"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam Peristiwa
Bukan hanya satu atau dua hari Binar memikirkan hal ini, Binar diam-diam menyelidiki apa yang dilakukan oleh Tama. Binar tidak sebodoh apa yang Tama fikirkan, bahkan Binar dengan kecerdikannya mampu melihat isi pesan dari ponsel Tama.
Awalnya Binar merasa sangat terluka tapi dia tidak mampu menyuarakan, bahkan dia tidak bisa marah secara langsung kepada Tama. Keadaan Mama mertua yang juga menyudutkannya membuatnya semakin ingin terbebas dari ini semua.
Binar perlahan melepas cincin pernikahannya dan meletakkan begitu saja di atas meja rias.
"Nggak apa-apa kan sayang aku nggak pakai saat kerja? soalnya aku banyak kerjaan di luar, takutnya malah ilang, kan sayang," ungkap Tama kala itu, saat meminta izin untuk sering melepas cincin pernikahannya saat kerja. Namun lama-kelamaan terbiasa, dan Binar lelah juga.
Binar tersenyum mengasihani dirinya sendiri, tapi dia kuat. Tak sekalipun dia merengek pada Tama.
Binar mematut dirinya di depan cermin, polesan make up membuat kecantikannya semakin nampak. Tidak biasanya Tama pulang lebih awal, tapi Binar tidak lagi peduli.
Taksi yang dia tumpangi telah sampai di tempat yang dia sepakati, sebenarnya Putra menawarkan untuk menjemputnya, Binar menolak.
"Jadi mbak Binar temani Bapak untuk menghadiri undangan sebentar, ini tidak yang formal kok mbak, undangan pesta temannya Bapak, dan setelahnya akan ada pertemuan bisnis, bisa jadi sampai malam. Tapi tenang saja, nanti akan ada sopir yang datang mengantarkan mbak Binar saat pekerjaan usai" ujar Putra.
"Baik, Pak Putra" Binar mengangguk.
Aksa turun dari mobilnya dengan setelah kasual, tidak berpakaian seperti keseharian saat dia bekerja. Kaos polo warna putih dengan celana berbahan jeans warna biru pudar.
"Catat semua yang menjadi agenda kerja malam ini ya," Putra memerintah, dia sendiri sudah dipercaya oleh keluarga Aksa. Putra akan mewakili Aksa di undangan yang lain atas nama kantor. Selain itu, dengan adanya Binar, mungkin akan sedikit bisa menepis gosip yang beredar terhadap orientasi seksual pada Aksa.
Suara dentuman musik terdengar cukup keras, Binar yang tidka terbiasa pun sesekali merasakan telinganya sakit. Aksa yang berada tak jauh darinya memperhatikannya.
"Hai bro..." sapa Martin dengan ramahnya, laki-laki itu menepuk pundak Aksa. Martin adalah orang yang digosipkan memiliki hubungan khusus dengan Aksa selama ini. "Oh hai, ini sekretaris kamu yang baru? hai kenalin, gue Martin" Martin mengulurkan tangannya ke arah Binar, Binar mengangguk dan membalas salam dari laki-laki itu. Rasanya melihatnya secara langsung dengan melihat gambarnya di berbagai media terasa berbeda, Martin orangnya tampan dan terlihat normal-normal saja di mata Binar.
"Eh mari silahkan duduk, sebelum bahas pekerjaan yuk nikmati pesta kali ini dulu," ajak Martin, beberapa pegawai yang ada di rumah mewahnya menyuguhkan minuman. Binar yang sama sekali tidak bisa minum minuman keras pun memilih untuk minuman ringan saja.
"Apa kamu tidak minum ini?" tanya Aksa. Binar menggeleng.
"Maaf pak,"
"Ini masih pesta, kalau kamu tidak nyaman, kamu bisa menunggu di ruang lainnya dulu," Aksa merasakan Binar memang tidak nyaman, akhirnya dengan senang hati Binar berjalan ke area luar, di mana dentuman musik sama sekali tidak terdengar olehnya.
Meskipun hanya pesta yang menurut Binar biasa saja, menurut Putra tidak menutup kemungkinan akan ada wartawan yang mengawasi. Jadi dia berpesan kepada Binar agar selalu berada di sisi Aksa.
Kembali teringat hal tersebut, Binar sontak berbalik dan kembali masuk ke ruangan yang tadi. Di mana banyak orang tengah berkumpul di sana dan menikmati alunan musik seperti di sebuah pub. Binar kembali ke tempat duduknya tadi, keadaan masih sama, Martin dan Aksa berada di sana tanpa seorang pun, hanya mereka berdua.
