Zoya tak sengaja menyelamatkan seorang pria yang kemudian ia kenal bernama Bram, sosok misterius yang membawa bahaya ke dalam hidupnya. Ia tak tahu, pria itu bukan korban biasa, melainkan seseorang yang tengah diburu oleh dunia bawah.
Di balik kepolosan Zoya yang tanpa sengaja menolong musuh para penjahat, perlahan tumbuh ikatan tak terduga antara dua jiwa dari dunia yang sama sekali berbeda — gadis SMA penuh kehidupan dan pria berdarah dingin yang terbiasa menatap kematian.
Namun kebaikan yang lahir dari ketidaktahuan bisa jadi awal dari segalanya. Karena siapa sangka… satu keputusan kecil menolong orang asing dapat menyeret Zoya ke dalam malam tanpa akhir.
Seperti apa akhir kisah dua dunia yang berbeda ini? Akankah takdir akan mempermainkan mereka lebih jauh? Antara akhir menyakitkan atau akhir yang bahagia?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zawara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Main Kejar-kejaran
Suara Ines dan Ela menggema di belakangnya. Zoya berlari sekuat tenaga di koridor. Ia tidak peduli lagi soal image di depan Pak Radit, ia hanya ingin menyelamatkan diri dari amukan dua naga betina itu.
Ia berlari sambil sedikit menoleh ke belakang, memastikan mereka tidak terlalu dekat.
"Awas lo kalo ketang—"
BRUK!
Zoya menabrak sesuatu atau lebih tepatnya, seseorang yang sangat kokoh. Tabrakan itu begitu keras hingga Zoya terpental ke belakang dan jatuh terduduk di lantai. Bokongnya mendarat dengan tidak elit.
"ADUH!" pekik Zoya.
"ASTAGFIRULLAH!"
Sebuah suara yang sangat familiar menggeram. Tumpukan kertas LKS berhamburan di udara seperti confetti yang menyedihkan, mendarat di sekitar Zoya dan di atas kepalanya.
Zoya mendongak. Matanya membelalak.
Berdiri menjulang di depannya, dengan ekspresi wajah yang menunjukkan dia sudah lelah hidup, adalah Pak Badri. Guru fisika killer itu menatapnya dengan tatapan "kamu-lagi-kamu-lagi".
"Eh... Pagi, Pak..." Zoya nyengir, masih di posisi duduknya di lantai, dengan selembar kertas ulangan harian menempel di dahinya.
“Pagi,” jawab Badri kesal sembari memijat pangkal hidungnya. "Zoya. Ini koridor sekolah, bukan lintasan lari maraton. Kamu itu, sehari saja, apa tidak bisa kalau tidak bikin ulah?"
Zoya baru saja hendak mencari alasan, saat ia mendengar suara langkah kaki marah dari belakangnya.
"NAH! ITU DIA!"
Ines dan Ela muncul di ujung koridor, menunjuk-nunjuk ke arah Zoya.
Zoya menelan ludah. Di depan, Pak Badri. Di belakang, dua musuh bebuyutannya.
Tamat, batin Zoya. Tamat riwayat gue.
"PAK! JANGAN KASIH DIA KABUR!"
Ines sudah tiba, napasnya terengah-engah karena marah, diikuti Ela. "Dia ngunci kita di toilet, Pak! Gara-gara dia kita dihukum!"
Pak Badri menatap Zoya, lalu ke Ines dan Ela. Wajahnya mengeras. "Zoya, kamu—"
"SAYA DIANIAYA, PAK!"
Dalam satu gerakan kilat, Zoya berdiri dan sebelum Pak Badri sempat bereaksi ia sudah menyelinap ke belakang punggung guru fisikanya itu. Ia menjadikan tubuh Pak Badri tameng yang kokoh.
"ZOYA!" Pak Badri kaget, nyaris kehilangan keseimbangan.
Zoya mencengkram kemeja safari Pak Badri dari belakang. "Pak! Tolongin! Mereka mau jambak saya, Pak! Saya difitnah! Saya tadi cuma mau nolongin mereka yang kejebak, eh pintunya macet sendiri!"
"BOHONG DIA, PAK!" teriak Ines, berusaha menggapai Zoya dari sisi kanan.
"PAK, MINGGIR, PAK! KITA ADA URUSAN SAMA DIA!" Ela mencoba dari sisi kiri.
Pak Badri kini terjebak di tengah-tengah, berputar-putar seperti gasing. "SUDAH!
HENTIKAN! Kalian bertiga ikut saya ke ruang BK!"
