Gavin Alvareza, pria berdarah dingin dari keluarga mafia paling disegani, akhirnya melunak demi satu hal: cinta. Namun, di hari pernikahannya, Vanesa wanita yang ia cintai dan percaya—menghilang tanpa jejak. Gaun putih yang seharusnya menyatukan dua hati berubah menjadi lambang pengkhianatan. Di balik pelaminan yang kosong, tersimpan rahasia kelam tentang cinta terlarang, dendam keluarga, dan pernikahan gelap orang tua mereka.
Vanesa tidak pernah berniat lari. Tapi ketika kenyataan bahwa ibunya menikahi ayah Gavin terkuak, dunianya runtuh. Di sisi lain, Gavin kehilangan lebih dari cinta—ibunya bunuh diri karena pengkhianatan yang sama. Amarah pun menyala. Hati yang dulu ingin melindungi kini bersumpah membalas.
Dulu Gavin mencintai Vanesa sebagai calon istri. Kini ia mengincarnya sebagai musuh.
Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan darah, dendam, dan luka?
Atau justru akan berakhir menjadi bara yang membakar semuanya habis?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sonata 85, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Istri Kontrak Sang Tiran
“Kamu terlambat sepuluh menit. Kamu selalu tidak tepat janji,” ucap Gavin sembari memutar-mutar gelas wine di tangannya. Tatapannya menusuk, seperti bilah pisau yang menuntut.
Vanesa menghela napas panjang, lalu meneguk wine miliknya pelan. “Jalanan macet,” katanya, berusaha tenang.
Gavin mendengus, sinis. “Dari zaman Belanda Jakarta sudah macet. Itu tidak bisa jadi alasan.” Ia melipat tangannya di dada, penuh tekanan.
Vanesa tetap berdiri, menunggu perintah dari pria di depannya. “Lain kali aku tidak akan terlambat,” ucapnya.
“Saya ingat janji kamu.” Suaranya rendah, tapi penuh kuasa.
Tak lama kemudian, Gavin berdiri dan menyodorkan beberapa lembar kertas. “Saya sudah melakukan bagian saya seperti yang kamu minta. Sekarang giliranmu menjalankan tugas.”
Vanesa membaca kertas itu dengan teliti. Matanya membelalak sedikit ketika sampai pada bagian kesimpulan: Gavin memintanya untuk menjalani pernikahan kontrak, hingga ia melahirkan anak. Kalau ia tidak melahirkan anak, maka mereka akan tetap pasangan suami istri.
“Aku bersedia hamil... tapi tidak perlu ada pernikahan,” tolak Vanesa pelan, tapi tegas.
Pria bertampang dingin itu menoleh, menatapnya tajam. “Saya tidak ingin anak saya disebut anak haram. Saat kamu menerima uang yang saya berikan, bukan saya sudah katakan padamu, ada harga yang harus kamu bayarkan.”
Vanesa menghela napas pada akhinya ia terjerat juga di gengaman Gavin. Dan ia tidak mampu untuk melawan.
“Kapan kita akan melakukannya?” tanya Vanesa akhirnya.
Gavin mendekat, tubuhnya menjulang seperti bayangan mengancam. “Sekarang. Kita akan menikah dulu, baru melakukannya.”
Vanesa menatap Gavin. “Ingat, ini hanya pernikahan kontrak. Tidak boleh ada satu orang pun yang mengetahuinya.
“Oh. Baca sekali lagi peraturannya. Laksanakan dengan baik. Kalau kamu macam-macam, rumah dan semua yang kamu miliki akan saya sita.” Gavin menyodorkan kertas itu pada Vanesa.
Membaca isi kertas itu membuat dada Vanesa terasa sesak. Itu terlalu berat untuk ia lakukan, ia berubah pikiran. Tidak ingin menikah dengan Gavin.
Sekali lagi Vanesa menarik napas, “Kalau begitu, Berikan aku waktu beberapa hari saja. Aku yakin bisa mengumpulkan uang untuk melunasi hutangku.”
Gavin mendengus murka. “Saya tidak suka orang yang menarik ulur ucapannya, Danita! Kita sudah sepakat. Setelah aku membantumu membalas suamimu, kamu akan membantu saya.” Rahangnya mengeras, nada suaranya menajam seperti sembilu.
