Kisah perjuangan seorang anak ningrat yang dibuang bersama ibunya, tumbuh miskin, dihina, dan bangkit menjadi legenda dunia bisnis—menaklukkan pasar saham, membangun kerajaan korporasi, dan akhirnya mengguncang fondasi keluarga bangsawan yang dulu mengusirnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Junot Slengean Scd, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DI BALIK PINTU
Hari-hari di Dirgantara Tower terasa berbeda sejak Retno mendapatkan promosi. Ia kini menempati ruang kerja kecil di lantai 25—satu lantai di bawah Arif. Dari jendela, ia bisa melihat sebagian cakrawala Jakarta yang dipenuhi gedung tinggi dan hiruk-pikuk kendaraan. Namun di balik semua itu, ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya.
Promosi itu seharusnya menjadi kebanggaan. Tapi yang ia rasakan justru tekanan. Tatapan rekan kerja sering kali menusuk, setengah iri, setengah curiga. Setiap kali ia lewat di koridor, bisik-bisik kecil terdengar.
“Itu dia, si kesayangan Pak Arif…”
“Naiknya cepat banget, padahal baru beberapa tahun.”
Retno pura-pura tak mendengar. Ia membenarkan berkas di tangannya, menahan napas agar dadanya tidak sesak. Ia tahu, dunia perusahaan besar seperti ini keras. Dan di dunia itu, nama baik bisa hancur bukan karena kesalahan—tapi karena prasangka.
Sementara itu, Arif semakin sibuk dengan rapat investor dan ekspansi perusahaan. Tapi di sela padatnya jadwal, ia selalu menemukan cara untuk memastikan Retno baik-baik saja.
Suatu sore, setelah rapat panjang di lantai eksekutif, Arif berjalan ke ruang kerja Retno. Para staf yang melihatnya saling berpandangan, sebagian bahkan berpura-pura sibuk agar tidak ketahuan memperhatikan.
Ketika Arif masuk, Retno sedang fokus menelaah laporan keuangan anak cabang di Kalimantan.
“Kau masih di sini?” tanya Arif sambil menatap jam tangannya.
“Masih, Pak. Ada data yang harus saya cocokkan sebelum dikirim ke tim audit.”
“Kau terlalu keras pada diri sendiri.”
Retno menoleh, tersenyum kecil. “Saya hanya tidak ingin mengecewakan Bapak.”
Arif menatapnya sejenak. Tatapan yang lembut tapi mengandung sesuatu yang lebih dalam.
“Panggil saya Arif saja… di luar rapat.”
Retno terdiam. Wajahnya memanas. “Saya… saya tidak biasa, Pak—eh, maksud saya, Arif.”
Arif tersenyum. “Nah, begitu lebih baik.” Ia berjalan ke meja Retno, menatap layar komputer, lalu berkata, “Kau tahu, sejak kau datang ke perusahaan ini, atmosfer kerja berubah. Banyak ide baru, banyak semangat baru.”
Retno menunduk, tidak berani menatap balik. “Saya hanya mencoba bekerja dengan benar.”
“Dan itu yang membuatku… menghargaimu.”
Kata “menghargai” keluar pelan, hampir seperti bisikan. Dalam hening yang menggantung, hanya terdengar detak jam dinding dan napas mereka yang nyaris bersahutan.
Arif lalu menegakkan tubuh, menarik napas panjang. “Baiklah. Sudah malam. Aku antar kau pulang.”
“Tidak perlu, Pak. Saya bisa naik taksi.”
“Ini sudah lewat jam sembilan, Retno. Aku tidak bisa membiarkan stafku pulang sendirian.”
Retno tak bisa menolak. Akhirnya ia mengangguk pelan.
Di perjalanan, hujan turun deras membasahi kota. Mobil hitam Arif melaju pelan di antara lampu-lampu jalan yang memantul di aspal basah. Di dalam kabin, suasana hening namun tidak canggung.
“Rumahmu di mana, Retno?”
“Cempaka Putih, Pak.”
“Sendiri di Jakarta?”
“Iya. Orang tua saya di Semarang.”
Arif mengangguk pelan. Ia menatap jalan di depan, tapi pikirannya melayang pada kalimat itu—sendiri di Jakarta. Ia tahu betapa kerasnya kota ini, terutama bagi perempuan muda yang datang hanya bermodal kerja keras dan keberanian.
Mobil berhenti di depan rumah kontrakan kecil dua lantai. Retno melepas sabuk pengamannya, lalu menatap Arif dengan senyum sopan.
“Terima kasih, Pak Arif. Sudah repot mengantar.”
“Tidak repot.” Arif menatap matanya. “Hati-hati, Retno.”
Hujan menetes di kaca jendela, menciptakan suara lembut yang menenangkan. Retno menunduk sedikit, lalu berkata pelan,
“Selamat malam, Pak… Arif.”
Ia turun dan berlari kecil ke teras, menunduk agar tidak basah. Dari mobil, Arif memandangi punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu. Ada sesuatu di dadanya—hangat, tapi juga menakutkan.
Ia tahu, perasaan itu bukan hal yang bisa dianggap sepele. Tapi semakin ia mencoba mengabaikannya, semakin kuat ia merasakannya.
Keesokan harinya, di Rumah Besar Dirgantara, Diah Ningrum menerima tamu: Ayu Dirgantara, sepupu Arif yang bekerja sebagai direktur di anak perusahaan lain. Ayu dikenal tajam, ambisius, dan sering menjadi mata-mata keluarga dalam urusan bisnis.
“Tante, saya hanya ingin memberi tahu,” ujar Ayu sambil menatap ibunya Arif dengan ekspresi dingin. “Karyawan bernama Retno Kinasih itu sepertinya dekat sekali dengan Mas Arif. Orang-orang kantor membicarakannya.”
Diah meletakkan cangkir teh perlahan.
“Dekat bagaimana?”
“Cukup dekat sampai Mas Arif sering datang ke ruangannya malam-malam.”
Diah menatap jauh ke luar jendela. Ekspresinya tak berubah, tapi jemarinya mengepal di atas meja.
“Kalau benar begitu, ini harus dihentikan.”
Sementara itu, di kantor, Arif berdiri di depan jendela ruangannya, memandangi langit sore yang mulai oranye. Ia memikirkan banyak hal: perusahaannya, keluarganya, dan perempuan bernama Retno yang kini diam-diam menjadi alasan ia bertahan di tengah segala tekanan.
Ia tahu badai sedang mengintai. Tapi entah kenapa, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak takut.
menarik