Mendengar kata 'BK', Zoya tahu itu adalah akhir segalanya. Dia tidak bisa ke BK. Dia tidak bisa membiarkan walkie-talkie nya disita.
Enggak! Gue harus kabur!
"Ines! Awas ada kecoa di rambut lo!" teriak Zoya tiba-tiba.
"Hah?! MANA?!" Ines menjerit histeris, refleks mengibaskan rambutnya.
Saat itulah Zoya melihat celah.
"MAAF, PAK! SAYA KEBELET! DARURAT NEGARA!"
Zoya melepaskan cengkeramannya pada baju Pak Badri, lalu melesat keluar dari balik "tameng" nya, berlari ke arah ruang guru di ujung koridor.
"ZOYA! JANGAN LARI!" teriak Pak Badri, suaranya menggema.
"AWAS LO, ZOYA!" Ines dan Ela, sadar telah ditipu, kembali mengejarnya.
Zoya berlari sekuat tenaga. Ia sudah terpojok. Ruang guru utama terlalu terbuka, dia akan langsung tertangkap. Toilet guru? Terkunci. Di belakangnya, ia bisa mendengar derap langkah Ines dan Ela, dan sekarang ditambah suara berat Pak Badri yang ikut mengejar.
Panik, mata Zoya memindai koridor guru yang sepi. Semua pintu tertutup. Kecuali satu. Sebuah pintu di sudut, yang biasanya ruang penyimpanan atau semacamnya, terlihat sedikit terbuka.
Tanpa berpikir dua kali, Zoya membanting arah. Ia tidak peduli itu ruangan apa. Yang penting, sembunyi.
Ia menyelinap masuk ke dalam ruangan itu, lalu dengan cepat menarik pintunya hingga tertutup, menyisakan celah seujung kuku untuk mengintip.
Ia menahan napas, menempelkan tubuhnya ke dinding di samping pintu. Jantungnya serasa mau meledak.
Drap! Drap! Drap!
"MANA DIA, PAK?!"
"KE TOILET DIA, AYO!"
"ZOYA! BAPAK TANDAI KAMU, YA!"
Ia mendengar suara ketiga orang itu melewatinya, berlari lebih jauh ke ujung koridor menuju toilet guru.
Hening.
Mereka melewatinya. Dia aman.
Zoya akhirnya bisa bernapas. Ia menyandarkan punggungnya ke pintu, memejamkan mata. "Hhhh... Gila... Jantung gue..." gumamnya terengah-engah.
"Permisi."
Suara itu.
Bukan suara Pak Badri. Bukan suara Bram.
Itu suara maskulin, tenang, dalam, dan berwibawa.
Zoya membeku. Matanya terbuka seketika.
Perlahan, ia memutar tubuhnya.
Itu bukan ruang penyimpanan.
Ia berada di sebuah ruangan kecil yang sangat rapi. Ada rak buku, lemari arsip, dan satu meja kerja. Dan di balik meja kerja itu, duduk seorang pria yang sedang memegang cangkir kopi, menatapnya dengan ekspresi yang sangat sulit diartikan, campuran antara kaget, bingung, dan sedikit geli.
Itu adalah Pak Radit.
Zoya menatap lurus ke papan nama kecil di atas meja: "Raditya Pradana - Wali Kelas XI IPA 3".
Ia baru saja menerobos masuk dan bersembunyi di ruangan Pak Radit.
Zoya membuka mulutnya, tapi tidak ada suara yang keluar.
"...P-Pak?" cicitnya, suaranya lebih kecil dari decitan tikus.
Pak Radit mengangkat alisnya. "Zoya, kan? Sepertinya kamu salah tempat. Ini bukan kelas IPA 3."
Zoya masih membeku di pintu, otaknya mencoba memproses level malunya yang kini sudah menembus stratosfer. Pagi ini dia sudah mengacau di kelasnya dengan walkie-talkie, dan sekarang dia menginvasi ruangannya seperti buronan.
"Saya... eh... itu... tadi..." Zoya tergagap, wajahnya memerah padam.
TOK! TOK! TOK!
Sebuah ketukan keras mendarat di pintu yang masih dipegang Zoya, membuatnya melompat kaget.
"ZOYA! BAPAK TAHU KAMU DI SEKITAR SINI! KELUAR KAMU!"
Itu suara Pak Badri. Terdengar marah.
Mata Zoya membelalak panik. Ia menatap Pak Radit dengan tatapan 'tolong-saya-atau-saya-mati', lalu tanpa pikir panjang, ia berjongkok di tempat, mencoba bersembunyi di balik pintu yang sedikit terbuka itu, membuat dirinya sekecil mungkin.
