NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13 Kabut yang Menyembunyikan Mata

Hari berikutnya dimulai dengan langit yang keabu-abuan. Udara terasa lengket di kulit, seolah kelembapan menempel di setiap pori. Warga Desa Rambahan mulai bicara dengan suara pelan. Anak-anak dilarang main ke hutan, dan semua pintu rumah ditutup sebelum matahari benar-benar tenggelam.

Di tengah suasana was-was itu, Bahri mengajak Reno, Ajo, Ucup, dan Damar untuk memantau gerak kabut di bagian timur desa. Menurut perhitungan Bahri, salah satu “titik kabut diam” muncul tak jauh dari sungai kecil di balik sawah.

“Kenapa harus kita lagi, Pak Dukun?” gerutu Damar.

“Karena kalian berani... dan lumayan cepat larinya,” jawab Bahri sambil tersenyum datar.

Ucup nyeletuk, “Kalau ternyata kabutnya bisa lari juga gimana? Kita lomba kabut dong.”

Aris menyambung, “Atau jangan-jangan kabutnya pake helm, biar bisa nabrak warga?”

Tawa mereka meledak, sedikit mencairkan suasana.

Saat tiba di tepi sawah, mereka disambut oleh pemandangan aneh: kabut diam melingkar seperti pusaran, namun tidak bergerak kemana-mana. Bahkan daun-daun padi tak bergoyang. Sunyi. Tak ada suara burung, jangkrik, atau angin.

Bahri menggenggam liontin kayunya dan mulai membaca mantra.

Reno mendekat pelan ke pusaran kabut, dan mendadak tubuhnya kaku. Matanya menatap kosong.

“Ren? Hei! Lu kenapa?” Ajo mengguncangnya.

Reno menunjuk ke arah tengah kabut. “Ada... mata... tiga pasang... menatap kita dari dalam.”

Semua menoleh. Perlahan, samar-samar, muncul kilatan cahaya kuning kehijauan dari dalam kabut. Seperti cahaya mata, tapi... lebih dalam, lebih dingin.

Bahri cepat-cepat melempar garam ke udara, dan kabut itu seketika bergerak mundur, lalu buyar seperti tersedot ke tanah.

Di tempat kabut itu menghilang, tertinggal sebuah batu pipih dengan ukiran wajah. Wajah manusia setengah teriakan.

“Ini... bukan batu biasa,” gumam Bahri. “Ini jendela. Jendela ke tempat asal makhluk yang mengikuti Palasik.”

Mereka membawa batu itu ke balai desa, diselimuti kain hitam. Bahri meminta warga tidak menyentuhnya.

Malam harinya, Reno bermimpi. Ia berada di padang kosong, di mana angin tak bergerak dan langit berwarna merah gelap. Di tengah padang itu berdiri sosok perempuan tua, namun wajahnya tidak utuh. Di atas tubuhnya, hanya ada kepala yang melayang, dengan rambut panjang menjuntai seperti benang busuk.

Suara parau terdengar:

“Enam gerbang... satu terbuka, dua menyusul... darah harus dibayar dengan darah.”

Reno terbangun dengan keringat dingin. Dadanya sesak. Ia melihat jendela kamarnya terbuka sedikit, dan ada bekas telapak tangan di kaca. Bukan telapak manusia. Cakar.

Keesokan harinya, Reno dan Bahri mendatangi rumah Simbah Rum, seorang perempuan tua yang dikenal punya ilmu tua dan jarang keluar rumah. Simbah Rum duduk di beranda, mengunyah sirih.

“Aku sudah tahu kalian akan datang,” katanya tanpa menoleh. “Yang kau bawa itu bukan sekadar batu. Itu mata dari Rakasa kedua. Mata yang menyembunyikan jalan.”

Bahri membungkuk sopan. “Kami butuh petunjuk, Simbah.”

Simbah Rum menoleh dengan mata redup. “Kalau kau ingin tahu tempat gerbang berikutnya... tanyakan pada air yang tak pernah mengalir.”

Ucup menggaruk kepala. “Air kok nggak ngocor, maksudnya sumur mati, ya?”

Ajo menyahut, “Atau... air di kolam mandi Ajo yang nggak pernah dibersihin tuh?”

“Woy!” Ajo protes, dan mereka semua tertawa meski hati tegang.

Simbah Rum tersenyum kecil. “Hati-hati. Kalian belum lihat wajah asli Rakasa. Palasik itu cuma bayangannya saja.”

Malam itu, Reno kembali bermimpi. Kali ini, ia melihat dirinya berdiri di tengah enam lingkaran api. Dari kejauhan, enam bayangan besar mengelilinginya, masing-masing dengan bentuk kepala yang tak lazim: kepala burung, kepala rusa, kepala ular, kepala manusia tua, kepala anak kecil, dan... kepala tanpa wajah.

Ia tak bisa bergerak, dan dari langit turun suara:

“Satu telah bangkit. Lima lagi menanti darah pengunci.”

Ia terbangun lagi, dan di bawah bantalnya—entah dari mana asalnya—ada bulu burung hitam panjang, masih hangat.

