NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:6.9k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Edevane

Kuda-kuda berhenti dengan dentuman halus di halaman batu yang rapi. Pepohonan tua menaungi jalan masuk menuju rumah batu tinggi dengan ukiran tradisional Belvoir. Udara terasa lebih dingin di tempat itu, dan suasana terasa jauh lebih berat daripada istana distrik. Di sinilah tempat tinggal keluarga Edevane, salah satu keluarga tertua dan paling berpengaruh dalam dunia pengobatan tradisional Belvoir—penjaga ladang herbal yang telah mengabdi sejak era pendahulu Kerajaan Aragon.

Vanessa turun dari kereta di sisi Maxime. Ia menyibak sedikit gaun panjangnya, mencoba tidak tampak gugup, meskipun jantungnya berdetak tidak karuan. Bukan hanya karena tempat itu… tapi karena pria di sampingnya. Maxime. Yang masih berjalan terlalu dekat, terlalu diam, dan sesekali meliriknya dengan ekspresi menggoda seolah tak ada yang terjadi di antara mereka.

Sialnya, Vanessa tahu—ia justru mengingat semuanya terlalu jelas.

“Berhenti menatapku seperti itu,” bisiknya saat mereka berjalan menaiki anak tangga batu menuju aula depan.

“Aku hanya memastikan kau baik-baik saja,” gumam Maxime, tersenyum samar. “Kau terlihat… cantik malam ini.”

“Diam.”

Pintu utama dibuka. Di ujung aula berdiri tiga orang. Seorang pria tua dengan sorot mata tajam seperti elang, seorang wanita paruh baya dengan rambut disanggul rapi, dan seorang pemuda yang mengenakan jubah abu-abu kecokelatan dengan lambang dedaunan di dada—lambang keluarga Edevane.

Maxime menyapa mereka dengan anggukan hormat. “Lord Harven. Lady Mirelda. Dan Eliot. Senang bisa bertemu kembali.”

“Yang Mulia,” jawab Lord Harven datar. “Kami menyambut Anda… meski tidak dengan cara yang meriah.”

Tatapan Lord Harven beralih pada Vanessa. Mata itu tak menyembunyikan dinginnya, seolah menelanjangi asal-usulnya hanya dalam sekali lihat.

“Selamat datang di kediaman Edevane, Yang Mulia,” ucapnya akhirnya, suaranya datar, sopan… namun nyaris beku.

Lady Mirelda memberi anggukan kecil. “Kami telah menyiapkan ruang duduk. Mohon maaf jika jamuannya tak sebanding dengan yang biasa Anda terima di istana pusat.”

Vanessa tersenyum kecil, menunduk anggun. “Kesederhanaan yang tulus jauh lebih berharga daripada kemewahan yang dipaksakan, Lady Mirelda.”

Namun balasan yang ia dapatkan hanyalah senyuman tipis yang tidak sampai ke mata.

Maxime melangkah lebih dulu, membukakan jalan. Vanessa berjalan menyusul, dan saat ia melewati Lady Mirelda, ia bisa merasakan napas perempuan itu sedikit terhenti—seolah menahan komentar yang tidak ingin diucapkan di depan umum.

Ruang duduk keluarga Edevane tidak besar, namun rapi dan penuh wibawa. Dindingnya dipenuhi rak-rak kayu berisi jurnal tua, botol kaca dengan cairan herbal, dan piala penghargaan dari era pemerintahan kaisar-kaisar sebelumnya. Aroma rempah dan minyak pinus memenuhi udara, menenangkan namun terasa… mengawasi.

Pelayan datang membawa teh herbal dan kudapan akar panggang yang konon menjadi hidangan khas rumah itu. Tapi saat Vanessa mengulurkan tangan untuk mengambil secangkir teh, Eliot Edevane dengan sopan namun cepat mendahuluinya—seolah memastikan bahwa tidak ada yang disentuh olehnya.

