NovelToon NovelToon
KEPALSUAN

KEPALSUAN

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Misteri / Action / Persahabatan / Romansa
Popularitas:217
Nilai: 5
Nama Author: yersya

ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 26

Luna menahan sakit saat merasakan pergelangan tangannya mulai mati rasa. Rantai-rantai yang melilit tubuhnya menarik dengan kekuatan yang seperti ingin meremukkan tulang. Sensasi panas–dingin bercampur di kulitnya. Bernapas saja sudah menyiksa.

Tapi ia tidak butuh gerakan besar.

Hanya perlu…

sedikit darah.

Tetesan darah dari luka di lengannya jatuh perlahan. Dengan jeda nafas yang putus-putus, Luna menariknya dengan niat. Tetesan itu bergetar di udara, lalu terangkat pelan, seolah gravitasi tidak lagi menyentuhnya. Warnanya berkilau seperti serpihan rubi yang diberi nafas.

Rantai di tubuh mereka mencekik lagi—ketat, menyakitkan—dan Kelvin batuk keras karena dadanya ditekan seperti sedang diperas.

Mereka tidak punya banyak waktu.

“Dengar… kan aku…” bisiknya dengan suara yang hampir hilang.

“Aku buat… jalurnya. Kau… ledakkan.”

Kelvin mengangguk, samar namun tegas. Meski petirnya terus meredup karena dirampas rantai, percikan kecil masih menari di kulitnya. Sedikit, tapi cukup untuk menyakiti.

Luna hanya bisa menggerakkan tiga jari.

Tapi tiga jari itu lebih dari cukup.

Ia mengarahkan tetesan itu.

Darah itu merambat seperti garis merah yang merayap di sepanjang rantai—menuju pergelangan, menuju lingkar di dada, menyelinap di celah-celah logam, menyusuri rantai yang membelenggu mereka.

Dari sudut pandang Ari, itu hanyalah cahaya mungil yang tampak tidak berbahaya.

Ia bahkan tersenyum kecil.

“Menurutmu… itu bisa memotong rantai milikku?”

Luna tersenyum kembali—senyum kecil yang letih, tapi penuh kalkulasi tajam.

“Tidak,” bisiknya.

“Aku tidak perlu memotongnya.”

Ia menatap Kelvin.

“…Sekarang.”

Petir meletup.

Bukan ledakan besar.

Justru sebaliknya—kilatan pendek, presisi, brutal.

Petir itu merambat di sepanjang jalur darah seolah menemukan rumahnya.

ZRAAAAAK—!!!

Rantai berubah merah pijar seketika.

Logamnya memuai cepat—terlalu cepat—retak halus menjalar seperti pola kaca retak yang menari.

Ari memicingkan mata. “Apa—?!”

Terlambat.

BRAKK!!

Rantai meledak dari dalam.

Potongan logam panas berhamburan, memercik seperti kembang api mematikan.

Tubuh Kelvin, Luna, dan sisa rantai terlempar bebas.

Dalam sepersekian detik itu, Luna memadatkan tiga tetes terakhir menjadi pisau darah. Tubuhnya masih di tengah jatuh, tapi ia menebas sisa belenggu di kakinya.

Mereka jatuh keras, namun mereka… bebas.

Ari terdiam sepersekian detik sebelum wajahnya melengkung ke arah kebencian.

“Kau…”

Rahangnya mengeras.

“…anak gagal dari keluarga Sena.”

Dengan gerakan kasar, ujung rantainya berubah. Dari bentuk tumpul menjadi runcing—tajam seperti tombak, memantulkan cahaya lampu jalanan yang berkedip.

Puluhan rantai-tombak terbentuk di sekelilingnya.

Dan semuanya menegang.

Lalu—

WHOOSH!

Rantai-rantai itu melesat bagaikan hujan tombak.

Namun sesuatu mendahului mereka.

SKREEEEEETT!!

Sky—yang hingga kini masih berusaha bertahan—meluncur ke bawah. Burung hitam keperakan itu menangkap Kelvin dan Luna dengan kedua kakinya tepat sebelum tombak-rantai menghajar mereka.

