, dan bencana yang datang tanpa diundang. Jadi, ketika ponselnya berdering di tengah kesibukannya memotong bawang bombai pagi itu, ia bahkan tidak berniat mengangkatnya.
"Pak, teleponmu!" seru Andi. Spatula di tangannya terayun saat ia berlari kecil menghampiri. Suaranya hampir tenggelam dalam dentingan wajan dan desisan kompor gas yang menyala di lima tungku sekaligus.
"Nanti!" Pisau Doni bergerak cepat di atas talenan. Bawang bombai jatuh menjadi potongan kecil yang rapi, ukurannya sama rata. "Bawang bombai harus dipotong sama besar supaya matangnya merata." Ia pernah mengatakannya berkali-kali pada anak buahnya. Hal kecil seperti itu yang membedakan makanan biasa dengan rasa yang diingat orang.
"Tapi ini dari nomor 021! Jakarta!" Andi sudah sampai di sisinya. Ponsel di tangannya bergetar keras, layarnya menyala terang dengan nomor tak dikenal berkode area ibu kota.
Doni menghela napas. Ia meletakkan pisau, lalu meraih ponsel itu dengan tangan yang masih berbau pedih bawang.
"Halo?"
"Selamat pagi, apakah ini Bapak Doni Pradipta?" Suara perempuan di seberang terlalu ceria untuk pukul tujuh pagi yang penuh asap dapur.
"Ya. Ada apa?"
"Perkenalkan, saya Tania dari PT Kulina Rasa Sejahtera. Kami menghubungi untuk menyampaikan kabar gembira, Pak Doni."
Doni mengangkat alisnya. Kabar gembira? Dalam dua tahun terakhir, satu-satunya kabar dari nomor tak dikenal adalah tagihan tertunda atau pemasok yang mengancam.
"Kabar gembira macam apa?"
"Bapak memenangkan hadiah utama program undian *Personal Chef untuk Selebriti Selama 1000 Hari* yang kami sponsori!"
Doni terdiam. Di belakangnya, Andi berhenti mengaduk saus bolognese. Bahkan bunyi spatula yang membentur wajan ikut berhenti.
"Maaf, mungkin salah sambung. Saya tidak pernah ikut undian apa pun."
"Bapak mengisi kupon undian saat membeli paket bumbu dapur premium kami tiga bulan lalu di supermarket. Ingat? Kupon berwarna emas?"
Tiga bulan lalu. Doni mencoba mengingatnya melalui rutinitas harian yang padat. Ia memang pernah mengisi selembar kertas asal-asalan sambil menunggu di kasir. Nama, nomor telepon, selesai. Ia bahkan tak membaca hadiahnya apa.
"Oh, itu..." Doni menggaruk kepalanya. "Tapi saya tidak yakin bisa..."
"Hadiahnya senilai delapan ratus juta rupiah, Pak Doni. Kontrak seribu hari sebagai personal chef untuk selebriti ternama. Gaji dua puluh juta per bulan, sudah termasuk akomodasi dan fasilitas lengkap. Bonus dua ratus juta di akhir kontrak."
Delapan ratus juta rupiah.
Angka itu terngiang di kepala Doni seperti gema. Matanya melirik sekeliling restoran mungilnya. Cat dinding mengelupas di sudut-sudut ruangan, meja kayu penuh goresan pisau dan noda kopi yang sudah meresap, beberapa kursi plastik diganjal kardus supaya tidak goyang. Dapur Sari, restoran yang ia bangun kembali dengan sisa tabungan dan pinjaman bank setelah kebakaran lima tahun lalu menghabiskan segalanya. Termasuk Sari, tunangannya, yang terjebak di dalam dapur saat api merembet dari kompor yang meledak.
Delapan ratus juta bisa melunasi setiap utang. Bisa memperbaiki restoran ini. Bisa membayar gaji karyawan yang sering ia tunda. Bisa menyelamatkan Dapur Sari dari ancaman penutupan bank yang terus menghantuinya tiga bulan terakhir.
"Pak Doni masih di sana?"
"Ya, maaf. Ini... terlalu mendadak."
"Kami paham, Pak. Tapi ini kesempatan sekali seumur hidup. Klien Bapak adalah Naira Adani."
Tangan Doni mencengkeram ponsel.
Naira Adani. Aktris papan atas yang wajahnya terpampang di mana-mana. Tetapi Doni juga tahu berita terakhir tentangnya: skandal perceraian yang mengisi setiap media gosip, foto-fotonya yang kurus dan pucat, mantan suami yang memberi pernyataan seolah Naira penyebab masalah. Lalu Naira menghilang, meninggalkan keheningan yang membuat media semakin banyak berspekulasi.
"Pak Doni, kami butuh konfirmasi dalam dua hari. Kontraknya akan dimulai minggu depan. Semua akomodasi sudah disiapkan. Bapak hanya perlu membawa keahlian memasak dan profesionalisme."
"Boleh saya pikir-pikir dulu?"
"Tentu, Pak. Tapi jangan terlalu lama. Kalau Bapak menolak, kami harus menghubungi pemenang cadangan. Ini email konfirmasinya." Tania menyebutkan alamat email dengan nada tetap ramah. "Kami tunggu kabar baiknya. Selamat pagi."
Sambungan terputus.