Vanessa memperhatikan semua itu diam-diam. Sorot mata Eliot terlalu tajam untuk usia mudanya, dan meski ia tersenyum, ia sama sekali tidak hangat.

“Tanah di sisi utara terlihat lebih subur dari tahun-tahun sebelumnya,” ujar Maxime sambil mengaduk tehnya. “Kami mendengar hasil nettle root di wilayah kalian meningkat dua kali lipat?”

Lord Harven mengangguk, nada suaranya tetap netral. “Kami beruntung. Cuaca bersahabat… dan kami memilih untuk tidak terlalu banyak mengandalkan bantuan dari istana pusat.” Ia melirik Vanessa sesaat, lalu kembali pada Maxime. “Kemandirian membawa hasil.”

Vanessa ikut mencondongkan tubuh ke depan. “Jika memang begitu, mungkin kami bisa mengkaji kerja sama dalam distribusi. Akan lebih efisien jika rute selatan difokuskan untuk ekspor dan…”

Clek.

Lady Mirelda membetulkan posisi cangkirnya di tatakan. Suara porselen beradu itu tidak keras—tapi cukup untuk memotong kalimat Vanessa secara halus, membuatnya terhenti sesaat.

“Aku… hanya berpikir jalur distribusi kita terlalu panjang untuk pasar lokal,” lanjut Vanessa pelan.

Lady Mirelda tersenyum kaku. “Ide yang… menarik, Yang Mulia. Tapi tentu, Lord Harven tahu lebih banyak soal jalur-jalur kami dibanding siapa pun.”

“Saya tak bermaksud menggurui,” balas Vanessa dengan tenang. “Hanya menyampaikan pendapat dari sudut pandang yang mungkin berbeda.”

Eliot, yang duduk di sisi kanan, menyandarkan tubuhnya ke kursi. “Pendapat Ratu tentu selalu… dipertimbangkan,” ujarnya. Tapi tatapan matanya menolak mengiyakan kalimatnya sendiri.

Dan meskipun tidak ada kata kasar yang terucap, Vanessa tahu rasa hormat mereka bersifat administratif.

Maxime yang sejak tadi diam dan hanya memperhatikan, akhirnya bersuara. Suaranya tenang, namun nada otoritatifnya menembus ruang, memaksa semua kepala di meja untuk menoleh padanya.

“Istriku tidak hanya menyampaikan pendapat,” ucapnya. “Ia telah mempelajari sistem distribusi di wilayah selatan selama beberapa minggu terakhir—tanpa saya suruh, tanpa diminta siapa pun.”

Eliot tampak hendak membuka mulut, tapi Maxime menoleh ke arahnya perlahan. Sekilas tatapan itu cukup untuk membuat pemuda itu mengurungkan niat bicara.

“Bahkan dalam keadaan kami disibukkan oleh urusan negara dan tekanan diplomatik dari distrik luar, dia tetap menyempatkan diri untuk memeriksa peta jalur dagang, catatan logistik, dan bahkan riset iklim lokal. Ia menghafal semua itu. Dengan caranya sendiri.”

Lady Mirelda menegakkan punggungnya sedikit.

Maxime menoleh pada Vanessa sejenak, lalu kembali pada keluarga Edevane. “Mungkin kalian tidak terbiasa melihat Permaisuri Aragon melakukan pekerjaan di luar bidang formalitas. Tapi istriku… bukan wanita yang hanya tahu pesta dansa dan warna gaun musim ini.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan. Tidak mengancam—tapi jelas menegaskan.

“Jika ada yang meremehkannya, itu karena mereka belum benar-benar mengenalnya.”

Hening. Hanya suara angin sore dari jendela yang terbuka yang menyusup pelan ke dalam ruangan.

Vanessa terdiam. Hatinya entah kenapa berdebar, dan ia memalingkan wajah, pura-pura memperhatikan polesan ukiran di sisi meja.

