NovelToon NovelToon
The Sweetest Mistake

The Sweetest Mistake

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Cintapertama / One Night Stand / Single Mom / Anak Kembar / Office Romance
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: Polaroid Usang

Bagi Heskala Regantara, kehidupannya di tahun 2036 hanya soal kerja, tanggung jawab, dan sepi. Ia sudah terlalu lama berhenti mencari kebahagiaan.

Sampai seorang karyawan baru datang ke perusahaannya — Aysha Putri, perempuan dengan senyum yang begitu tipis dan mata yang anehnya terasa akrab.

Ia tak tahu bahwa gadis itu pernah menjadi bagian kecil dari masa lalunya… dan bagian besar dari hidupnya yang hilang.

Lalu, saat kebenaran mulai terungkap, Heskal menyadari ...

... kadang cinta paling manis lahir dari kesalahan yang paling tak termaafkan.

•••

"The Sweetest Mistake"

by Polaroid Usang

Spin Of "Gairah My Step Brother"

•••

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Polaroid Usang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 19 FLASHBACK

•••

Tahun 2031, Lima tahun lalu.

Di usianya yang baru dua puluh satu, hidup Zeline terasa seperti sesuatu yang akhirnya —untuk pertama kalinya— berjalan sesuai arah.

Ia berdiri di depan jendela apartemen kecilnya, memandangi gemerlap kota yang selama enam tahun menjadi tempatnya tumbuh. Tempat ia belajar menelan sendiri luka-luka yang dulu hampir menelannya hidup-hidup.

Tempat ia belajar bernapas tanpa ketakutan. Tanpa teriakan. Tanpa bayangan ruangan gelap masa kecilnya.

Dan malam itu… ia baru saja lulus. Top 3 mahasiswa terbaik. Magang selama setahun di sebuah perusahaan teknologi besar. Dan beberapa jam lalu, ia menerima email berisi undangan wawancara kerja ditempat yang sama yang sebenarnya hampir setara dengan menerima lamaran kerja langsung.

Seharusnya ia bahagia. Ia memang bahagia. Setidaknya, itu yang ia yakinkan pada dirinya sendiri.

Hingga notifikasi itu muncul.

Papi: Selamat ya, Zel. Papi bangga sama kamu.

Pesan itu hanya satu kalimat pendek. Tapi efeknya menghantam Zeline seperti palu.

Lama ia memandangi nama itu… lalu menutup ponsel dengan tangan bergetar.

Dalam diam, muncul keinginan yang sudah lama ia tekan. Keinginan pulang. Keinginan melihat seseorang. Bukan Papinya yang super sibuk itu.

Tapi seseorang yang telah menjadi penyelamatnya. Seseorang yang sejak dulu ia anggap sebagai cahaya paling terang dalam hidupnya, walau jaraknya selalu jauh, walau kedekatan mereka cuma sebatas "kakak-adik yang tidak resmi".

Heskala Regantara.

Penjaganya. Penyelamatnya. Orang pertama yang membuat Zeline merasa berarti, bahkan saat ia datang sebagai anak rumahan penuh lebam. Orang pertama yang menepuk kepalanya dan berkata, "Lo aman di sini, Cil. Ada gue."

Selama enam tahun, nama itu tak pernah benar-benar menghilang dari kepalanya.

Dan karena itulah, tanpa pikir panjang, ia membeli tiket pulang ke Indonesia. Bukan untuk kembali tinggal. Bukan untuk kembali meminta perlindungan. Tapi untuk menunjukkan sesuatu.

Bahwa ia tumbuh menjadi seseorang. Bahwa ia telah hidup dengan baik, bahkan jauh lebih baik dari yang semua orang kira. Bahwa ia tidak lagi menjadi anak yang menunggu diselamatkan.

Ia ingin menunjukkannya pada Heskal. Pada laki-laki yang selama ini ia hormati, ia kagumi.

