NovelToon NovelToon
Kez & Dar With Ze

Kez & Dar With Ze

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Romansa
Popularitas:310
Nilai: 5
Nama Author: Elok Dwi Anjani

Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.

Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.

Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.

Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ingin lepas

..."Beban yang menghancurkanmu? Bukan! Tapi bagaimana caramu membawanya dan menanggapinya"...

...•...

...•...

"Enggak mau," kata Variel. Ia mulai berani menatap Gio walaupun tangannya sedikit gemetaran di balik punggungnya.

"Va-"

"Enggak mau! Aku mau sama Abang," tegas Variel, memotong ucapan Abangnya yang akan keluar.

"Mana hasil penilaian harian kamu yang ketinggalan kemarin?" Tanya Gio, dengan menatap putra sulungnya dengan seksama.

Arlan sontak terkejut, melirik ke arah adiknya yang menatapnya dengan sorot mata kekhawatiran.

"Abang tad-"

"Aku sembunyiin," jawab Arlan dengan jujur. Ia kembali melirik adiknya dengan menggelengkan kepalanya dan wajah sedihnya.

Gio meremas ketiga kertas yang berada dalam genggamannya dan menatap Arlan dengan sorot mata tajam. "Mana?"

"Di bawa kasur Variel."

Variel ingin sekali memukul abangnya. Ia membenci ini. Kejujuran abangnya membuat laki-laki itu merasakan kesakitan lagi dari pria di depannya. Ia sudah berusaha untuk melindungi abangnya, tapi Arlan justru berbicara jujur.

"Kenap-"

"Aku capek," potong Arlan dengan membalas tatapan Gio. Terlihat jelas jika pria itu sedang menahan amarahnya karena menggertakkan deretan giginya dan jakun yang naik-turun.

"Apa yang membuat kamu capek? Saya lebih lelah kare-"

"Karena apa? Bekerja? Apakah dengan bekerja saja membuat anda lelah? Saya mengakuinya jika bekerja itu melelahkan. Tapi tidakkah anda lihat kondisi kedua putra anda?" Arlan menggenggam kedua tangannya.

Gio diam. Ia melirik Variel yang tengah ketakutan menyatukan kedua tangannya mendekati Arlan.

"Maaf, Pa. Aku juga pengen punya banyak temen kayak temen-temen yang lainnya. Aku bakal belajar dan jadi anak yang baik, tapi izinin aku jadi anak kecil dahulu," kata Variel.

Tidak dapat dipungkiri, Variel berbicara seolah-olah dirinya sudah beranjak dewasa dengan umur yang sangat muda.

"Saya lelah dengan bukan dari tubuh saya, tapi ini yang membuat saya lelah." Arlan menunjuk dadanya sendiri. "Hati dan pikiran saya lelah karena tekanan yang anda berikan."

Arlan meraih tangan adiknya dan menggenggamnya. "Apakah Variel merasakan sebuah kasih sayang dari orangtuanya selayaknya anak-anak di usianya di luar sana? Anda hanya berfokus pada hasil dan diri anda sendiri. Setidaknya beri sedikit perhatian anda kepada anak anda yang masih di bawah umur ini, bukan pada setumpuk kertas yang dapat anda kerjakan di lain waktu."

"Saya sangat senang walaupun sekecil apapun perhatian yang anda berikan kepada saya dan adik saya. Dan itu cukup sederhana." Arlan menarik nafasnya dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan-lahan. Menahan sesak serta air matanya yang terbendung dengan melanjutkan bicaranya.

"Saya hanya menginginkan orang tua yang paham pada anaknya sendiri dan berfokus pada mentalnya. Bukan pada pekerjaannya saja. Pekerjaan anda memang sangat dibutuhkan untuk keberlangsungan keluarga kita dalam memenuhi kebutuhan. Tapi hati, pikiran, dan mental mereka juga perlu anda perhatikan."

Sangat tenang sekali Arlan saat mengucapkannya, namun dengan menahan dadanya yang sesak saat itu juga. Matanya terlihat jelas jika terdapat bendungan di sana, tapi laki-laki itu tahan dengan menggenggam erat tangan Variel.

Gio terdiam dengan jakunnya yang terus naik-turun mendengarkan isi hati putra sulungnya. Bahasa yanga Arlan terlalu dalam untuknya. Apakah Arlan sudah tidak menganggapnya sebagai orangtuanya lagi?

"Kamu masih menganggap saya orang tua kamu?" Tanya Gio dengan menatap putranya yang seakan-akan ingin sekali melahapnya karena emosi yang Arlan tahan agar tidak meledak.

