Pernikahan yang terjadi karena hamil duluan saat masih SMA, membuat usia pernikahan Ara dan Semeru tidak berjalan lama. Usia yang belum matang dan ego yang masih sama-sama tinggi di tambah kesalah pahaman, membuat Semeru menjatuhkan talak.
Setelah 7 tahun berpisah, Ara kembali bertemu dengan Semeru dan anaknya. Namun karena kesalah fahaman di masa lalu yang membuat ia diceraikan, Semeru tak mengizinkan Ara mengaku di depan Lala jika ia adalah ibu kandungnya. Namun hal itu tak membuat Ara putus asa, ia terus berusaha untuk dekat dengan Lala, bahkan secara terang-terangan, mengajak Semeru rujuk, meski hal itu terkesan memalukan dan mudahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yutantia 10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SUDAH TERLAMBAT
Perasaan Mami Rara sudah tidak enak saat Meru mengajak mereka bergabung dengan Papi di ruang keluarga. Melihat wajah Meru yang gelisah, juga Ara yang semakin pucat, ia yakin ada something wrong disini. Semoga saja, tebakannya salah.
"Apa yang ingin kamu bicarakan?" tanya Papi yang terlihat meradang sulungnya membawa pacar ke rumah. "Mau ngomong jika kamu terang-terangan nentang peraturan Mami sama Papi, gak boleh pacaran?"
"Ara hamil," ujar Meru setelah mengumpulkan semua keberaniannya. Suaranya sedikit pelan, karena rasa takut yang menggerogoti hati.
"Hamil?" Papi memastikan tak salah dengar.
"Ara hamil anak Meru."
Bruk
Mami Rara langsung menjatuhkan tubuh ke sofa karena lutut yang terasa lemas. Sebelah tangannya memegangi dada yang berdebar kencang. Ternyata, feelingnya benar.
"Mi, kamu gak papa kan?" Papi memegang bahu Mami, cemas melihat wajahnya yang terlihat pucat pasi. Ia juga syok dengan kabar ini, tapi masih bisa menguasai diri.
Dengan tubuh yang masih tremor, Mami berusaha mengangkat wajah, menatap dua remaja yang tampak ketakutan, terutama si wanita. "Katakan sekali lagi, Meru."
"Maafkan Meru, Mi, Pi," suara Meru mulai bergetar dan kurang jelas, pria itu sedang menahan tangis. "Ara hamil anak Semeru."
Tangis Mami Rara langsung pecah, pun dengan Meru yang ikut menitikkan air mata. Nafas Papi memburu, dadanya bergemuruh hebat. Rahangnya mengeras dan wajahnya merah padam. Mendekati Meru, menarik keras kaosnya, menatap nyalang. "Kamu sadar apa yang sudah kamu katakan hah?" bentaknya tepat di depan wajah Meru.
Semeru mengangguk. "Maafin Meru, Pi."
Bugh bugh bugh
Tak bisa menahan emosi dan kecewa, Papi memukul Meru berkali-kali. Putra yang ia banggakan, ia gadang-gadang akan menjadi penerusnya memimpin perusahaan, ternyata akhlaknya bobrok. Selalu ia bilang pada kedua adik Meru untuk mencontoh Abangnya yang selalu berprestasi, tapi kali ini, perbuatan sang abang, sama sekali tak patut dicontoh.
Mami hanya diam. Hati ibu mana yang tak sakit melihat putra yang ia lahirkan, dipukuli di depan mata, tapi lebih sakit lagi, mengetahui kelakuan putranya itu. Selama ini, ia sudah berusaha mendidik ke 3 anaknya dengan baik, tapi kenapa masih juga ada kejadian seperti ini.
Ara yang menyaksikan Meru dipukuli, langsung mengalami tremor, menangis, tak tahu harus berbuat apa.
"Dimana otak kamu hah?" bentak Papi setelah memukul Meru hingga tersungkur di lantai. "Kamu itu masih sekolah, bisa-bisanya melakukan hal diluar batas seperti itu. Apa kamu sadar hah, dengan apa yang sudah kamu perbuat?"
Meru tak berani menjawab, hanya menunduk sambil meringis merasakan sakit di wajah dan perutnya akibat pukulan sang Papi. Tapi ia sadar, sakit yang ia rasakan sekarang, tak ada apa-apanya di banding rasa sakit kedua orang tuanya akibat perbuatannya.