Maxime meneguk tehnya pelan, lalu bersandar kembali seperti tidak terjadi apa-apa. “Jadi… tentang jalur distribusi itu. Aku rasa kita sebaiknya mempertimbangkan ulang saran Permaisuri.”

——

Setelah makan malam selesai, para pelayan datang untuk membereskan meja dan menyajikan teh sore di ruang terpisah. Dengan sopan, tuan rumah memisahkan tamu lelaki dan wanita sesuai adat kuno Belvoir.

Vanessa dibawa ke Paviliun Utara, sebuah ruang berkubah rendah dengan dinding kaca yang menghadap taman herbal keluarga Edevane. Cahaya rembulan menyelinap masuk melalui kaca berwarna, menorehkan bayangan perak keemasan di atas lantai marmer. Aroma daun kering dan kayu manis dari teh yang disajikan menggantung tipis di udara.

Lady Mirelda duduk di sofa empuk berwarna hijau zaitun, tangan anggunnya menangkup secangkir teh, tatapannya lurus ke arah jendela, seolah Vanessa tak benar-benar ada di ruangan yang sama.

Vanessa duduk di seberangnya, menjaga postur tubuh tetap anggun dan netral. Ia menggenggam cangkir teh yang masih penuh, uapnya melayang perlahan di antara mereka—seperti batas tak kasat mata yang tak kunjung pecah.

“Aku sempat mendengar bahwa keluarga Edevane telah mengembangkan sistem pertanian vertikal di musim lalu. Itu… cukup mengesankan,” ucap Vanessa perlahan, mencoba membangun percakapan.

Lady Mirelda tak langsung menjawab. Ia hanya menyesap tehnya sekali sebelum meletakkannya kembali di atas piring kecil.

“Sudah lama kami memikirkan efisiensi lahan,” katanya datar, tanpa menatap Vanessa. “Kami tidak terbiasa membuang waktu menunggu kemurahan dari pusat.”

Vanessa tersenyum kecil. Ia tahu kalimat itu bukan tanpa arah.

“Sikap mandiri kalian memang menginspirasi,” lanjutnya lembut. “Dan… aku harap kehadiranku di sini tidak memperpanjang jarak antara kita. Aku tahu nama keluargaku—Aurenhart—tidak menyenangkan bagi semua orang.”

Lady Mirelda mengangkat alis tipis, akhirnya menoleh sepintas. “Saya kira setidaknya Anda menyadarinya.”

Vanessa menatap Lady Mirelda lama, lalu menurunkan pandangannya ke permukaan tehnya yang mulai dingin. Ia tak perlu mendengar penjelasan panjang untuk mengerti—kebencian itu berakar dalam, dan sudah berlangsung lama.

Dulu, saat mencari arsip lama di perpustakaan istana, ia sempat membaca satu catatan kecil yang tidak dikatalogkan dengan benar. Isinya tentang perselisihan lama antara klan Edevane dan Aurenhart. Bertahun-tahun silam, Aurenhart pernah memonopoli jalur distribusi silvermint, salah satu herbal utama yang menjadi sumber penghasilan utama keluarga Edevane. Tindakan itu membuat panen mereka tak laku di pasar utama dan menyebabkan banyak keluarga Belvoir kehilangan pemasukan. Meskipun tidak tercatat secara resmi, semua orang tahu—Alderic d’Aurenhart ada di balik keputusan itu.

Vanessa menarik napas pelan, menenangkan degup jantung yang entah kenapa terasa menekan tulang rusuknya dari dalam.

“Aku tahu luka itu… belum sembuh. Mungkin bahkan belum diobati,” katanya lirih. “Dan aku tahu, tak ada satu pun kata yang bisa menghapus apa yang telah dilakukan ayahku… tapi tetap izinkan aku meminta maaf.”

Lady Mirelda menatapnya, untuk pertama kali benar-benar menatap. Mata itu penuh kejutan, juga keraguan.