"Menurut anda? Bahkan bahasa yang kita gunakan bukan seperti seorang anak dan orangtuanya yang sedang berbicara. Melainkan atasan dan pekerjanya."

"Apakah dengan nilai yang sempurna dari jerih payah saya membuat anda bahagia?"

Gio tetap diam. Dadanya mulai sesak, melihat kedua putranya yang seakan-akan sedang berada di tempat asing. Padahal ini rumahnya, rumah kita bersama.

"Saya lelah karena tekanan anda, dan saya ingin kita kembali seperti dulu. Bisakah?"

Masih tidak ada jawaban. Arlan meremas tangannya dan kesal melihat Gio yang tiba-tiba menundukkan kepala. Ia berbalik dengan menarik tangan Variel menuju gerbang rumah untuk pergi dari sini. Sangat muak, benar-benar sangat muak berada di sini.

"JANGAN BUKAKAN GERBANGNYA, PAK!" Teriak Gio dari depan rumah.

Penjaga gerbang pun menurut kepada majikannya dan berhenti membukakan gerbang untuk Arlan dan Variel.

"Bukain, pak," pinta Variel.

"Tapi, Den. Bapak menyuruh saya untuk tidak membukakan pintunya."

"Apa pak Ali nggak kasihan sama Variel?"

Pak Ali menatap manik mata Variel yang ingin menangis, tapi bocah itu tahan karena tidak ingin menampakkan air matanya di depan pria di ambang pintu sana.

Dengan sedikit ketakutan dan debaran jantung tidak beraturan. Pak Ali cepat-cepat membukakan gerbang untuk kedua majikannya dan menundukkan kepalanya lama ke arah Gio untuk memohon maaf, sementara Arlan dan Variel melenggang pergi meninggalkan rumah tekanan itu.

Gio menatap langit-langit yang mulai gelap dan mendung. Tapi kedua anaknya pergi begitu saja, entah kemana. Hati dan pikirannya sedang beradu karena kalimat-kalimat yang Arlan lontarkan. Bukankah itu sangat mudah dipahami? Tapi tidak begitu mudah untuk Gio yang sedang memproses kalimat-kalimat tersebut.

...••••...

Sedikit lega karena mengutarakan isi hatinya, tapi kehilangan arah karena tidak ada rumah. Arlan terus berjalan di sisi jalan bersama Variel, walaupun tanpa adanya tujuan yang jelas.

Arlan mendongak saat merasakan tangannya ditetesi air. Benar, hujan gerimis mulai membasahi kota dengan rintikan air hujannya. Ia meneduh bersama adiknya di sebuah halte dengan membuka tas sekolah dan mengeluarkan jaketnya.

Jaket tersebut membuat Variel salah fokus saat melihat di bagian dadanya terdapat bekas yang dulunya pasti terdapat sesuatu di sana. Tidak perlu heran jika orang-orang yang berlalu-lalang melihat Arlan aneh, karena ia masih mengenakan seragam sekolahnya.

Variel menatap abangnya yang mengenakan jaket tersebut ke tubuhnya agar tidak kedinginan. Ia akan menariknya, tapi justru Arlan semakin menekankan jaket tersebut agar tetap menempel pada tubuh adiknya. "Pakai aja."

"Tapi Abang gimana? Baju Abang juga menerawang karena basah," kata Variel. Ia melihat kemeja Arlan yang sedikit basah dan menempel pada tubuh abangnya.

"Nggak apa-apa. Buat kamu biar nggak kedinginan."

Bukannya semua mereda, justru hujan semakin deras mengguyur kota. Arlan dan Variel pun terjebak di halte, dan tidak ada pilihan lain selain hujan-hujanan.

Arlan meneteskan air mata saat tubuhnya juga di guyur air hujan. Tentu saja Variel tidak mengetahui hal tersebut, karena kedua jenis air tersebut menyatu. Berjalan bersama di sisi jalan dengan guyuran air hujan dan hanya ada kehangatan dari telapak tangannya yang menggenggam tangan adiknya.

Rasa ingin menangis dengan berteriak sekencang-kencangnya Arlan tahan dengan mengeluarkan air matanya perlahan-lahan tanpa adanya suara isakan. Sakit memang, tapi mau bagaimana lagi? Ini jalan satu-satunya saat melihat keadaannya dengan adik tersayang yang kabur dari rumah.

Dadanya sesak, ia merindukan Gio yang yang dulu. Bukan yang sekarang. Gio dulu tidak seperti ini, dan mengapa pria itu berubah? Apakah ia melakukan sebuah kesalahan?