“Aku... aku tidak berniat menikah lagi. Aku masih istri seseorang.”
“Ceraikan suamimu. Dan menikahlah denganku. Bukankah kalian sudah bercerai?”
Vanesa menarik napas panjang, “Masih proses perceraian.”
Gavin mendekat, dan berbisik ke kuping Vanesa, “itu sudah cukup untukku.”
Vanesa tahu, ia tidak akan mampu membayar hutang sebanyak itu dalam beberapa hari. Ia tak punya pilihan.
“Baiklah,” bisiknya nyaris tak terdengar.
Pada akhirnya, wanita itu setuju untuk menikah kontrak dengan pria yang paling ia benci untuk saat ini.
**
“Siapkan heli kopter kita akan Bali.” Pintahnya pada Raga.
Dengan senyuman dingin tapi penuh kemenangan.
Felix, Raga dan Zidan saling menatap. Pada akhirnya bos mafia itu menang mendapatkan Vanesa dalam gengamanya, walau dengan cara yang tidak biasa.
Zidan mendekat sembari membuang napas perlahan. “Pada akhirnya dapat juga, walau dengan darah dan air mata.”
“Iya, lah Bos mafia kok dilawan,” timpal Raga.
Gavin tidak main-main. Ia sudah menyiapkan pernikahan sederhana di sebuah Villa di Bali. Pakaian untuk Vanesa dan pakaian untuk dirinya juga. Semuanya terrencana dan penuh perhitungan.
Mereka terbang ke Bali.
“Saya tidak mau ada yang kurang, lakukan semua dengan baik,” bisik Gavin pada ketiga anak buahnya sebelum masuk ke dalam Villa.
“Siap Bos, semuanya sudah diatur.”
*
Maka hari itu diadakan sebuah pernikahan di sebuah ruangan.
Saat keluar dari ruangan Vanesa terlihat sangat cantik bak peri dengan gaun krem yang di gunakannya, rambuat panjang dibiarkan tergerai dipadukan dengan mahkota kecil diatas kepala. Gavin menatapnya tanpa berkedip ia terlalu kagum dengan kecantikan Vanesa. Bukan hanya dia bahkan anak buah itu melonggo. Seketika rasa dendam dan amarah dari hati Gavin tersingkir sekejap melihat wanita itu tampil cantik.
‘Aku berharap ini bukan mimpi’ ucap bos mafia itu sembari memejamkan mata sekejap.
Sentuhan tangan pemuka agama membangunkannya kembali.
“Apa kamu sudah siap?”
Gavin mengangguk pelan. Semuanya berjalan lancar tanpa kendala, terlalu sempurna untuk sebuah pernikahan kontrak. Felix tahu kalau Bos tidak akan melupakan moment pernikahan ini seumur hidupnya. Walau Vanesa tidak ingin ada foto preweding atau foto –foto selama pernikahan mereka. Namun Felix sudah mengatur foto graper tersembunyi selama acara pernikahan. Mengabadikan moment pernikahan mereka. Bagi seorang Vanesa ini hanya sebuah pernikahan kontrak. Tapi bagi seorang Gavin inilah pernikannya yang sesunggunya. Terlihat dari dekorasi ruangan itu, semuanya sudah di rencanakan dan sudah diatur sedemikian rupa.
“Aku melihat aura Bos terlihat di pernikahan ini dari pada pernikahan yang kemarin bersama Karin,” bisik Zidan.
Felik menghela napa panjang. “Sebenarnya inilah pernikahan Bos yang sesungguhnya, walau Non Vanesa tidak menyadarinya. Lihat betapa bahagianya Bos menikah dengan Non Vanesa.”
“Dan untuk pernikahan ini Bos sudah melakukan banyak hal,” sambung Raga, setengah berbisik. Ketiga anak buah kepercayaan Gavin terlihat gagah dalam balutan jas hitam. Mereka juga tidak lupa mengabadikan moment itu dalam camera ponsel mereka masing-masing.
Selesai mengucapkan janji pernikahan mereka kembali ke Jakarta. Felix meminta mereka ke hotel yang sudah ia pesan.
*
Tiba di sana mereka berdua terlihat seperti orang asing, hanya diam dan membisu. Gavin sebenarnya ingin hal yang tenang dan damai walau hari ini, di hari pernikahannya dengan Vanesa. Makanya ia lebih banyak diam, ia bahagia, walau hanya dirinya sendiri yang merasakannya. Karena bagi Vanesa ini bukan pernikahan, tapi jerat hutang.