Ia ingin mengatakan,

"Kak, aku berhasil."

Hanya itu.

Sesederhana itu.

•••

Suasana Jakarta sore hari menyambutnya dengan hangat, meski tubuhnya lelah karena penerbangan panjang. Tak ada yang tahu ia pulang. Lebih tepatnya, Zeline bahkan tak punya siapa-siapa disini selain Kak Heskal-nya.

Saat keluar bandara dan menghirup udara jakarta sore itu, Zeline tak bisa menahan senyuman bahagianya. Jantungnya berdebar, merasakan perasaan bahagia dan gugup bersamaan.

Dan tempat pertama yang ingin ia kunjungi…

adalah danau.

Danau tempat pertama kali mereka bertemu secara langsung. Danau yang menjadi awal mula semuanya bisa berjalan dengan baik hingga sekarang.

Dada Zeline berdesir, matanya berkaca-kaca dan bibirnya tertarik tipis membentuk senyuman kecil yang bergetar.

Sejak pertemuan pertama mereka didanau ini, sampai sekarang dimana waktu enam tahun telah berlalu, Zeline masih ingat setiap detail kecil malam itu.

Saat ia melihat Heskal membeli semua jagung bakar nenek-nenek yang tidak laku, lalu membagikannya pada pengunjung lain.

Saat Heskal duduk sendirian dikursi tepi danau sembari memakan jagungnya. Saat Heskal berbincang akrab dengan seorang wanita yang terlihat begitu cantik dimatanya. Saat ada wanita lain yang datang hingga terjadi perdebatan diantara Heskal dan dua orang wanita itu.

Zeline menyaksikan semuanya diam-diam.

Lalu ia sengaja menyewa swan boat itu demi menolong Heskal yang dikejar oleh banyak orang.

Zeline tersenyum tipis, tangannya terangkat mengusap wajahnya yang telah basah.

Kakinya kembali melangkah, mendatangi lagi tempat-tempat penuh kenangan sore itu. Mulai dari mall tempat mereka sering bermain, cafe tempat Heskal sering membelikannya kue-kue enak, pasar malam, toko buku dan perpustakaan, taman didekat sekolahnya dulu, lalu sampai pada tujuan terakhirnya malam ini.

Rumah yang dibelikan Heskal enam tahun lalu. Rumah yang dulu menjadi tempat ia sembunyi dari siksaan pembantu rumah tangga, tempat ia diberi makan, tempat ia merasa aman.

Rumah itu simbol dari kata "diselamatkan".

Saat Zeline tiba, rumah itu tampak gelap.

Tidak ada lampu. Jendela tertutup rapat.

Beberapa daun-daun kering bertebaran di halaman kecilnya. Tapi rumah itu masih sama seperti dulu, tak berubah sedikitpun.

Dan saat ia membuka pintu dengan kunci lama yang masih ia simpan… Suara kaca pecah terdengar dari dalam.

Zeline terpaku. Jantungnya melonjak ke tenggorokan. Beberapa detik kemudian, langkah kaki tertatih mendekat. Lalu sosok itu muncul.

Heskal.

Bukan Heskal yang ia ingat. Bukan laki-laki dengan senyum yang dulu selalu tampak lepas tanpa beban. Bukan laki-laki yang selalu terlihat bersinar dimatanya.

Yang berdiri di hadapannya adalah versi Heskal yang … rusak. Kemejanya kusut. Rambutnya berantakan. Nafasnya bau alkohol. Matanya merah, lelah, dan… kosong.

"Kak Heskal…?" Suara Zeline keluar tanpa sengaja. Gemetar. Rapuh. Rindu.

Heskal mengerjap pelan, menatapnya. Lama. Seolah otaknya sulit fokus. Heskal mendekat satu langkah, dan Zeline tak sempat mundur.

Heskal menyentuh pipinya, pelan, bahkan terlalu pelan untuk ukuran orang mabuk. Sentuhan itu membuat tubuh Zeline kaku. Enam tahun tidak bertemu membuatnya lupa bagaimana rasanya disentuh oleh orang yang ia percayai.

Dan mungkin karena jarak enam tahun itu... batasan di antara mereka lenyap begitu saja.

Semuanya terjadi begitu cepat.

Pandangan Heskal yang memudar perlahan berubah penuh emosi tak terucap. Genggaman pada pinggang Zeline semakin erat. Napas keduanya saling bersentuhan.

Dan sebelum Zeline sempat berpikir jernih, sebelum ia sempat menarik diri atau bertanya apa yang sebenarnya terjadi—

Heskal menariknya ke dalam pelukan. Hangat. Kuat. Putus asa. Tanpa kata. Membuat Zeline bertanya-tanya, apa yang terjadi hingga Heskala yang ia kenal kini terlihat serapuh ini.

Dalam pelukan itu, Zeline dapat merasakan suhu panas tubuh Heskal, terlalu panas. Nafas lelaki itu berat, terkadang tubuhnya gemetar seperti menahan sesuatu.

Zeline tak tau, apakah Heskal mengenali dirinya yang sekarang atau tidak. Ekspresi lelaki itu tak bisa Zeline baca.

Dan tanpa pernah Zeline bayangkan sedetik pun, dalam satu tarikan napas, bibir mereka bertemu. Terlalu basah. Terlalu terdesak. Terlalu penuh luka. Tidak ada kata-kata. Tidak ada logika. Zeline bahkan tak sempat bereaksi ketika tiba-tiba tubuhnya ditarik masuk dan pintu terkunci otomatis.

Zeline tidak melawan. Otaknya blank, tak bisa mencerna apa yang sedang terjadi.

Berbagai imajinasi tentang pertemuan pertama mereka hari ini lebur begitu saja. Tak satu pun dalam imajinasinya yang terwujud hari ini.

Dan begitu kesadarannya kembali…

Semuanya sudah terjadi.

Mereka melakukannya. Dengan cara yang menyakitkan, kacau, dan penuh penyesalan.

•••

Setelahnya, Zeline hanya bisa terbaring diam menghadap lelaki itu. Pikirannya kabur. Tubuhnya masih gemetar.

Heskal sudah jatuh tertidur di sebelahnya, napasnya tidak teratur, sisa alkohol masih melekat di lidahnya.

Zeline menatapnya. Lama. Tanpa suara. Hanya air mata yang terasa membakar kulit setiap lelehannya mengalir. Tangannya yang menggenggam selimut gemetar pelan.

Bahkan sampai kini, Zeline masih tak yakin, apakah Heskal mengenalinya atau tidak.

Namanya tak pernah terucap dari bibir yang semalaman ini mencumbu tubuhnya. Sekalipun, tak pernah.

Zeline memperhatikan lelaki disampingnya itu. Wajah Heskal sudah terlihat tenang, damai, begitu terlelap dalam tidurnya. Remasan Zeline pada selimutnya mengeras, air matanya yang panas masih tak berhenti mengalir hingga ia bangkit dari posisinya.

Dia memungut baju-bajunya dengan tertatih, memakainya dengan pikiran yang penuh. Lalu duduk ditepi tempat tidur. Pagi masih dua jam lagi, Heskal baru tertidur, dan Zeline tak bisa tertidur sedikitpun setelah semua kesalahan besar ini.

Apa yang harus ia lakukan kini? Haruskah ia tetap disini? Bagaimana cara ia menghadapi Heskal esok hari? Atau haruskah ia pergi?

Ketakutan bersarang di dadanya. Dugaan bahwa Heskal tak mengenal dirinya semakin terasa nyata saat mengingat kegiatan mereka semalam.

Ratusan kali ia menyebut nama lelaki itu, memanggil, memohon, meminta ampun, tapi tak sekalipun namanya terucap dari lelaki itu.