Doni menatap ponselnya yang kini gelap. Di sekelilingnya, dapur kembali riuh. Andi melanjutkan mengaduk saus, kompor mendesis, pesanan sarapan berdatangan. Tapi Doni masih berdiri di sana, pisau di tangan, terjebak di persimpangan yang baru terbuka. Bau bawang bombai masih menempel di jari-jarinya, menyengat hidung setiap kali ia mengusap wajah.
"Itu undian apa, Chef?" tanya Andi sambil menuang saus bolognese di atas piring pasta.
"Personal chef untuk selebriti. Seribu hari."
"Seribu hari?!" Andi nyaris menjatuhkan piringnya. Saus merah hampir tumpah ke lantai. "Gila! Itu hampir tiga tahun! Siapa selebritinya?"
"Naira Adani."
Piring di tangan Andi benar-benar hampir jatuh kali ini. "Naira Adani? Yang baru cerai itu? Astaga, Chef! Itu kesempatan bagus banget!"
Kesempatan bagus. Semua orang bicara tentang kesempatan bagus. Tapi Doni tahu, setiap kesempatan punya harganya. Dan harganya tidak selalu soal uang.
"Kamu bakal ambil, kan, Chef?" Andi menatapnya dengan mata penuh harap. "Gajinya pasti besar. Bisa buat benerin restoran ini."
Doni tidak menjawab. Ia kembali ke talenannya, memotong bawang yang tersisa dengan gerakan mekanis. Pisau beradu dengan talenan kayu, bunyi ketukan yang biasanya menenangkan kini terasa memaksa.
Seribu hari jauh dari restoran ini. Dari dapur yang ia bangun kembali. Dari foto Sari yang tergantung di dinding dekat kasir, tersenyum lebar dengan apron bertuliskan "Chef Terbaik".
Tapi juga seribu hari untuk membayar segala sesuatu agar kenangan itu tidak hilang selamanya.
...---•---...
Malamnya, setelah restoran tutup dan semua pulang, Doni duduk sendirian di meja sudut. Lampu neon di langit-langit berdenging pelan, suara jangkrik dari luar masuk lewat ventilasi yang rusak. Di hadapannya terbuka laptop tua dengan layar retak di pojok. Email dari PT Kulina Rasa Sejahtera sudah masuk, lengkap dengan berkas kontrak yang harus ia baca.
Jari-jarinya bergerak di atas touchpad, membuka file PDF. Huruf-huruf di layar terlihat tajam, setiap kata seperti paku yang menancap perlahan.
KONTRAK PERSONAL CHEF UNTUK KLIEN SPESIAL
Pihak Pertama: PT Kulina Rasa Sejahtera (penyelenggara program)
Pihak Kedua: Doni Pradipta (pemenang undian)
Pihak Ketiga: Naira Adani (klien)
Doni membaca pelan, satu pasal demi pasal. Pasal-pasal awal hanya membicarakan durasi dan kewajiban standar memasak. Lalu, nada kontrak itu berubah. Kalimat-kalimatnya makin dingin, makin mengikat seperti borgol yang dikencangkan perlahan.
Pasal 12: Batasan Profesional
Personal chef dilarang keras menjalin hubungan personal di luar konteks pekerjaan dengan klien. Tidak ada kontak fisik yang tidak perlu. Tidak ada percakapan yang terlalu pribadi atau mengganggu privasi klien.
Tidak boleh terlibat secara perasaan. Kalimat itu tertulis tebal dan digarisbawahi, seperti peringatan keras yang ditempelkan di dinding sel tahanan.
Lalu datang bagian terakhir yang paling berat.
Pasal 23: Kerahasiaan Mutlak
Personal chef wajib menandatangani perjanjian kerahasiaan dan tidak boleh membocorkan informasi apa pun tentang klien kepada pihak ketiga, termasuk media, keluarga, atau teman. Pelanggaran akan dikenakan denda sebesar lima ratus juta rupiah serta tuntutan hukum.
Lima ratus juta. Lebih besar dari semua utangnya digabung.
Ini bukan sekadar kontrak pekerjaan. Ini adalah penjara sukarela dengan bayaran mewah.
Ia terus membaca sampai akhir. Ada lima puluh pasal. Setiap pasal membuat ruang geraknya makin sempit. Tidak boleh membawa tamu, tidak boleh mengunggah apa pun di media sosial, tidak boleh menerima pekerjaan lain, tidak boleh keluar rumah klien tanpa izin tertulis. Bahkan waktu istirahatnya diatur: maksimal enam jam tidur per hari, harus siap dipanggil kapan saja jika klien membutuhkan.
Doni menutup laptopnya. Layar meredup perlahan, meninggalkan pantulan wajahnya yang lelah di permukaan hitam. Ia memijat pelipis yang berdenyut kencang, napasnya keluar panjang seperti mengeluarkan beban yang tersangkut di dada.
Kenapa kontraknya seketat ini?
Kenapa Naira Adani butuh personal chef dengan aturan seperti seorang tahanan?
Di luar, langit sudah gelap pekat. Hanya lampu jalan yang menyala redup, menerangi jalan sepi di depan restorannya. Doni menatap foto Sari di dinding. Senyumnya yang lebar, matanya yang berbinar, tangannya yang mengacungkan jempol.
"Apa yang harus aku lakukan, Sari?" bisiknya pelan. Suaranya hilang di dalam keheningan malam, ditelan oleh dengung lampu neon yang makin keras.
Tidak ada jawaban. Hanya angin malam yang masuk lewat celah pintu, membawa bau asap sisa masakan dan aroma kopi yang sudah dingin di cangkir di sebelahnya.
...---•---...
...Bersambung...