Vanessa melanjutkan, suaranya bergetar—bukan karena takut, tapi karena tulus.

“Aku tidak bicara sebagai Permaisuri Aragon saat ini. Aku tidak membawa gelar, atau mahkota. Aku hanya seorang putri dari keluarga Aurenhart… yang menyadari betapa dalamnya luka yang pernah ditorehkan keluarganya. Dan aku… sungguh menyesal untuk itu.”

Ia menundukkan kepala sedikit, bukan dengan sikap tunduk yang lemah, tapi hormat yang jujur. “Izinkan aku melakukan sesuatu. Sebagai bentuk penebusan. Mungkin aku tak bisa mengembalikan tahun-tahun kerugian kalian, tapi aku bisa membantu agar generasi berikutnya tidak mengalami hal yang sama.”

Lady Mirelda masih tak menjawab, tapi tatapannya berubah. Ada sesuatu dalam sorot matanya—entah rasa penasaran, atau mungkin, pengakuan diam-diam bahwa kata-kata Vanessa menyentuh tempat yang tak pernah ia izinkan disentuh siapa pun.

Vanessa melanjutkan, kali ini dengan nada yang lebih tenang, lebih pribadi.

“Sejujurnya… aku iri padamu, Lady Mirelda,” katanya pelan. “Kau tetap berdiri teguh di tanahmu meski masa lalu memberatkan. Kau tetap menghormati tamumu, bahkan jika kau tidak menyukainya. Dan kau tetap memimpin wilayah ini dengan kepala dingin, sementara banyak bangsawan hanya tahu memerintah tanpa menyentuh tanah.”

“Aku mungkin tak pantas mengakuinya,” lanjut Vanessa, “tapi justru karena melihatmu, aku sadar betapa jauhnya aku sebagai ratu dari negeri ini. Dan itu yang membuatku ingin berubah. Aku ingin membuat sesuatu yang nyata. Bukan hanya pesta, atau laporan, atau formalitas kosong. Tapi sesuatu yang bisa dimanfaatkan rakyat… seperti yang selama ini kau lakukan dengan ladang-ladang herbalmu.”

Ia menatap lurus ke mata wanita itu, lembut namun tak gentar.

“Karena itu, aku ingin melakukan eksperimen herbal. Untuk mencari formulasi baru yang bisa membantu rakyat di wilayah yang kekurangan pengobatan, untuk mengembangkan pengetahuan yang tak hanya dimiliki para bangsawan, tapi juga bisa diwariskan ke tabib-tabib muda. Dan… aku ingin memulainya dari Belvoir. Dari tempat yang pernah ditinggalkan oleh keluargaku.”

Kata-katanya menggantung di udara, tidak muluk-muluk, tidak dibuat-buat. Hanya kejujuran yang muncul dari seorang wanita yang mencoba memperbaiki apa yang bukan salahnya, tapi kini menjadi tanggung jawabnya.

Lady Mirelda menghela napas pelan. Jemarinya menyentuh bibir cangkir, tapi ia tidak meminumnya. Wanita itu menatap Vanessa dengan sorot mata yang tak bisa dibaca. Di satu sisi, ada sedikit keretakan dalam dinding dinginnya—tapi di sisi lain, masih tampak jelas lapisan ketidakpercayaan yang belum bisa digoyahkan.

“Aku tidak akan memuji atau memelukmu hanya karena kau bisa berbicara dengan sopan,” ujarnya akhirnya, suaranya tetap datar tapi tak lagi mengandung nada tajam seperti tadi. “Tapi aku akan mengaku satu hal: kau tidak terdengar seperti Vivienne yang selama ini kuingat.”

Vanessa diam. Tidak tersinggung, tidak membantah. Karena kenyataannya, memang bukan dia Vivienne yang dulu itu.

