NovelToon NovelToon
Cat Man

Cat Man

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Cintapertama / Sistem / Romansa
Popularitas:814
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

Hidup Shavira hanyalah rangkaian luka yatim piatu, ditindas bibi dan pamannya, lalu divonis hanya punya beberapa bulan karena penyakit mematikan. Namun semua berubah ketika ia bertemu sosok misterius yang selalu muncul bersama seekor kucing hitam. Lelaki itu menyebut dirinya malaikat maut—Cat Man. Sejak saat itu, batas antara hidup dan mati, cinta dan kehilangan, mulai kabur di hadapan Shavira.

haii,, selamat datang di cerita pertamaku.. semoga suka ya~♡

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kucing Itu Sudah Mati

Shavira terus memikirkan kata-kata Kevin. Apa maksudnya? Kematian? Apakah benar nyawa ayah Kevin dicabut oleh lelaki ini?

Gadis itu melirik ke samping, menatap wajah datar pria yang sejak tadi berjalan di sebelahnya. Entah sampai kapan dia akan terus mengikutinya. Sekarang mereka sudah sampai di halaman perusahaan tempat Shavira bekerja.

Shavira menghentikan langkah, lalu memutar tubuhnya.

“Stop!”

Pria itu ikut berhenti. Sebelah alisnya terangkat, menatapnya tanpa ekspresi.

“Mau sampai kapan ngikutin gue?” tanya Shavira dengan nada kesal.

“Sampai kamu mati,” jawabnya santai, seolah kata-kata itu tidak punya beban.

Astaga! Shavira melongo, sampai lidahnya kelu. Rasanya ia ingin menjahit mulut pria itu supaya tidak bisa bicara seenaknya.

“Miau~”

Keduanya menoleh bersamaan. Seekor kucing hitam duduk manis sambil menatap mereka.

“Sem! Cing... kamu kok bisa ada di sini?”

Shavira terbelalak. Padahal tadi kucing itu sudah dia kunci di rumah. Bagaimana bisa keluar? Apa di rumah ada lubang?

Pria itu dengan tenang menggendong Sem, mengelus bulu hitamnya.

“Cat Man...” bisik Shavira tanpa sadar.

Ya, memang terasa aneh—seolah ada ikatan tak kasat mata antara lelaki itu dan kucing yang ia adopsi. Bahkan Shavira sempat melihat aura pria itu berbaur dengan tubuh Sem.

Shavira melirik jam tangannya. Hampir telat! Kalau lama-lama di sini, Pak Saiful bisa ngomel. Ia segera melangkah cepat, meninggalkan mereka.

Namun langkahnya terhenti. Sem sudah berdiri tepat di depannya, menghadang.

“Hhh... Sem! Jangan ikut-ikut! Di kantor gak boleh bawa hewan peliharaan!” protes Shavira.

“Orang kantor tidak bisa melihat dia,” ujar pria itu datar.

Shavira mengernyit. “Maksud lo?”

“Sem sudah mati.”

Deg!

Shavira membeku. Tatapannya kembali jatuh pada kucing itu. Mati? Bagaimana mungkin? Selama ini ia selalu bisa menyentuh Sem.

Namun saat ia ingin bertanya lebih jauh, pria itu sudah menghilang. Shavira berputar, menoleh ke segala arah, tapi tak ada jejaknya sama sekali.

Sem memang sudah mati sejak lima tahun lalu. Waktu itu lelaki itu sempat menolongnya, tapi hanya rohnya saja yang bisa diselamatkan. Raga Sem tidak bisa kembali. Bagaimanapun, ia bukan Tuhan.

---

Shavira masuk ke ruang kantor. Ia menggantung tasnya di samping kubikel. Kepalanya penuh dengan pikiran aneh barusan. Benarkah Sem sudah mati?

“Rin, lo liat kucing gak?” tanyanya sambil melirik temannya yang berhijab hitam.

Karin menoleh kanan-kiri. “Enggak. Emang mana sih?”

“Serius lo gak liat?”

“Enggak. Apa mata gue yang minus?” karin bahkan sempat mendekat, tetap tidak menemukan apa-apa.

Shavira beralih ke meja lain. “May, lo liat kucing gak?”

“Kucing?” Maya ikut celingukan, tapi akhirnya menggeleng.

Shavira kecewa. Bagaimana bisa? Padahal kucing itu jelas-jelas duduk manis di pangkuannya sekarang. Jadi... benar? Kucing ini memang roh?

“Emang lo liat kucing, Vir?” tanya Maya curiga.

Shavira hanya menggeleng kaku. Maya mencibir, mengira sahabatnya itu sedang halu.

Shavira berusaha mengenyampingkan pikirannya. Dia mulai fokus mengetik laporan di layar komputer. Dari luar, ia tampak seperti karyawan biasa. Tidak ada yang tahu, gadis ini sebenarnya mengidap penyakit mematikan—hanya punya sisa waktu dua bulan untuk hidup.

