"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menyesakkan
Benar adanya jika roda berputar, kadang yang di bawah akan ada di atas, begitu juga sebaliknya. Begitupun hidup. Siapa yang menyangka, bahwa nasib itulah yang dialami oleh keluarga Tama. Setelah pernikahan dihelat, perusahaan keluarganya benar-benar nyata pailit.
Bukan hal mudah untuk dihadapi, yang biasanya hanya tinggal tunjuk ini itu. Keluarga Hutama pun harus menyesuaikan dirinya. Tama harus bekerja untuk kehidupan barunya, berbekal keahlian dan kepawaiannya di perusahaannya dulu, tak butuh waktu lama untuk mendapatkan pekerjaan di tempat baru. Walau harus merangkak dari bawah, tak masalah baginya.
Sementara, Ratih —Ibu Tama— pun harus menyesuaikan dirinya menjadi serba kekurangan, suaminya sontak mengalami syok dan meninggal tak lama setelahnya. Praktis kini dia tinggal sendirian di kota kelahiran Tama. Masih hendak beranjak di kota tersebut meski Tama sudah berusaha mengajaknya tinggal.
Rasa hangatnya yang dulu ditujukan untuk Binar pun tak sehangat dulu, perlahan memudar. Dan bahkan menganggap Binar adalah pembawa sial keluarganya, hingga sekarang dingin. Hanya kebencian.
Suara dari klien memenuhi ruang rapat ini, ini adalah rapat perdana yang Binar ikuti bersama Aksa. Otaknya berusaha sangat keras mengikuti agenda rapat ini, kenapa? karena pikirannya penuh dengan adegan di pantry tadi. Sungguh dia harus bekerja keras.
Beberapa kali Aksa melirik apa yang dilakukan sekretaris baru.
Rapat usai, semuanya keluar. Begitu juga dengan Binar. Mengekor di belakang Aksa dan juga Putra.
"Siapkan resume rapat setelah ini, saya tunggu 15" Aksa melepaskan kancing di pergelangan kemeja putihnya sambil melonggarkan dasi warna abu tua itu.
"Baik, Pak" jawab Binar. Serasa siap namun hatinya tidak terkendali, ada yang mengganjalnya. Binar menarik kursinya dan bergegas meresume hasil rapat barusan. Sesekali dia mengusap wajahnya, menggeleng dan mencoba mengingat. Beberapa kali terlihat frustasi.
"Apakah sesulit itu membuat resume?" tanya Putra yang memperhatikan Binar sejak berada di ruang rapat tadi.
"Oh Pak Putra? tidak Pak," jawab Binar dengan gagap.
"Apa mbak Binar sedang tidak enak badan?" tanya Putra mendekat, memperhatikan Binar yang wajahnya nampak kusut. Binar merasa bersalah, di hari pertamanya kerja, bukan malah menunjukkan kinerja terbaiknya, malah terdiktrasi dengan kejadin tadi.
"Apa mbak Binar nanti tidak bisa menemani Pak Aksa?"
"Oh...oh bisa kok pak, saya hanya menyesuaikan diri saja," Binar tidak mau terlihat buruk.
"Seharusnya tidak menunjukkan wajah tidak profesional, Pak Aksa tidak suka hal itu,"
"Maaf Pak" Binar merasa bersalah.
Binar kembali melanjutkan pekerjaannya, dia menarik nafas panjang dan mengeluarkannya perlahan, dilakukan beberapa kali agar dia tenang. Binar mengambil jepit rambut yang ada di tasnya dan merapikan rambutnya, agar tidak terasa gerah. Udara dari pendingin ruangan rasanya tak mampu menepis rasa panas di dadanya.
Sementara, suara pintu diketuk, Aksa melihat siapa yang datang. Setelah Putra memberi tahu jika Helena sudah menunggu sedari tadi untuk urusan pekerjaan. Helena adalah rekan kerja dari perusahaan yang sedang menjalin kerja sama dengan perusahaan Aksa. Wanita cantik dengan kaki jenjang itu mendekat ke arah Aksa.
"Selamat siang, Pak" sapanya. Di samping Helena, Putra ada di sana.
"Silahkan duduk," Aksa mempersilahkan. Menurut Putra, Helena adalah salah satu pebisnis yang sudah 2 tahun belakangan bekerjasama dengan salah satu anak perusahaan yang kini dipegang oleh Aksa. Seorang wanita muda yang sudah sukses.
"Terima kasih, Pak" Helena menyunggingkan senyum manis dan duduk dengan tenang di kursi seberang meja Aksa. Aksa kembali memeriksa berkas yang sudah dia baca semalam, ada rasa tertarik untuk menjajaki bisnis dengan Helena.
