Sebastian Adiwangsa. Nama yang selalu bergaung dengan skandal, pesta malam, dan perempuan yang silih berganti menghiasi ranjangnya. Baginya, cinta hanyalah ilusi murahan. Luka masa lalu membuatnya menyimpan dendam, dendam yang membakar hasratnya untuk melukai setiap perempuan yang berani mendekat.
Namun, takdir memiliki caranya sendiri. Kehadiran Senara Ayunda, gadis sederhana dengan kepolosan yang tak ternodai dunia, perlahan mengguncang tembok dingin dalam dirinya. Senara tidak seperti perempuan lain yang pernah ia kenal. Senyumnya membawa cahaya, tatapannya menghadirkan kehangatan dua hal yang sudah lama terkubur dari hidup Sebastian.
Namun, cara Sebastian menunjukkan cintanya pada Senara bermula dari kesalahan.
Amarah dan Penyesalan
Di dalam ruang perawatan, hanya suara beep…beep… dari patient monitor yang terdengar, mengisi keheningan yang mencekam. Jarum infus menancap di lengan, tabung oksigen terpasang di wajah, dan tubuh wanita itu terbaring tak berdaya di ranjang.
Di balik kaca besar yang membatasi ruangan, seorang pria berdiri kaku, kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Tatapannya tak pernah lepas dari sosok di dalam sana, wanita yang tak sadarkan diri karena ulahnya sendiri.
Bagaimana dia harus menjelaskan semua ini kepada Ravian, kakak yang begitu melindungi adiknya? Pertanyaan itu terus menghantui Bastian.
Waktu berjalan lambat, sampai akhirnya pintu terbuka dan seorang perawat keluar.
“Keluarga pasien?” tanya perawat itu sambil menatap sekeliling.
“Ya, saya keluarganya.” Bastian segera berdiri, nada suaranya tegas meski hatinya kacau.
“Penanganan dan pemeriksaan telah selesai. Sekarang kami hanya menunggu pasien sadar. Pasien kehilangan banyak darah, tapi sudah dilakukan transfusi. Anda sudah bisa masuk,” jelas perawat.
Bastian mengangguk, tetapi langkah perawat itu terhenti ketika ia mendengar suara Bastian lagi.
“Apakah janinnya baik-baik saja?” tanyanya pelan, penuh keraguan.
Perawat itu tersenyum tipis lalu mengangguk. “Janinnya hampir saja hilang. Untung Anda membawanya cepat. Dalam infus sudah kami tambahkan cairan penguat janin. Setelah sadar, pasien harus rutin minum obat dan menjaga pola makan.”
Ada rasa lega yang menyelinap ke dada Bastian. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, ia bisa menarik napas sedikit lebih tenang.
“Terima kasih,” ucapnya singkat.
Begitu masuk ke ruangan, aroma obat segera menusuk indera penciumannya. Bastian menarik kursi dan duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat yang seolah tertidur panjang. Dengan ragu, ia meraih tangan lemah itu. Genggamannya penuh kebimbangan, usapannya pelan seolah takut menyakiti lebih dalam.
“Maaf…” bisiknya lirih.
Tatapannya kemudian jatuh ke perut Sena yang masih datar. Tangannya bergeser, menyentuh dengan hati-hati, membelai perut itu.
“Maaf… maaf…” ucapnya lagi, berulang kali.
Penyesalan menghantam dadanya keras. Bayangan suara rintihan Sena yang berulang kali mengeluh “sakit” kembali memenuhi kepalanya. Ia mendesah, jari-jarinya menyusuri rambutnya sendiri, frustasi.
… … …
Tiga jam berlalu. Bastian tetap setia di sana, tak bergeser sedikit pun. Sampai akhirnya jemari Sena mulai bergerak, kelopak matanya bergetar sebelum perlahan membuka. Yang pertama ia lihat hanyalah langit-langit putih rumah sakit, sementara aroma obat memenuhi penciumannya.
“Sena?” suara itu pelan, nyaris tak berani terdengar.
“Sena, kau sudah sadar?” suara itu lagi, kali ini lebih jelas. Ia menoleh dan menemukan Bastian di sisinya.