Jantung Binar serasa tidak aman, apakah jangan-jangan gosip yang beredar itu benar? masa iya diantara puluhan orang laki-laki, tidak ada satupun yang ke arah meja ini? Binar meneguk ludahnya, minumannya masih di atas meja, Tapi dia tidak meminumnya kembali.
"Saya ke toilet sebentar" pamit Binar, dengan ramah Martin menyuruh karyawan di sana mengantar Binar ke toilet. Martin dengan senyumnya menuangkan minuman ke gelasnya yang sudah kosong. Melihat gelas Aksa pun sudah kosong, Martin kembali menuang ke gelas Aksa.
"Cukup," ujar Aksa yang sudah merasa agak pusing.
"Maaf kalau lama menunggu teman bisnisku, entahlah kenapa dia belum datang juga," Martin kembali menenggak minumannya. "Kalau kemalaman kamu bisa menginap di sini saja,"
"Aku mau ke toilet," Aksa bangkit dari duduknya dan meninggalkan Martin. Martin membuntuti Aksa yang tengah pusing menuju toilet.
Belum juga sampai toilet, Aksa melihat Binar tengah menuju ke ruangan tadi. Aksa memegang lengan Binar.
"Kita pulang," ajaknya. Binar nampak terkejut dengan perlakuan Aksa yang tiba-tiba. Terlebih saat melihat wajah Aksa yang agak memerah.
"Bapak..."
"Jika Aksa sakit, kalian bisa menginap saja di tempat ini, kalian bisa pakai kamar atas, ada beberapa kamar," Martin kembali menawarkan.
"Kita pulang," ajak Aksa lagi yang kini langkahnya sudah agak gontai. Martin memperhatikan mereka berdua meninggalkan tempat ini.
Aksa dan Binar tiba di mobilnya, untung saja sopir dengan sigap membuka pintu untuk Aksa. Aksa duduk di kursi belakang, Binar yang khawatir dengan keadaan Aksa.
"Apakah saat datang tadi Bapak sudah sakit?" Binar memastikan pada sopirnya, tangan kanannya memeriksa dahi Aksa, tidak teraba demam di sana. Hanya saja keringatnya agak banyak.
"Tidak, Bu. Bapak baik-baik saja tadi saat berangkat"
"Kita ke rumah sakit ya pak?" Binar panik melihat keadaan Aksa. Meski Aksa tengah memejamkan matanya, tapi dia bisa mendengar apa yang terucap. Aksa menggeleng. Tangan Aksa memegang erat tangan Binar dan sesekali meremasnya. Badannya terasa terbakar, keringatnya mengucur, terasa ada dorongan untuk melakukan sesuatu.
Mobil masuk ke dalam basement apartemen, Binar meyakini ini adalah kediaman Aksa. Tidak ada kesempatan bertanya, Binar langsung membantu sopir memapah Aksa. Mereka tiba di lantai 20 sebelum masuk ke dalam kamar tersebut. Binar dengan susah payah membantu sopir Aksa yang badannya tidak sebesar Aksa.
Binar membantu Aksa untuk melepas sepatunya, sementara sopirnya sudah terlebih dulu meninggalkan kamar Aksa. Setelah berhasil melepaskan sepatu Aksa, Binar menyelimuti laki-laki itu. Tangannya hendak mengambil ponsel yang dia simpan di tas. Tapi tasnya tertinggal di mobil, menghubungi Putra pun gagal.
"Ok, aku akan turun dan menghubungi Pak Putra setelah sampai bawah," gumamnya pelan. Binar hendak beranjak, sebuah tangan menarik tangan Binar dengan eratnya.
Jantung Binar seolah berhenti berdetak, nampak laki-laki yang dengan susah payah dia bawa naik ke apartement ini wajahnya berada di depannya, hanya berjarak sejengkal. Tangan laki-laki itu merangkul leher Binar.
"Pak...Pak Aksa....akan saya ambilkan minum ya?" Binar mencoba menyadarkan laki-laki itu.
"Apa kamu juga menganggap saya tidak normal?" suara Aksa terdengar sangat parau. Binar mengerjab.
Bagaimana ini?
"Pak...itu...ehm...saya tidak tahu apa yang bapak maksud," Binar mencoba mencari alasan.