Palasik bukan lagi mitos. Rakasa sudah menandai mereka.

Pagi itu, Reno masih merasa lemas. Mimpi-mimpi yang terus menghantui telah menguras tenaganya. Namun, dorongan untuk menemukan gerbang berikutnya lebih kuat dari rasa lelah.

Bahri dan Simbah Rum duduk berdua di bale bambu depan rumah, ditemani Damar, Ajo, dan Ucup yang sudah bawa bekal sarapan seadanya—nasi uduk dingin dan kerupuk lempung.

“Kalau kita ngikutin kata Simbah kemarin, berarti kita mesti cari air yang nggak ngalir,” kata Reno.

Ucup menimpali sambil ngunyah, “Sumur buta, ya? Di ujung barat kampung ada tuh, yang udah ditutup, katanya angker.”

Ajo mengangguk. “Sumur dekat pohon randu, yang waktu kecil kita semua dilarang deketin.”

Bahri berdiri. “Kita ke sana. Sekarang.”

Perjalanan mereka melewati pematang sawah dan pekarangan rumah-rumah tua. Ucup sempat berhenti sebentar karena celananya nyangkut di semak berduri.

“Baju perang kita nggak sesuai arena, Pak Dukun,” celetuknya.

Reno tertawa kecil. “Kalau ini game, kita semua udah mati kena stamina.”

Sesampainya di sumur buta, suasana langsung berubah. Angin tak berhembus, dedaunan tidak bergerak. Hening. Seperti waktu berhenti.

Sumur itu ditutup dengan batu besar dan batang kayu tua, ditumbuhi lumut. Di sekitar mulut sumur, banyak pecahan genteng dan tulang ayam berserakan.

Bahri mengeluarkan seikat daun kelor dan sebotol minyak kelapa. Ia menaburkan minyak ke tepi sumur, lalu memejamkan mata.

“Gerbang kedua... terkunci di dasar ini. Tapi dijaga oleh bayangan. Kita harus masuk,” katanya.

Ucup mundur. “Masuk? Lu kira ini wahana misteri di pasar malam?”

Ajo menatap sumur. “Sumurnya dalam banget, Pak. Emang bisa?”

Bahri mengangguk. “Tak harus turun fisik. Ada cara lain. Tapi satu dari kalian harus menjadi media.”

Mereka saling pandang.

Ucup beringsut pelan ke belakang, Damar juga pura-pura batuk. Ajo mencolek Reno, “Lu aja, Ren.”

Reno akhirnya duduk bersila di depan sumur. Bahri menaruh segenggam tanah merah di ubun-ubunnya, lalu menggumamkan mantra.

Gelap.

Dalam penglihatan batinnya, Reno berada di dalam sumur. Tapi sumur itu tak berair, hanya dinding tanah yang penuh dengan lukisan merah.

Di dasar sumur, berdiri seorang anak kecil. Wajahnya pucat, matanya kosong, mengenakan pakaian robek.

“Namaku Diti,” katanya lirih. “Aku dikorbankan agar gerbang ini tertutup.”

Reno menelan ludah. “Kamu... penjaga?”

Anak itu tersenyum pilu. “Aku tidak menjaga. Aku terkurung.”

Dari balik bayangan sumur, muncul sosok kepala besar tanpa tubuh, rambut menjuntai, dan mata menyala merah. Palasik.

“Keluar dari sini!” teriaknya.

Reno tersentak. Gambar-gambar di dinding sumur mulai hidup. Wajah-wajah yang menangis, menjerit, dan menggigit satu sama lain.

Tiba-tiba, tangan anak kecil itu menggenggam tangan Reno.

“Bawalah aku keluar... atau gerbang akan terbuka tanpa batas.”

Reno merasa tubuhnya ditarik. Ia terbangun dari meditasi, napas tersengal.

“Ren! Lu kenapa?” Damar memapahnya.

“Ada anak kecil. Namanya Diti. Dia dikorbankan untuk menutup gerbang ini,” kata Reno sambil terengah.

Bahri tampak murung. “Diti. Aku pernah dengar nama itu. Ia hilang 30 tahun lalu. Orang tuanya menutup mulut... mungkin demi keselamatan desa.”

Tiba-tiba, dari balik sumur, muncul bayangan kecil berdiri diam. Sosok anak kecil dengan mata kosong.

Ucup melompat, “Woy woy woy! Ada bocah hantu!”

Sosok itu hanya menatap Reno. Tak bicara. Tak bergerak. Lalu, perlahan memudar seperti asap.

Bahri menatap langit. “Dia mulai percaya. Kita harus bantu dia keluar sepenuhnya. Tapi dengan itu... berarti kita bersiap hadapi Rakasa penjaga gerbang kedua.”

Malam harinya, Reno tidur tak nyenyak. Namun sebelum ia benar-benar lelap, terdengar suara anak kecil di jendela kamarnya.

“Terima kasih... aku akan membantumu.”

Dan jendela itu tertutup pelan oleh angin, meski tidak ada satu pun angin berhembus malam itu.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!