Shavira duduk di kursi tunggu stasiun bawah tanah. Kereta datang, pintu terbuka, orang-orang masuk berdesakan. Kali ini ia tak kebagian tempat duduk, jadi hanya berdiri sambil menggenggam tiang besi di sampingnya.

15 menit berlalu. Kereta berhenti di stasiun tujuan. Arus manusia menyeretnya keluar. Shavira naik tangga perlahan, satu demi satu anak tangga.

Lalu—

Dug!

Dadanya mencengkeram sendiri. Sesak. Sakit. Napasnya seperti diremas paksa. Tangannya menekan dinding tembok, tubuhnya bergetar.

Tidak… jangan sekarang…

Shavira mencoba melangkah lagi, tapi lututnya goyah. Pandangannya berkunang. Napasnya tersengal, bibirnya bergetar.

“Aa… to-long…” Suaranya hanya serpihan, nyaris tak terdengar.

BRUK!

Tubuhnya merosot, terduduk lemah di tangga. Air mata menetes tanpa sadar, karena rasa sakit itu... benar-benar seperti ditusuk ribuan pisau di dada.

Lalu—

GREP!

Sebuah tangan kuat menggenggam tangannya. Hangat. Tegas. Menariknya keluar dari jurang itu.

Pelan-pelan Shavira membuka mata. Pandangannya kabur, tapi sosok itu jelas. Lelaki itu. Dia berdiri di depannya, menatap datar seakan semua ini bukan masalah besar.

Perlahan, rasa sesak itu reda. Napasnya kembali normal. Shavira terisak kecil, antara lega dan takut.

“Terima kasih…” suaranya serak, lemah.

Pria itu tidak menjawab. Ia hanya menatapnya, lalu melepas genggaman itu begitu saja. Tanpa kata. Tanpa emosi. Lalu melangkah naik meninggalkan Shavira.

Gadis itu berdiri dengan sisa tenaga, mengikuti dari belakang. Dadanya masih berdegup keras, tapi ada perasaan aneh—lega, sekaligus ngeri.

Ia menatap punggung lelaki itu. Kalau benar dia kematian… bisakah aku memohon padanya? Sedikit saja waktu lebih lama?

“Tu… tunggu!”

Pria itu berhenti. Ia menoleh, tatapannya menusuk.

Shavira maju pelan. Bibirnya gemetar. “Aku… aku cuma… bisakah kamu… jangan cabut nyawaku dulu?”

Alis pria itu terangkat. Ia mendekat, langkahnya berat. “Jangan berlebihan.”

Shavira menelan ludah.

“Aku tidak punya perasaan pada manusia,” suaranya dingin, tegas. “Jangan berharap aku akan memberimu waktu lebih lama.”

Ia mendekat lagi, wajahnya hanya sejengkal dari Shavira. Tatapannya menusuk dalam.

“Kamu pikir dirimu siapa? Kamu hanya wanita yang hidup menyedihkan di dunia ini.”

Deg.

Kata-kata itu menghantam dada Shavira lebih keras dari penyakitnya sendiri.

Rahannya mengeras, tangannya mengepal, amarah menyalakan api di dalam tubuhnya. “Jangan sok kayak Tuhan!”

Pria itu tersenyum tipis, dingin. “Aku bahkan bisa membuatmu merasakan sakit yang lebih parah dari yang pernah kamu rasakan.”

Dan benar saja—

“Aaakhhh!”

Shavira terjatuh. Dadanya kembali terbakar, lebih kejam dari sebelumnya. Ia terengah, berteriak kesakitan, tubuhnya melengkung di trotoar.

Pria itu berjongkok, menyentuh punggung tangannya. Seketika rasa sakit itu mereda. Nafasnya perlahan stabil lagi.

Shavira gemetar. Matanya merah. Lalu—

PLAK!

Tamparannya mendarat di pipi pria itu.

Pria itu menoleh pelan, senyum smirk terbit di wajahnya.

“Lo nyebut gue menyedihkan?” suara Shavira bergetar, matanya menatap tajam. “Hidup lo lebih menyedihkan!”

Ia menusuk dadanya dengan telunjuk. “Main-main sama nyawa orang lo kira itu hebat? Hidup lo kosong! Lo bahkan cuma ditemenin roh seekor kucing! Dari mata lo aja gue bisa liat—hidup lo jauh lebih sengsara dari hidup gue!”

Shavira mendorong bahunya kasar, lalu berjalan cepat menjauh. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan.

Pria itu hanya berdiri diam. Senyum tipisnya pudar, berganti tatapan yang sulit diartikan.

---

1
Ceyra Heelshire
what the hell
Maki Umezaki
Terima kasih penulis, masterpiece!
Tae Kook
Perasaan campur aduk. 🤯
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!