Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
After The Silence
Lorong rumah sakit sunyi. Waktu seolah tertahan di antara detak jarum jam dan aroma disinfektan yang menggantung pekat di udara.
Di kamar bernomor ganjil, Sara duduk di atas ranjang, memeluk lututnya sendiri. Selimut putih membungkus tubuhnya yang dingin kontras dengan kulit pucat dan rambut kusutnya yang masih ternoda sisa darah Nathaniel.
Clara dan Vivienne duduk di dekatnya, bergantian menjaganya sepanjang malam. Lucien berdiri di luar pintu, menjadi perisai tanpa suara. Tak ada polisi. Tak ada laporan. Hanya diam... dan keputusan yang ditelan bersama rasa takut.
Ketika Lucien menyampaikan bahwa Kakek Nathaniel akan datang besok pagi, Sara hanya mengangguk sekali. Ia tak bertanya, tak menangis, bahkan tak bereaksi. Tapi sorot matanya cukup jelas:
"Jangan katakan apa pun. Kepada siapa pun."
Dan mereka mengerti.
Malam itu menjadi rahasia bersama.
***
Begitu dokter mengizinkan kepulangannya, Sara tidak kembali ke rumah. Tanpa suara, ia dibawa ke apartemen Vivienne, tempat yang hanya berjarak beberapa blok dari sekolah. Tak seorang pun mencurigai. Sara memang sering menginap di sana. Kadang untuk tugas, kadang hanya untuk menjauh dari dunia.
Kakeknya tidak tahu. Dan mereka berniat menjaganya tetap begitu.
Selama lima hari, Sara tinggal di sana. Tidak banyak bicara, tak lagi menangis. Ia makan secukupnya, tidur hanya dua jam setiap malam, dan menghabiskan sisanya duduk di dekat jendela. Menatap kota yang sama, dengan mata yang tak lagi sama.
Vivienne kadang memeluknya dari belakang. Clara membawakan buku sketsa. Dan Lucien, ia datang setiap pagi, memastikan gadis itu masih ada. Masih bertahan.
***
Seminggu kemudian, Sara mengajukan permohonan pindah sekolah. Bukan karena disuruh, bukan demi menghindar, hanya karena ia ingin memutus semua jejak. Nathaniel tidak pernah muncul lagi sejak malam itu. Tak ada kabar. Tak ada nama yang disebut.
Dan Sara... tidak mencarinya.
Ia menyelesaikan sekolahnya dengan tenang. Menolak upacara perpisahan, tak datang ke pesta kelulusan, menghindari foto bersama. Ia lulus dengan nilai sempurna tanpa satu pun tanda bahwa Nathaniel pernah menjadi bagian dari hidupnya.
***
Namun hidup tak pernah benar-benar memberi ruang untuk sembuh sepenuhnya.
Beberapa bulan setelah kelulusan, ketika musim semi mulai menyelimuti Paris dengan angin lembut, sebuah kabar datang: kakeknya jatuh sakit.
Serangan jantung. Mendadak.
Sara kembali ke rumah sakit. Tapi kali ini sebagai cucu, bukan korban.
Ia menjaga sang kakek tanpa jeda selama tiga hari penuh. Tak tidur, tak mengeluh. Hanya duduk di sisi tempat tidur, menggenggam tangan yang dulu membesarkannya.
Hingga akhirnya, kedua orangtuanya, Henri dan Aveline, tiba dari Swiss bersama Adrian, kakaknya.
Mereka ingin membawanya pulang.
“Tinggalah di rumah. Di Swiss. Kita bisa mulai dari awal.”
Tapi Sara menolak.
Paris memang penuh luka. Tapi Paris juga memeluk mimpi-mimpinya. Di kota ini, ia ingin menjadi desainer. Di kota ini, ia ingin membuktikan bahwa dirinya lebih dari sekadar korban.
Meskipun Paris menakutkan.
Meskipun setiap lorong malam kadang masih membawa bayangan yang tak ingin ia lihat kembali.
Sara memilih tinggal.
Ia menyewa apartemen kecil di distrik sunyi, dekat taman yang dulu sering ia kunjungi bersama mendiang Kakeknya. Orangtuanya dan Adrian datang bergantian setiap bulan. Mereka tinggal semalam, dua malam, lalu kembali. Tapi tak pernah absen.
Tak ada yang bertanya tentang masa lalu.
Dan Sara... tak pernah menceritakannya.
***
Di balik jendela apartemennya yang berembun saat musim dingin mulai datang lagi, Sara Elowen perlahan merangkai dirinya kembali.
Dengan benang.
Dengan sketsa.
Dengan diam yang menyimpan lebih banyak rahasia daripada kata-kata.
Dunia mungkin tak tahu apa yang pernah terjadi padanya.
Tapi ia tahu.
Dan untuk sekarang... itu cukup.
...----------------...
Langley Memorial Hospital, Upper Manhattan — New York.
Cahaya menusuk kelopak matanya, bukan sinar hangat pagi, melainkan putih menyilaukan yang berasal dari lampu rumah sakit. Terlalu terang. Terlalu sunyi.