Ari membeku sejenak.

Lalu… wajahnya berubah gelap.

Ia mengangkat tangannya.

Puluhan kabut bulat merah muda bermunculan di udara, terbuka seperti celah dimensi kecil.

Dan dari setiap kabut itu—

FWHAM! FWHAM! FWHAM!

Rantai-tombak kembali melesat mengejar Sky.

Sky memekik, sayapnya mengepak cepat, menghindar sebanyak mungkin.

Tapi tak semuanya bisa dihindari.

THWUK!

Satu tombak menembus dada Sky.

Lalu—

THWUK! THWUK! THWUK! THWUK!

Tombak-tombak lainnya menghujani tubuhnya, menembus bulu hitam keperakannya, memecah energi kutukannya.

Adelia memekik tanpa suara, lalu—

“—kgh!!”

Ia kembali memuntahkan darah—jauh lebih banyak dari sebelumnya.

Tubuh Adelia tersentak hebat, seperti ada sesuatu yang merobek organ dalamnya. Lututnya yang sejak tadi sudah menempel di aspal bergetar, lalu menghantam permukaan keras itu lagi, membuat retakan kecil melebar dari titik tempat ia bersimpuh.

Tangan kirinya yang menahan tubuh hampir terpeleset oleh darahnya sendiri, namun ia memaksa menekan aspal, menahan tubuhnya agar tidak jatuh sepenuhnya. Sementara tangan kanannya—yang masih menutup mulut—dipenuhi darah yang mengalir tanpa henti, menetes melalui celah jemarinya.

Adelia terengah-engah.

Matanya berair.

Seluruh tubuhnya gemetar hebat.

Kematian Sky menghantam dirinya seperti palu raksasa—langsung ke jantung, ke saraf, ke isi kepalanya.

Ia tidak bisa berdiri.

Ia bahkan nyaris tidak bisa mengangkat wajahnya.

Yang bisa ia lakukan hanyalah menahan diri agar tidak tumbang total…

meski tubuhnya bergetar seperti daun diterpa badai.

Sky berteriak parau… lalu tubuhnya perlahan menghilang menjadi kabut hitam.

Kelvin dan Luna terjatuh.

Namun Luna cepat—darahnya mengembang membentuk bantal besar dan empuk.

Mereka mendarat keras, tapi selamat.

Darah itu langsung kembali masuk ke tubuh Luna, wajahnya pucat.

Kelvin dan Luna berdiri, tubuhnya gemetar, namun tetap memasang posisi bertarung.

Napas Kelvin terengah, tetapi kedua matanya masih menyala oleh niat bertahan hidup.

Luna memelototkan matanya ke arah Ari, tangannya gemetar namun terangkat.

Mereka melihat Adelia—yang hampir ambruk, wajahnya putih seperti kertas, darah menetes dari dagunya.

Kelvin menggertakkan gigi.

Luna mengerutkan dahi.

“…Apa yang harus kita lakukan…?”

Ketiga-tiganya sadar.

Satu langkah salah… dan mereka semua mati.

PLAK… PLAK… PLAK…

Tepat ketika suasana menegangkan itu mencengkeram segalanya, terdengar suara tepuk tangan dari arah belakangku.

Suara kaki melangkah perlahan.

Tiap hentakan sepatunya bergema, santai… namun mengancam.

“Usaha yang bagus.”

Aku menoleh pelan—tubuhku kaku.

Seorang pria berjalan melewatiku.

Tinggi.

Rambut hitam rapi.

Wajahnya seperti seseorang di akhir umur dua puluhan—matang, dingin, namun ada sesuatu yang mematikan di balik ekspresinya.

Kelvin membelalak.

Luna terpaku.

Adelia—meski hampir pingsan—mendelik penuh amarah.

Pria itu berhenti tepat di sisi Ari.

Dan Adelia, dengan suara serak, marah, dan putus asa, berteriak:

“JULIAAAAN!!”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!