"Ok, nampaknya menarik, dan kapan kita akan meeting untuk membicarakannya lebih lanjut?" Aksa membuka peluang, gadis itu nampak sangat senang.
"Saya akan mengikuti jadwal Pak Aksa," ungkapnya dengan senang hati, akhirnya salah satu mimpi besarnya sudah terlihat. Yaitu ingin mengembangkan mall yang kini dipegang oleh keluarga Aksa.
***
Banya kejutan yang Binar rasakan di hari pertama kerja, kejutan yang paling wow adalah melihat Tama, suaminya sendiri tengah bermesraan dengan wanita lain. Binar tersenyum kecut, menertawakan nasibnya yang benar-benar tidak baik. Laki-laki yang harusnya menjadi pelindungnya, yang dulu memperjuangkannya, yang dulu menjanjikan bahagia, nyatanya zonk.
Binar mengeringkan rambutnya dengan handuk, dia tengah bersiap diri untuk pergi ke undangan dan urusan kerjaan dengan Aksa. Binar menarik kursi dan mematut dirinya di depan cermin.
Terdengar suara mobil dari luar, dia meyakini jika itu adalah mobil Tama. Binar masih sibuk mengoles make up ke wajahnya. Tak berapa lama terdengar derap kaki mendekat ke arah kamar. Tidak salah, Tama yang datang. Ini adalah salah satu kepulangan tersore yang dilakukan suaminya.
"Kamu mau balik kerja lagi atau...?" Tama menggantung kalimatnya, tangannya meletakkan tas dan melonggarkan dasinya. Biasanya Binar akan menerima dasi dan baju kotornya, kali ini Binar tak bergeming. Dia masih sibuk dengan dirinya.
"Iya," jawab Binar singkat tanpa melihat langsung ke arah Tama, hanya sekelebat bayangan di cermin yang terlihat. Tama sedang melepas kemejanya. Kemeja warna biru muda yang sama persis di kantor tadi.
"Sampai jam berapa?"
"Entahlah, kenapa mas?" tanya Binar yang tinggal memoles lipstik di bibirnya"
Tama menghela nafas, lalu duduk di bibir ranjang. Melihat Binar yang cuek terhadapnya.
"Aku tidak suka jika kamu pulang larut,"
Binar masih memegang lipstik warna nude nya, lalu perlahan melihat ke arah Aksa.
"Aku lebih tidak suka jika dipandang sebelah mata, mas." Binar melanjutkan memoles lipstik ke arah bibirnya dan kembali melihat ke arah cermin.
"Apakah perkataan Mama begitu menyakitkan sehingga kamu memendam amarah, Binar?"
Binar menutup lipstiknya, lalu berdiri. Membuka lemari dan memilih baju yang sesuai untuk acara malam ini. Binar memilih baju semi formal dengan lengan pendek dan celana panjang.
"Mas, nyatanya aku cuma manusia biasa, dan ternyata aku memang memikirkannya," Binar masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti baju. Tama mencelos, bahkan kini ganti baju pun tidak terlihat olehnya.
Tama masih berada di kamar. Binar kembali masuk ke dalam kamarnya sudah dengan baju gantinya, rambutnya tergerai, Binar mengambil jepit rambut dan menjepitnya agar terlihat lebih rapi.
"Kamu mau aku antar?" Tama menwarkan.
"Terima kasih, mas, tapi aku sudah memesan taksi online, sebentar lagi sampai" jawba Binar dingin. Tama kembali menghela nafas panjang, dia mengangguk. Merasakan betapa dinginnya Binar kini, tidak menyangka lingkungan kerja yang baru sehari itu merubah Binar secepat itu.
Sekembalinya melihat Binar berangkat kerja, Tama kembali ke kamar. Pandangannya tertuju pada meja rias, dia menemukan cincin, tidak salah lagi itu adalah cincin pernikahan mereka. Binar memilih melepasnya. Tama mengambil lalu melihatnya dengan seksama.
Nyatanya Tama sudah lama tidak memakai cincin pernikahannya, dan Binar menyadari hal itu.
Binar duduk dengan tenang di taksi yang dia pesan menuju alamat di mana dia dan Aksa akan bertemu. Tidak sepenuhnya dia tenang, karena batinnya tengah bergejolak. Tak terasa matanya terasa berembun, dadanya sesak, dan tenggorokannya sakit. Binar ingin menangis sekencang-kencangnya, tapi rasa malu masih memagarinya. Dia tidak mau terlihat buruk di mata orang asing, yaitu sopir taksi. Binar mengambil tisu yang ada di tasnya, kini dia rajin membawa tisu kemana-mana. Binar mengusap air mata yang menitik di bawah matanya. Lalu dia menghirup nafas sedalam mungkin agar dirinya jauh lebih tenang.