Ingatan Sena langsung kembali pada kejadian mengerikan yang baru dialaminya, dipaksa untuk menggugurkan kandungannya. Panik, tangannya refleks meraba perutnya.
Apakah anaknya masih ada?
“Janinmu baik-baik saja.” Bastian segera menjawab kegelisahan itu begitu melihat gerakan Sena.
“Kau harus makan. Aku akan meminta perawat membawakan makanan.” Ia beranjak keluar sebelum Sena bisa mengatakan apapun.
Sena hanya terdiam, masih berusaha mencerna semuanya. Tak lama, Bastian kembali dengan troli makanan. Ia membantu Sena duduk, tangannya telaten, gerakannya penuh kehati-hatian, sangat berbeda dengan sosok yang memaksanya beberapa jam lalu.
“Terima kasih,” ucap Sena getir, tersenyum hambar.
Bastian tak membalas, hanya terus menyuapi wanita itu hingga piring benar-benar kosong. Ia menuangkan air, membantunya minum, bahkan menyodorkan buah. Setelah itu, ia membuka bungkus obat dan menyodorkannya juga.
“Sekarang, minum obatmu.” Sena menelan obat itu, meneguk air dari tangannya.
Keheningan kembali memenuhi ruangan, hingga akhirnya suara lirih Sena pecah. “Bastian… aku akan pergi dari hidup kalian. Aku akan menjauhi Arya, aku tak akan tinggal di apartemennya lagi. Aku akan mencari tempatku sendiri. Aku janji. Asal…” ia terdiam sebentar, suaranya bergetar,
“…asal jangan bunuh anakku lagi.”
Kata-kata itu menancap seperti pisau di hati Bastian. Wanita itu begitu menyayangi anaknya, sementara dirinya, sang ayah, justru hampir membunuh darah dagingnya sendiri.
“Kau tetap tinggal di rumahku. Jangan kemana-mana” Suara Bastian terdengar lebih lembut dari biasanya.
Sena menggeleng cepat, rasa takut masih menghantuinya. “Tidak… aku akan cari tempat tinggalku sendiri.”
“Memangnya kau akan tinggal dimana? Kau punya uang?” kali ini emosi Bastian sedikit tersulut.
Sena terdiam. Ia tahu Bastian benar.
“Jangan bertingkah, Sena. Tetaplah di rumahku. Kau bisa melanjutkan kuliahmu. Hidupmu dan anak kita akan terjamin.”
Sena terperanjat. Anak kita. Kata itu akhirnya keluar dari mulut Bastian.
“Tapi… tolong, jangan pernah lagi mencoba membunuhnya, Bas. Aku mohon…”
Bastian memejamkan mata, menahan sesal. “Jaga anak kita sampai lahir dengan selamat.” Setelah itu ia bangkit dan meninggalkan ruangan.
Malam itu, Bastian menghabiskan waktu lama di taman rumah sakit. Beberapa batang rokok habis ia bakar.
Saat kembali, ia mendapati Sena sudah tertidur pulas. Ia mandi sebentar lalu memilih merebahkan diri di sofa ruangan. Padahal ia memesan ruangan VIP dimana ada kamar tidur sendiri untuk tamu. Tapi ia memilih tidur di Sofa yang berada dekat dengan ranjang Sena.
...****************...
Pagi menjelang, pintu ruangan tiba-tiba terbuka kasar.
“BRENGSEK!” suara lantang mengguncang ruangan.
Ravian berdiri di ambang pintu, wajahnya merah padam. Ia menghampiri Bastian yang masih terlelap di sofa.
“Bangun!” Ravian menariknya kasar. Bastian baru saja akan mengumpat, tapi pukulan telak menghantam pipinya lebih dulu.
“APA YANG KAU LAKUKAN PADA ADIKKU?” teriak Ravian, suaranya meledak memenuhi ruangan.
Pukulan lain mendarat, Bastian tak melawan sedikit pun.
“KAK! KAK!” Sena terbangun panik, berusaha menghampiri meski tubuhnya masih lemah dan tiang infus menahan langkahnya.