Iya, Heskal tak mungkin mengenalinya, terlebih lelaki itu sedang mabuk.

Terlebih, Kak Heskal-nya tak mungkin melakukan ini padanya jika dia mengenalinya. Kak Heskal-nya tak mungkin merusaknya. Kak Heskal-nya selalu melindunginya, selalu menjaganya. Jika Kak Heskal-nya itu tau bahwa dia telah merusak orang yang dulu selalu ia jaga, dia pasti tak akan memaafkan dirinya sendiri.

Jadi, haruskah Zeline pergi dan menganggap malam ini sebagai hadiah terimakasih pada lelaki yang selalu menjadi penyemangatnya itu? Lalu kembali esok hari seperti tak terjadi apa-apa?

Namun rencananya itu hanya bertahan sampai ia melihat handphone Heskal yang jatuh di lantai. Nama seorang wanita. Lalu saat panggilan itu berakhir karena tak kunjung diangkat, wallpaper lock screen handphone Heskal terpampang jelas diruang temaram itu.

Foto Heskal dengan seorang wanita yang tak Zeline kenali. Foto yang terlihat begitu intim. Di sofa, Heskal memangku wanita itu, dan wajahnya bersembunyi didada wanita itu.

Air matanya semakin luruh. Panasnya air itu membuat Zeline tersadar, langsung terburu-buru membereskan barang-barangnya yang berserakan.

"Kak Heskal mungkin ngira aku pacarnya..." Zeline membereskan barang-barangnya sembari menangis tanpa suara.

"Aku nggak boleh disini, Kak Heskal nggak boleh tau."

Lalu, kenyataan lain kembali datang tanpa memberi jeda waktu bagi keresahannya.

Tangannya yang hendak memungut parfum yang terjatuh disamping dompet Heskal terhenti. Seharusnya ia hanya memungut parfum miliknya… tapi pandangannya membeku pada foto kecil didalamnya.

Foto keluarga. Foto yang seharusnya sederhana dan normal.

Tapi tidak ketika ia melihat siapa yang ada didalamnya.

Heskala kecil, lalu seorang perempuan dewasa yang tidak ia kenali, lalu... wajah itu.

Farzan. Papinya. Ayahnya.

Orang yang selama ini ia pikir hanya milik dirinya.

Jantung Zeline seperti berhenti berdetak.

Seluruh tubuhnya mendadak terasa dingin, seperti ada air es yang disiram dari ubun-ubun sampai ujung kaki. Telapak tangannya berkeringat. Tenggorokannya mengering. Bahkan udara di ruangan itu seolah menghilang.

Seolah dunia berhenti sejenak.

Tidak ada suara. Tidak ada napas. Hanya suara detak jantungnya sendiri, pecah, keras, kacau, seperti palu menghantam dadanya dari dalam.

Ia mencoba mengedip. Gagal.

Ia mencoba bernapas. Gagal.

Ia mencoba menolak apa yang dilihat matanya. Juga gagal.

"Nggak mungkin…" Suara Zeline nyaris tak terdengar. Bukan bicara, lebih seperti rintihan kecil yang lahir dari kepanikan. "Papi… kenapa Papi ada disini…?"

Zeline terduduk, bersandar pada dinding, menatap Heskal yang tertidur dengan perasaan campur aduk.

Tenggorokannya tercekat. Tiba-tiba seluruh kenangan kecilnya bersama Farzan bermunculan begitu saja. Papi yang tak pernah dirumah, Papi yang hanya sesekali datang, Papi yang selalu menepuk kepalanya sambil berkata "Maaf, Papi sibuk."

Sibuk. Karena punya keluarga lain.

Sibuk. Karena bukan hanya ayahnya.

Dan lelaki yang baru saja merenggut sesuatu darinya semalam… lelaki yang dulu ia sebut kakak… lelaki yang ia kagumi sejak kecil… adalah anak dari pria yang sama.

Darah yang sama. Ayah yang sama.