Lady Mirelda melanjutkan, “Di sini… di Belvoir, kami tahu siapa Aurenhart. Dan lebih dari itu, kami juga tahu siapa putri mereka—yang dikenal lebih akrab dengan pesta anggur, permata, dan sandiwara istana daripada buku ramuan atau lumpur ladang.”

Kalimat itu menusuk, tapi disampaikan tanpa emosi. Seperti fakta yang tak bisa dibantah.

“Aku tidak tahu siapa kau sebenarnya,” lanjutnya, mata tajam itu mengamati wajah Vanessa seperti hendak mencari celah. “Tapi aku juga tidak bodoh untuk langsung mempercayai perubahan mendadak dari seorang wanita yang dulu tak tahu perbedaan antara daun bellmint dan racun nightshade.”

Vanessa menunduk pelan, menelan perih yang tak bisa ia bela. Karena semua itu… memang benar adanya bagi Vivienne masa lalu.

“Aku tidak meminta kepercayaanmu hari ini, Lady Mirelda,” katanya lirih, namun mantap. “Aku hanya ingin memulainya dengan satu hal kecil—kesempatan. Bukan sebagai putri Aurenhart, bukan sebagai Permaisuri Aragon. Tapi sebagai wanita yang sedang belajar untuk tak mengulangi kesalahan orang tuanya.”

Untuk pertama kalinya, sorot mata Lady Mirelda sedikit melunak. Tak sepenuhnya lunak—tapi cukup untuk membuat Vanessa tahu bahwa ia didengar.

“Kesempatan…” gumamnya. “Itu hal yang mahal, Vivienne. Dan mahal… bukan berarti tak bisa dibayar.”

Ia berdiri, merapikan gaun sederhananya, lalu menoleh ke arah Vanessa sebelum melangkah pergi. “Buktikan bahwa kau bukan bayangan keluargamu. Maka mungkin, suatu hari nanti, aku akan menyebutmu bukan dengan nama yang membuat telingaku panas… tapi dengan nama yang layak dikenang.”

Setelah itu, Lady Mirelda meninggalkan taman samping rumah bangsawan Edevane—menyisakan Vanessa yang masih duduk dengan hati bergetar. Bukan karena marah. Tapi karena… harapan yang pelan-pelan muncul di antara abu reputasi Vivienne.

Mungkin… ia bisa menanam kembali kepercayaan dari dasar. Seperti menanam herbal di tanah yang dulu pernah diracun.

——

Sepulang dari kediaman keluarga Edevane, malam semakin larut. Langit di luar jendela kamar dihiasi kelip bintang samar, namun di dalam ruangan, hanya kesunyian yang menyelimuti.

Vanessa berdiri di depan cermin, masih mengenakan gaun formal berwarna wine yang ia kenakan sejak siang tadi. Rambutnya sebagian sudah dilepas dari sanggul, jatuh sedikit berantakan di bahu. Ia tampak sibuk, atau lebih tepatnya pura-pura sibuk, merapikan perhiasan di lehernya—padahal pikirannya jelas jauh dari apa yang ia lakukan.

Maxime menutup pintu kamar perlahan, menatap punggung wanita itu. Sejak mereka naik kereta pulang, Vanessa tak banyak bicara. Dan ia tahu, keheningan seperti ini bukan karena lelah… tapi karena luka yang tak ia ucapkan.

Maxime menghampiri perlahan, hingga akhirnya berdiri di belakangnya. Matanya menatapnya melalui pantulan cermin.

“Apa ini tentang keluarga Edevane?” tanyanya, tenang namun penuh perhatian.

Vanessa tak langsung menjawab. Ia menarik napas, kemudian menunduk, menatap refleksinya sendiri.

“Aku hanya… merasa malu,” gumamnya. “Malu atas apa yang pernah dilakukan ayahku. Aku tahu aku bukan dia, tapi untuk mengambil kembali kepercayaan yang telah ia hancurkan—itu rasanya… berat sekali.”