“Kak, hentikan! Bastian bisa terluka!” Tangis dan teriakannya membuat Ravian akhirnya menghentikan pukulannya, meski mulutnya masih terus melontarkan makian.
“Kenapa kau setega itu, Bas? Adikku salah apa padamu? Kau yang menginginkannya, tapi kau juga yang berusaha membunuh anaknya!”
“KAU JUGA HAMPIR MEMBUNUH ADIKKU!” Ravian berteriak lagi.
Ravian berbalik ke arah Sena, tatapannya penuh kecewa.
“Kenapa kamu tidak memberitahuku kalau hamil, Sena?”
Sena menangis tersedu. “Maafkan aku, Kak…”
“Aku yang menyuruhnya,” suara Bastian akhirnya pecah. “Aku mengancam adikmu agar tidak memberitahumu.”
“KAU!” Ravian mengacungkan tinjunya lagi, tapi Sena segera menahan.
Frustasi, Ravian berteriak. “Kalau bukan karena dulu kau yang menyelamatkanku, kalau bukan kau yang mempertemukanku dengan Sena, kalau bukan karena pengaruhmu, sudah kubunuh kau, Bas!”
Bastian menunduk, dan untuk pertama kalinya, kata yang paling asing keluar dari mulutnya.
“Maaf… Maafkan aku.”
Sosok lelaki dingin yang tak pernah menunduk pada siapapun itu, akhirnya menyerah pada rasa bersalahnya sendiri.
Sena hanya bisa menangis di sisinya.
...****************...
Seminggu setelah kejadian di rumah sakit, terjadi perang dingin antara Bastian dan Ravian. Ravian jarang menyapa Bastian kecuali untuk urusan pekerjaan.
Sementara Sena sudah kembali tinggal di rumah Bastian. Selama disana, Ravian selalu melayaninya. Menyuapinya makan, mengajak Sena jalan-jalan, dan memastikan Sena dan calon bayinya hidup dengan aman dan nyaman.
Hari ini, Bastian pulang lebih dulu dari Ravian.
“Sena dimana?” tanya Bastian kepada mbok Jena. Karena biasanya wanita itu akan duduk di ruang tamu menunggu Ravian pulang, tapi kali ini wanita itu tidak ada.
“Di kamarnya Tuan. Tadi Nona Sena sudah turun untuk makan dan kembali ke kamarnya”
Bastian mengangguk, lalu mandi dan berganti pakaian. Setelah selesai, dengan langkah tenang ia menuju kamar Sena.
Ia mengetuk pintu kamar Sena. Namun tidak ada jawaban.
Ia membuka pintu itu dan menemukan Sena sudah terlelap dengan posisi meringkuk.
Bastian duduk di tepi ranjang, mengamati wajah teduh itu.
“Cantik sekali…” batinnya bergumam.
Tanpa ragu, ia ikut berbaring di belakang Sena, melingkarkan tangan ke pinggang mungil itu. Senamenggeliat kecil, lalu justru semakin mendekat, mencari kehangatan.
Bastian mengusap perut Sena lembut, seakan menghubungkan dirinya dengan anak yang sedang tumbuh di dalam sana. Malam itu, untuk pertama kalinya, ia tidur dengan ketenangan yang asing, bersama Sena dan calon anak mereka.
… … …
Larut malam, Ravian baru tiba dari kantor. Ia sempat mengirim pesan agar Sena tidak menunggunya.
Setelah memastikan pada Mbok Jena bahwa Sena sudah makan, ia langsung naik ke kamar adiknya.
Begitu pintu terbuka, ia mendapati Sena terlelap… dengan Bastian di sisinya. Lengan Bastian melingkari tubuh adiknya, dan Sena terlihat nyaman dalam pelukan itu.
Ravian terdiam, lalu tersenyum samar. Masih sulit baginya menebak bagaimana sebenarnya perasaan Bastian pada adiknya. Tanpa suara, ia menutup pintu kembali dan melangkah ke kamarnya sendiri.
...----------------...
^^^Cheers, ^^^
^^^Gadis Rona^^^