Tubuh Zeline tersentak.

Rasanya seperti dimuntahkan dari ketinggian tanpa peringatan, perutnya mual, kepalanya pusing, kulitnya panas dingin. Pandangannya kabur oleh air mata yang kembali mengalir, tapi kini bukan sekadar sedih. Ada rasa lain—rasa yang jauh lebih berat dari kesedihan.

Ngeri.

Zeline merasa seperti kotor. Seperti rusak. Seperti melakukan sesuatu yang tidak termaafkan, bahkan oleh Tuhan.

Tangan yang memegang dompet itu bergetar semakin keras.

Dadanya sesak, sampai rasanya ia akan pingsan. Ada rasa ingin muntah. Ada rasa ingin menjerit. Ada rasa ingin mencakar kulitnya sendiri sampai hilang semua jejak semalam.

"Bukan… bukan Kak Heskal… bukan aku… bukan kita…" Zeline menutup mulut, mencoba menahan suara isak yang pecah dari tenggorokannya.

Karena jika ia menangis keras-keras, Heskal akan terbangun.

Dia akan melihat Zeline. Dia akan mengetahui apa yang terjadi. Dan itu yang paling Zeline takuti.

Ada rasa hancur di dada. Tapi lebih dari itu, ada rasa yang lebih gelap.

Rasa benci.

Benci pada Farzan. Benci pada Heskal. Benci pada dirinya sendiri.

Benci karena ia tidak tahu siapa yang salah. Benci karena ia tidak tahu siapa yang harus disalahkan. Benci karena seharusnya ia hanya ingin pulang dan bilang "Kak, aku udah tumbuh jadi seseorang yang baik berkat kamu. Makasih, Kak."

Tapi kenyataannya?

Ia berdiri sambil menahan tubuh yang goyah, memungut barang, pakaian, dan rasa malunya yang berserakan.

Ia keluar dari ruangan itu tanpa menoleh lagi. Dan di titik itu, rasa terima kasih Zeline pada Heskal mulai retak.

Pelan.

Tajam.

Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Zeline merasa ia harus mulai membenci seseorang yang paling ia lindungi di hatinya.

•••

Zeline before, pas dibandara⬇️

Heskal Zeline After ⬇️

•••

Buat Episode Flashback Spesial nyaaa, yang "ekhem-ekhem" ituuuu, aku up di tlegram kayak biasa ya gaisss, channel-nya masih channel Kenzafa kemarinn, nanti aku kabarin klo udah di uppp

Byee jangan lupa likeeeeeee

1
styandrie
Bagus bgttt🫶🏻🫶🏻🫶🏻, selalu suka sama novel kakak iniii!! Ceritanya bagus, menarik, selalu bikin kepo tiap episodenya!

Kayak bisa banget jabarin perasaan tokohnya, bikin kita bener2 ngerasain apa yang tokoh rasain😭😭😭

penulisannya juga rapi, tanda bacanya rapi, enak bgt dibacaaa!!
love bgt pokoknyaaa🥰🥰
styandrie
LANJUTTTT PLISSSSS
styandrie
AAAAAAA AMSHSKSJSKSK
DEGDEGANNN
styandrie
Parah bgt aseliii🫵🏻
styandrie
mau nangiss😭😭😭😭😭😭😭😭😭
styandrie
😭😭😭
styandrie
🥹🥹🥹
styandrie
oke, ini flashback malam itu kann
styandrie
LUCU BGTTT😭🤏🏻
styandrie
hahahaa
Dewi Eka
menarik
kim elly
hay aku sudah mampir🥰🥰
styandrie
lepas kangen sama zafnya kenzio jayden dan nara🫠🫠♥️
Raezcha: iyaaaa😭😭✨
total 1 replies
styandrie
LOHHHH??
styandrie: satu ayah mrkaaa?/Gosh/
total 1 replies
styandrie
HAHHH
Yunita aristya
apakah celyn 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!