Maxime diam sejenak, lalu perlahan mengangkat tangan dan menyentuh lengannya dengan lembut. “Kau bukan dia, Vanessa. Dan siapa pun yang tidak bisa membedakan antara kesalahan seseorang dan perjuangan anaknya… tidak layak menilaimu.”

Vanessa mengangkat pandangan. Pipi dan matanya mulai memerah, entah karena emosi, atau…

“Kau selalu terlihat begitu kuat,” lanjut Maxime, suaranya menurun. “Tapi aku tahu, di balik semua itu, kau sedang berjuang sendirian.”

Ia membalik tubuh Vanessa perlahan, hingga keduanya kini saling berhadapan. Tatapan Maxime dalam—melewati lapisan dinding yang Vanessa bangun selama ini.

“Aku mungkin bukan orang pertama yang percaya padamu,” ucapnya, tangannya kini menyentuh pinggang Vanessa. “Tapi izinkan aku jadi yang pertama memelukmu saat kau goyah.”

Vanessa menatap Maxime lekat-lekat, matanya masih berkaca. Namun tiba-tiba, ia mengernyit pelan, dan mundur satu langkah hingga tangan Maxime terlepas dari pinggangnya.

“Jangan terlalu dekat,” ucapnya, cepat.

Maxime memiringkan kepala sedikit. “Kenapa?” tanyanya, separuh bingung, separuh menggoda.

Vanessa mengangkat tangan, menunjuk wajah Maxime dengan jari telunjuknya yang gemetar ringan. “Kau berbahaya,” katanya tegas. “Kau… terlalu menawan saat bicara manis begitu. Aku bisa khilaf dan melupakan semua penderitaan lima tahun pernikahan kita hanya karena satu kalimat sok puitis.”

Maxime tertawa kecil, menatapnya dengan heran dan geli. “Jadi… aku harus bicara kasar agar kau tetap waras?”

Vanessa mendelik tajam. “Ya. Mulai sekarang, kau harus jadi pria menyebalkan dan kasar, seperti biasanya. Itu akan menyelamatkanku dari kebodohan emosional.”

Ia memutar tubuhnya dan berjalan menuju bilik mandi, masih dengan langkah cepat—namun tak sempat ia menutup pintu, suara Maxime terdengar lagi.

“Aku juga sedang berpikir untuk mandi. Kupikir… kita bisa sekalian.”

Vanessa langsung menoleh, alisnya terangkat tinggi. “Apa?”

Maxime hanya menyeringai dari ambang pintu, bersandar santai dengan tangan tersilang. “Kau tahu, air hangat, suasana romantis, suami dan istri… terdengar menyenangkan, bukan?”

Vanessa mendekat—tanpa suara. Lalu dalam satu gerakan cepat, ia meraih gulungan handuk dari sisi meja dan plak! menghantamkannya ke bahu Maxime.

“Au!” Maxime berseru dramatis sambil memegangi bahunya. “Kau melukaiku!”

“Dan akan kulakukan lagi kalau kau tak keluar sekarang!” Vanessa menunjuk pintu dengan tegas. “Keluar, Maxime! Aku ingin mandi!”

Maxime pura-pura tertatih ke arah pintu sambil meringis lebay. “Sungguh tragis menjadi suami yang hanya ingin menyemangati istrinya yang sedang murung.”

“Maxime!”

“Baiklah.” Ia membuka pintu dengan ekspresi tak bersalah. “Tapi sungguh, aku masih tak paham. Apa salahnya mandi bersama? Bukankah kita sudah menikah… selama lima tahun?”

Vanessa melemparkan sabun kecil ke arahnya. Maxime cekatan menutup pintu sebelum benda itu mengenai wajahnya.

Hening.

Vanessa menatap pintu yang baru saja tertutup, lalu menghela napas panjang sambil menggeleng pelan. “Pria itu… sangat menyebalkan.”

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!