Vanesa menatap Gavin. “Aku tidak ingin pernikahan ini bocor ke orang lain,” ucap Vanesa tiba-tiba memecah keheningan.
Gavin hanya menghela napas pendek. “Baiklah,” sahutnya tanpa menatapnya.
“Aku tidak ingin orang lain tahu. Ini akan jadi aib bagi keluargaku” uca Vanesa. Sikapnya seakan-akan memancing Gavin marah. Padahal hari ini ia sudah banyak mengalah dan banyak diam. Ia ingin Vanesa sekali saja menatapnya sebagai suami bukan dengan tatapan seperti musuh.
Setelah pernikahan sikap acuh dan dingin Vanesa membuat amarah Gavin datang kembali.
“Bagaimana kalau Damian dan ayahku tahu aku menikah denganmu? Ah .. aku jadi kesal.”
Gavin duduk di sofa, melipat tangannya di dada. “Kalau pernikahan ini bocor, saya juga akan minta ganti rugi dua kali lipat padamu,” ucap Gavin kesal.
“baiklah.”
Vanesa mengangguk malas, matanya tak pernah benar-benar menatap Gavin. Ia sibuk dengan ponselnya. Di layar, nama Damian muncul.
[Mari kita bertemu , sayang] pesan Damian.
[Aku tidak bisa. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.]
[Sayang, aku minta maaf. Aku janji akan berubah. Tolong selamatkan aku dari situasi ini…]
[Aku sudah ajukan surat cerai. Kita dalam proses perceraian. Urus saja masalahmu sendiri.]
Terlalu asyik chatting dengan Damian, Vanesa tak sadar Gavin sedang bicara. Menjelaskan padanya tentang kesepakatan mereka.
“Apa kamu tidak mendengarku?” suara Gavin menajam.
Vanesa menoleh malas. “Maaf, aku tidak fokus. Tadi kamu bilang apa?”
Wajah Gavin berubah. “Dari tadi kamu chatting dengan siapa?”
“Damian.”
“Oh… apa kamu masih berharap pada pria yang mengkhianatimu?” Gavin tertawa sinis. “Dasar wanita bodoh. Sebenarnya aku juga tidak sudi menikah dengan gadis murahan sepertimu. Aku hanya... terpaksa,” ucapnya dengan dada naik turun. Ia marah karena cemburu.
“Kamu laki-laki kasar, Pak Gavin. Kata-katamu terlalu menusuk. Aku juga tidak sudi menikah denganmu. Itu aib untuk keluargaku,” balas Vanesa tajam.
“Aib menikah denganku?” Gavin maju, menatapnya seperti macan siap menerkam.
“Kalau bukan Vanesa Danita yang mengucapkan, aku tak akan peduli. Tapi Vanesa Danita, putri dari pelakor terkenal? Aku bisa tertawa terbahak-bahak!”
Gavin mencengkeram dagu Vanesa. “Apa kamu lupa putri siapa kamu? Itu sebabnya aku bilang. Pernikahan ini jangan sampai diketahui siapa pun. Itu akan jadi aib... bagi keluargaku. Bukan untukmu.”
Vanesa menggertakkan gigi. Ia ingin merobek mulut Gavin, tapi sadar, ia takkan menang. Pria itu punya segalanya. Ia memilih menjauh .
Di rooftop hotel ia duduk memandangi langit kota dengan dada kosong. Ia belum resmi bercerai dari Damian, namun kini sudah menikah dengan Gavin.
Saat matahari mulai tenggelam, Vanesa mengajukan permintaan.
“Aku ingin menjenguk Papi. Aku akan pergi.”
“Kalau mau pergi, pergi saja. Tak perlu minta izin. Semua sudah tertulis dalam kontrak. Apa kamu tidak membacanya?” ucap Gavin, ia masih marah dengan Vanesa.
“Baiklah.” Vanesa segera meninggalkan hotel.
Melihat kepergian Vanesa yang begitu dingin, Gavin menggertakkan rahang. “Seharusnya aku yang marah padamu, Vanesa.”
Bersambung
ini cerita bener2 sedih dari awal sampe bab ini