"Kami sekolahkan kamu di tempat terbaik, kami beri fasilitas terbaik. Kami bekali dengan ilmu agama sejak kecil. Dan tak putus-putus kami memberi nasehat, tapi kenapa semua itu tak bisa membuat kamu berakhlak baik, kenapa Meru?" Papi tersenyum getir menatap Meru. "Kami berharap kamu menjadi contoh untuk kedua adikmu, tapi sepertinya, kami terlalu berharap banyak," lagi-lagi Papi tersenyum getir, senyum yang menyiratkan seberapa kecewanya dia pada putra sulungnya.
Mami berdiri, mendekati Ara yang sejak tadi menangis.
"Ara, tolong jawab pertanyaan Tante," Mami Rara menatap kedua mata Ara yang sembab, ia pun sama. "Apa Meru memaksamu melakukan itu? Apa anak Tante mengintimidasi? Dia mengancammu? Katakan dengan jujur, karena meski dia anak Tante," telunjuknya menunjuk Meru. "Tante tidak akan membelanya jika ia salah. Sekarang jawab Ara, apa Meru memaksamu melakukan perbuatan hina itu?"
Ara menggeleng pelan.
"Tidak?" Mami tersenyum miris, terpukul dengan kejujuran Ara. "Jadi kalian melakukan atas dasar suka sama suka, tanpa paksaan, dan dengan sadar?"
Ara mengangguk.
Plak
Sebuah tamparan keras melayang ke wajah Ara. "Murahan!" bentak Mami dengan nafas memburu. "Sebagai seorang perempuan, saya malu melihat kaum saya semurahan kamu."
Ara menutup mulut dengan telapak tangan, tangisnya semakin pecah.
"Apa kamu tidak tahu, seberapa penting kehormatan bagi seorang perempuan? Kamu tidak tahu, apa yang kamu lakukan, bisa membuat kamu hamil?" cecar Mami.
Ara tak kuasa menjawab, ia terlalu malu dan kecewa pada diri sendiri.
"Harusnya sebagai perempuan, kamu tahu konsekuensi dari perbuatan yang kamu lakukan. Yang paling dirugikan adalah diri kamu sendiri," mendorong dada Ara dengan telunjuknya. "Laki-laki bisa lepas tangan begitu saja, tapi perempuan, perempuan yang sudah terlanjur hamil, bisa apa hah?" bentaknya. "Hanya bisa menangis, meratapi nasib, menanggung sanksi sosial dan membuat malu orang tua."
Mami Rara beralih menatap Meru yang sekarang sudah berdiri. "Kalian berdua," menunjuk mereka bergantian. "Apa saat melakukan perbuatan hina itu, kalian tidak memikirkan orang tua kalian? Apa kalian tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan orang tua kalian jika tahu anaknya berbuat zina?" Mami hampir jatuh jika tubuhnya tak ditopang oleh Papi. Semakin sesenggukan, dadanya sakit, sampai sulit untuk bernafas. "Kalian melakukan zina secara sadar. Astaghfirullah," mengusap dadanya berkali-kali sambil memejamkan mata.
"Maafkan kami, Mi, Pi," ucap Meru sambil menunduk, menyusut hidung, menyeka air matanya.
"Apa kamu fikir, dengan kata maaf, semuanya akan baik-baik saja?" Mami tersenyum sambil menangis. "Sudah terlambat Meru. Sudah terlambat." Memeluk Papi, menumpahkan air matanya di dada sang suami. "Kenapa kamu setega ini sama Mami dan Papi, Meru. Kenapa? Kenapa kamu hancurkan kepercayaan kami, kenapa kamu hancurkan hati kami?"
"Maafin Meru, Mi, Pi. Maaf," Meru berlutut di kaki kedua orang tuanya.
nenjadi satu keluarga yg saling menghargai...
thor...
masih ngikut..
ngakak jgaa gara2 rujak .
masih ngikut..
eh akhirnya senyum2..
teeerharu...
bisa diambil pelajarannya
berat deh klau punya ipar kyak imel
semeru.....
semangat terus thor...
aq berusaha mbaca maraton ini cerita?