Tubuhnya berat. Mati rasa. Seolah jiwanya belum sepenuhnya kembali, tertahan di tempat antara mimpi dan kenyataan.
Setelah beberapa detik.
Napasnya pertama terasa seperti luka. Seperti debu yang mengisi paru-paru, bukan udara.
Ia mencoba menggerakkan jarinya lambat.
Matanya terbuka sedikit demi sedikit, bertemu dengan langit-langit putih pucat, dan suara mesin yang berdetak pelan di telinganya.
Selang.
Infus.
Aroma antiseptik dan dingin logam menusuk ke dalam kesadaran yang retak.
Sakit.
Bukan hanya di kepala, tetapi di dalam dada. Di tempat yang tak bisa dijangkau alat medis mana pun.
“...Sara?”
Suaranya hampir tak terdengar. Tapi ia menyebut nama itu. Nama yang tinggal di antara retakan memori dan sisa rasa sakit yang belum sembuh.
Dari balik kaca ruang ICU, seorang pria berjas gelap berdiri kaku.
Matheus Braga.
Tubuhnya besar dan tegap, wajahnya tak menunjukkan emosi. Tapi matanya tajam, membaca detik-detik kebangkitan seseorang yang tak seharusnya bangun terlalu cepat.
Melihat Nathaniel sadar, ia segera berbalik. Keluar ruangan.
Langkahnya tenang, tapi terburu. Ada yang harus ia panggil.
Beberapa menit kemudian, suara pintu terbuka nyaris tanpa suara.
Alphonse Raynhard Velmier masuk.
Pria tua yang namanya lebih berat dari emas keluarga mereka, lebih ditakuti daripada hukum, dan lebih dingin daripada nisan. Jasnya hitam. Sepatunya berkilat. Sikapnya kaku dan presisi, seperti jam tua buatan tangan yang tak pernah meleset dari waktu.
Ia tak langsung mendekat.
Hanya berdiri, menatap cucunya dari ujung ranjang.
“Sudah bangun,” gumamnya akhirnya.
Nada bicaranya datar.
Nathaniel mencoba menoleh. Lehernya terasa seperti dipenuhi beling.
Tapi tetap, ia bicara.
“Sara…”
Raynhard mendengus.
“Tentu saja. Bahkan setelah semua yang terjadi, nama itu tetap yang pertama keluar dari mulutmu.”
Nathaniel menatap pria tua itu. Pandangannya masih kabur, tapi ada kejelasan yang muncul perlahan-lahan. Bukan dari penglihatan melainkan dari ingatanya.
“Di mana dia?”
Raynhard mengangkat dagunya sedikit, seperti muak harus menjelaskan sesuatu yang dianggapnya tak relevan.
“Pergi. Jauh. Dan itu pilihan terbaik yang pernah dilakukan gadis itu.”
Nathaniel ingin menjawab. Tapi tubuhnya terlalu lemah. Ia hanya mengepalkan jemari sedikit. Tangan yang masih ditusuk infus bergetar.
Raynhard menarik sebuah map dari dalam jasnya dan meletakkannya di meja kecil di sebelah ranjang.
Di atasnya, tercetak nama baru:
Nicko Armano Velmier.
“Kau akan hidup dengan nama itu,” ucap sang kakek, datar.
“Semua rekam medis, dokumen hukum, dan identitas lamamu telah dimusnahkan. Nathaniel sudah mati.”
Nathaniel, yang kini berubah menjadi Nicko, mengatupkan rahangnya erat, menahan perasaan yang sulit diterimanya. Matanya menatap kosong ke depan, tapi pikirannya berputar tanpa henti, mencoba menerima kenyataan yang tak bisa diubah.
Mati.
Kata itu terasa benar. Karena sejak malam itu, ia tak lagi tahu siapa dirinya.
Raynhard mendekat, suaranya lebih rendah. Tapi tekanan yang dibawa jauh lebih tinggi.
“Nama Nathaniel membawa skandal. Luka dan aib. Kita tak akan mengulang kebodohan itu. Kau akan mulai hidup baru. Lanjutkan studi. Bukan di Prancis. Tapi di bawah pengawasanku.”
Ia berhenti sejenak. Matanya menyipit.
“Dan yang terpenting. Jangan pernah sekalipun mencarinya. Dia sudah cukup hancur karena kelalaianmu.”
Nathaniel memalingkan wajah.
Bukan karena takut. Tapi karena sakitnya terlalu dalam. Bukan fisik. Tapi rasa bersalah yang bahkan tak bisa ia uraikan.
“Aku tak ingin nama baru,” bisiknya.
“Aku hanya ingin... menebusnya.”
Raynhard menahan napas. Rahangnya mengeras.
“Kalau kau benar-benar ingin menebus sesuatu, kau akan diam. Dan hidup dengan kendali penuh. Kau tidak mencintainya, Nathaniel. Kau terobsesi. Dan obsesi… adalah penyakit.”
Nathaniel menutup mata. Napasnya berat.
Kepalanya terasa seperti dipukul dari dalam.
Tapi satu nama tetap mengendap di sana.
Sara.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor