Eri Aditya Pratama menata kembali hidup nya dengan papanya meskipun ia sangat membencinya tetapi takdir mengharuskan dengan papanya kembali
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Siti Gemini 75, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana di Balik Ranjang Rumah Sakit
Dinda dilanda frustrasi. Otaknya berputar keras, mencari celah lain untuk mendekati keluarga Andrean. Obsesinya untuk menghancurkan Henny dan Eri telah membutakannya. Baginya, hanya dengan melihat kedua orang itu menderita, hatinya yang terluka bisa terobati.
Namun, di tengah pusaran dendamnya, Dinda kehilangan kewaspadaan. Ia menyeberang jalan tanpa memperhatikan lalu lintas.
Brak! Sebuah mobil menghantam tubuh Dinda. Ia terlempar, merasakan sakit yang luar biasa sebelum akhirnya kehilangan kesadaran.
Pengemudi mobil, seorang pria dan istrinya, segera keluar. Kerumunan orang langsung terbentuk di sekitar mereka.
"Bagaimana keadaannya, Pak?" tanya laki-laki itu pada seorang pria yang ada di antara kerumunan.
"Sepertinya pingsan. Tapi, syukurlah, lukanya tidak terlalu parah," jawab pria paruh baya itu.
"Sebaiknya kita bawa ke rumah sakit saja, Pa. Kita tidak tahu apa yang terjadi di dalam," saran wanita yang bersamanya, dengan nada khawatir.
"Kamu benar, Ma. Lebih baik kita bawa ke rumah sakit sekarang," timpal pria yang ada dalam kerumunan itu.
Dengan sigap, mereka membawa Dinda ke rumah sakit terdekat. Sesampainya di sana, Dinda langsung mendapatkan penanganan medis.
"Bagaimana kondisi pasien, Dok?" tanya pria itu, dengan cemas.
"Kondisinya stabil. Tidak ada luka serius. Mungkin dalam dua atau tiga hari, dia sudah bisa pulih," jawab dokter, menenangkan.
"Terima kasih banyak, Dok!" ucap pasangan itu serempak.
"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi dulu," pamit dokter, meninggalkan mereka dengan perasaan lega.
"Sekarang, bagaimana dengan wanita yang kita tabrak itu, Pa?" tanya sang istri, dengan nada prihatin.
"Kita tunggu saja sampai dia sadar. Kita tidak tahu siapa dia, karena dia tidak membawa identitas apapun. Bagaimana kita bisa menghubungi keluarganya?" jawab suaminya, dengan nada bingung.
"Iya, Pa. Sayang sekali dia tidak membawa kartu identitas," timpal istrinya, ikut merasa kesulitan.
Suasana hening menyelimuti mereka. Keduanya larut dalam pikiran masing-masing, memikirkan nasib wanita yang terbaring lemah di ranjang rumah sakit.
Tiba-tiba, Dinda membuka matanya. Ia mengerjap beberapa kali, mencoba menyesuaikan diri dengan cahaya ruangan. Pandangannya menyapu sekeliling, mencari tahu di mana dirinya berada. Ia melihat dua sosok asing, seorang pria dan seorang wanita, duduk di dekatnya dengan wajah cemas.
"Di... di mana saya?" tanyanya lirih, suaranya serak.
"Mbak sudah sadar? Syukurlah!" seru wanita itu, dengan senyum lega. "Mbak ada di rumah sakit. Tadi Mbak mengalami kecelakaan, dan kami yang membawa Mbak ke sini. Kami minta maaf, kami tidak sengaja menabrak Mbak. Sepertinya Mbak sedang tidak fokus saat menyeberang jalan." Wanita itu mengulurkan tangannya, "Oh iya, perkenalkan, nama saya Lina Marlina, dan ini suami saya, Rico Andrean."
Mendengar nama Rico Andrean, jantung Dinda berdegup kencang. Rico Andrean? Mungkinkah...? Pikirannya langsung tertuju pada Eliana, gadis yang pernah menjadi targetnya. Ini kesempatan emas!
"Nama saya Dinda," jawabnya, dengan suara yang dibuat lemah.
"Keluarga Mbak di mana? Biar kami hubungi mereka," tawar Rico, dengan nada perhatian.
Dinda menggeleng lemah. "Saya tidak punya keluarga. Mereka... mereka sudah hancur karena seorang pemuda bernama Eri Aditya Pratama," ucapnya, dengan nada getir. Ia sengaja menyebut nama Eri, berharap bisa membangkitkan kebencian di hati Rico dan istrinya.
Lina dan Rico saling bertukar pandang. "Eri Aditya Pratama? Maksud Mbak, putranya Bu Henny?" tanya Lina, dengan nada terkejut.
Dinda mengangguk. "Anda mengenal Henny Larasati?" tanyanya, dengan nada menyelidik.
"Tentu saja. Dia adalah salah satu karyawan di perusahaan kami," jawab Rico, dengan nada datar.
Dinda tersenyum tipis dalam hati. Sempurna! "Kalau begitu, Anda pasti tahu betapa jahatnya Eri dan ibunya. Mereka telah menghancurkan hidup saya," ucapnya, dengan nada dramatis.
Dengan penuh kepiawaian, Dinda mulai menceritakan kisah hidupnya yang penuh derita. Ia mengisahkan tentang hubungannya dengan Dea, putri semata wayangnya, yang hancur karena ulah Eri. Ia menceritakan tentang kehamilan Dea, penolakan Eri, hingga akhirnya Dea memutuskan untuk mengakhiri hidupnya. Setiap detail ia bumbui dengan emosi yang berlebihan, berusaha membangkitkan rasa iba dan simpati dari Rico dan Lina.
"Setelah kematian Dea, suami saya menyalahkan saya. Dia bilang, saya tidak becus menjaga anak, hingga akhirnya terjadi tragedi ini. Kami bertengkar setiap hari, sampai akhirnya dia meninggalkan saya," ucap Dinda, sambil menyeka air mata palsu.
Lina terenyuh mendengar cerita Dinda. Ia menggenggam tangan Dinda, "Mbak Dinda yang sabar ya. Kami turut berduka atas musibah yang menimpa Mbak. Jangan khawatir, semua biaya rumah sakit Mbak akan kami tanggung."
Dinda tersenyum lega. Rencananya berjalan dengan lancar. Ia berhasil memanipulasi Rico dan Lina, membuat mereka merasa iba dan bersimpati padanya. Kini, ia hanya perlu menunggu waktu yang tepat untuk melancarkan aksinya.
"Terima kasih banyak atas kebaikan Anda," ucap Dinda, dengan nada tulus. "Saya tidak tahu bagaimana saya bisa membalasnya."
Rico tersenyum tipis. "Jangan dipikirkan. Kami hanya ingin membantu sesama. Kami tidak ingin ada orang lain yang menderita seperti Mbak," ucapnya, dengan nada penuh simpati.
Dinda tersenyum dalam hati. Kalian berdua tidak tahu, betapa liciknya saya. Kalian akan menyesal telah menolong saya.
Lina mengusap lembut tangan Dinda, matanya berkaca-kaca. "Mbak Dinda, kami sangat bersimpati dengan apa yang Mbak alami. Sungguh, kami tidak menyangka Eri bisa melakukan hal sekeji itu."
Rico mengangguk setuju. "Kami memang sudah mendengar sebagian cerita ini dari Eliana, putri kami. Tapi, mendengar langsung dari Anda, orang tua Dea, rasanya jauh lebih menyakitkan." Rico menghela napas berat, tampak jelas kekecewaan terpancar dari wajahnya. "Kami benar-benar kecewa pada Eri dan Henny. Kami pikir mereka orang baik-baik, ternyata..." Rico tidak melanjutkan kalimatnya, membiarkan Dinda memahami sendiri kekecewaan yang ia rasakan.
Dinda memanfaatkan momen ini untuk semakin menanamkan kebencian di hati Rico. "Anda tidak tahu betapa menderitanya Dea selama mengandung. Eri tidak mau bertanggung jawab, bahkan menghina dan mencaci maki Dea. Dia bilang, Dea hanya ingin menjebaknya dengan kehamilan itu," ucap Dinda, dengan nada penuh emosi. "Padahal, Dea sangat mencintai Eri. Dia rela melakukan apa saja untuk Eri, tapi Eri justru membalasnya dengan pengkhianatan."
Lina menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan kelakuan Eri. "Sungguh keterlaluan! Bagaimana bisa seorang pria tega menyakiti wanita yang sedang mengandung anaknya?"
Rico mengepalkan tangannya, amarah mulai menyulut hatinya. "Kami tidak akan membiarkan Eri lolos begitu saja. Dia harus bertanggung jawab atas semua perbuatannya."
Dinda tersenyum dalam hati. Rencananya berjalan lebih mulus dari yang ia harapkan. Rico dan Lina sudah termakan oleh hasutannya. Kini, saatnya ia memainkan peran sebagai korban yang lemah dan tak berdaya.
"Saya tidak tahu harus berbuat apa, Pak Rico, Bu Lina. Saya sudah kehilangan segalanya. Keluarga, harta, bahkan semangat hidup. Saya tidak punya tempat tujuan, tidak punya pekerjaan, tidak punya apa-apa," ucap Dinda, dengan nada putus asa. "Saya hanya ingin Eri dan Henny merasakan penderitaan yang sama seperti yang saya rasakan."
Lina memeluk Dinda, mencoba menenangkannya. "Mbak Dinda jangan khawatir. Kami akan membantu Mbak. Kami tidak akan membiarkan Mbak hidup terlunta-lunta."
Rico mengangguk setuju. "Kami akan mencarikan Mbak pekerjaan. Kami akan membantu Mbak bangkit kembali. Kami akan memastikan Eri dan Henny mendapatkan balasan yang setimpal."
Dinda mendongak, menatap Rico dan Lina dengan tatapan penuh harap. "Benarkah? Anda bersedia membantu saya?"
Rico tersenyum tulus. "Tentu saja, Mbak Dinda. Kami tidak tega melihat Mbak menderita. Kami akan melakukan apa saja untuk membantu Mbak."
Dinda tersenyum licik dalam hati. Bodoh! Kalian berdua sungguh bodoh! Kalian tidak tahu, kalian telah masuk ke dalam perangkapku. Aku akan memanfaatkan kalian untuk menghancurkan Eri dan Henny. Aku akan membuat mereka merasakan neraka yang sesungguhnya.
"Terima kasih banyak, Pak Rico, Bu Lina. Saya tidak akan pernah melupakan kebaikan Anda," ucap Dinda, dengan nada penuh kepalsuan.
*************