Seolah-olah ingin bunuh diri karena melihat keadaan keluarganya, Arlan tetap akan kuat dengan adiknya yang sedang mengeratkan jaketnya.

"Kita mau kemana, bang?" Tanya Variel.

"Cari rumah."

"Rumah?"

Arlan tersenyum tipis melirik bocah itu. "Yang benar-benar rumah."

Sebuah bus melewatinya untuk berhenti di halte di sebrang jalan sana. Arlan memeluk Variel saat genangan air di sisi jalan itu muncrat kearah adiknya. Jujur saja, ia juga kedinginan.

Malam yang telah gelap, suasana kota yang tidak terlalu ramai, guyuran air hujan yang sangat deras, serta rasa sakit yang begitu dalam di lubuk hatinya.

Variel mendongak menatap abangnya yang basah kuyup. "Abang nggak apa-apa?"

Arlan menggeleng. "Enggak, kok."

Variel menyugar rambut Arlan ke belakang dan menampakkan kening abangnya yang tadinya tertutupi poni basah laki-laki itu.

"Mau cari kemana, bang?"

"Abang juga nggak tau."

Zevan turun dari bus setelah dari markasnya dan melihat di sebrang jalan sana yang terdapat Arlan dan Variel. Ia mengerutkan keningnya saat manik matanya menangkap mata Arlan yang tidak biasanya. Mata itu sendu saat ini. Ia menyebrangi jalan dengan zebra cross dan menghampiri mereka.

"Ngapain lo di sini basah-basahan kayak gini?" Tanya Zevan dengan membagi payungnya.

Arlan mendongak saat air hujan tidak menjatuhinya. Ia menegakkan tubuhnya dan berdiri di samping Variel. "Nggak usah ikut campur."

"Gua tanya."

"Bang Arlan cari rumah," jawab Variel.

Siapa yang tidak bingung jika jawabannya seperti itu? Sudah jelas-jelas mereka mempunyai rumah, lalu mengapa mencari rumah?

Zevan menatap Arlan yang menundukkan kepalanya menatap Variel. "Emang rumah lo kenapa? Disambar petir?"

"Bukan."

"Terus?"

"Bang Arlan sama aku pergi dari rumah," jawab Variel.

Karena kesal dengan jawaban Arlan yang kurang jelas. Zevan menekuk lututnya menatap Variel dengan tersenyum tipis. "Kenap, Riel?"

"Karen-"

Arlan menutup mulut Variel. "Udah, jangan diceritain."

Zevan menegakkan tubuhnya dan menatap keadaan kedua orang di depannya. "Ikut gua."

"Kemana?" Tanya Arlan.

"Ke rumah."

"Gua nggak mau pulang."

"Bukan rumah lo, tapi rumah gua," balas Zevan. Ia melirik Variel, "mau?"

Variel langsung mengangguk cepat, sementara abangnya bingung dengan Zevan.

Menjadi seorang pengkhianat dalam kumpulan teman-temannya, tapi masih diberi perhatian. Arlan merasa bersalah, dan jauh di lubuk hatinya ingin sekali saling bercerita kembali dengan teman-temannya seperti dulu. Tapi ia sudah menjadi seorang pengkhianat. Apakah masih ada kesempatan untuk seorang pengkhianat dalam kumpulan teman-temannya?

Variel melepaskan genggamannya di tangan abangnya, dan berganti menggenggam tangan Zevan. Laki-laki itu tersenyum ke arah Arlan yang tidak ia ketahui makna senyuman tersebut.

Jujur saja, Zevan memang tidak tahu apa yang terjadi. Tapi saat melihat mata kedua insan di depannya ini, seolah-olah terlihat ada yang bersembunyi dari balik kepala mereka, alias rahasia.

"Kenapa? Nggak mau?" Tanya Zevan ke Arlan.

Arlan menggelengkan kepalanya dengan membalas senyumannya itu. "Makasih, tap-"

"Bahas di rumah. Tubuh lo sama Variel pasti kedinginan," sahut Zevan.

"Iya, bang. Abang pasti kedinginan kayak gitu," balas Variel.

"Tuh, kan. Ayo!"

Arlan merasa dirinya seorang pengecut. Kalah dengan perasaannya sendiri, dan menerima bantuan dari orang yang ia khianati. Walaupun begitu, ini juga yang sangat ia butuhkan sekarang. Yang terpenting adalah tidak kembali ke rumah tekanan itu.

...••••...

...TBC....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!