Pak Radit menatap pemandangan absurd di depannya, seorang siswi berjongkok panik di balik pintu ruangannya. Ia menghela napas, lalu dengan tenang meletakkan cangkir kopinya.
TOK! TOK! "Pak Radit? Permisi, Pak."
Pak Radit berdiri, berjalan santai ke pintu. Ia membukanya lebih lebar, tubuhnya yang tinggi tegap efektif menghalangi pandangan Pak Badri ke sudut tempat Zoya meringkuk.
"Ah, Pak Badri. Selamat pagi. Ada yang bisa saya bantu?" Suara Pak Radit terdengar tenang dan ramah.
"Pagi, Pak Radit. Maaf mengganggu. Apa Bapak lihat Zoya? Anak XI IPA 3 Lari ke arah sini tadi," tanya Pak Badri, matanya mencoba melongok ke dalam ruangan.
Zoya menahan napas. Habislah sudah.
Pak Radit tersenyum tipis. "Zoya? Murid baru saya, ya. Tidak, Pak. Saya dari tadi hanya sendirian disini, menyiapkan materi."
Zoya, yang berjongkok di balik pintu, nyaris pingsan karena lega. Bapak... Bapak bohong? Demi aku?
Pak Badri menggerutu. "Hhh, anak itu. Selalu saja bikin ulah. Ya sudah, kalau begitu. Maaf mengganggu waktu Anda, Pak Radit."
"Tidak masalah, Pak."
Pak Radit menutup pintu pelan setelah Pak Badri dan gerombolan Ines-Ela yang mengekor di belakangnya menjauh. Ruangan kembali hening.
"Sudah aman," kata Pak Radit pelan.
Zoya tidak langsung berdiri. Ia masih berjongkok, terlalu malu untuk bergerak.
Pak Radit kembali ke kursinya, lalu menatap Zoya yang masih meringkuk di dekat pintu. "Kamu tidak berencana menghabiskan jam istirahat di posisi itu, kan? Lantainya tidak terlalu bersih."
Perlahan, Zoya berdiri. Ia merapikan roknya yang kusut, tidak berani menatap mata wali kelasnya.
"Pak... Maaf, Pak," cicit Zoya. "Dan... makasih."
"Sama-sama." Ucapnya lembut. "Sekarang, mau jelaskan kenapa kamu dikejar guru fisika dan dua temanmu seolah-olah kamu baru saja mencuri dana BOS?"
Zoya terdiam. Ditatap oleh Pak Radit dalam jarak sedekat ini, dalam situasi segila ini, membuat lidahnya kelu.
Tapi kemudian, kelegaan karena tidak tertangkap, bercampur rasa terima kasih, membuat bendungan di mulut Zoya jebol. Sifat cerewet nya mengambil alih.
"Aduh, Pak! Bapak nggak tau aja!" Zoya melangkah maju, lupa kalau dia sedang bicara dengan guru. "Itu si Ines sama Ela, Pak!
Mereka ngatain saya di toilet tadi pagi, ya jelas saya nggak terima, dong! Jadi saya kunciin mereka di toilet. Kan impas, Pak? Eh, mereka dendam. Terus tadi pas istirahat mereka nyamperin saya di kelas, mau nge-labrak. Ya saya kabur, lah! Saya kan lagi males berantem."
"Terus saya lari, nggak sengaja nabrak Pak Badri. Eh, Pak Badri malah mau bawa saya ke BK. Padahal kan yang salah Ines duluan, Pak! Saya kan cuma membela diri! Wajar, kan? Bapak juga pasti gitu, kan, kalo digituin? Masa Bapak diem aja?"
Zoya berbicara tanpa jeda, tangannya ikut bergerak kesana-kemari menjelaskan.
Pak Radit hanya menatapnya. Tidak marah, tidak tertawa. Ia hanya mendengarkan. Tatapannya intens, seolah Zoya adalah spesimen paling menarik yang pernah ia temui.
Ketika Zoya akhirnya berhenti untuk mengambil napas, Pak Radit tersenyum. Bukan senyum tipis, tapi senyum tulus yang membuat lesung pipinya terlihat samar.
Zoya langsung terdiam, terpesona.
"Sudah?" tanya Pak Radit geli.
"Eh... udah, Pak," jawab Zoya, pipinya kembali memerah.
"Zoya, Zoya," Pak Radit menggelengkan kepala pelan, tapi senyumnya belum hilang.
"Pertama, mengunci orang di toilet itu tidak 'impas'. Itu salah."
"Tapi kan mereka—"
"Kedua," potong Pak Radit lembut. "Saya hargai kamu... 'curhat' ke saya. Tapi lain kali, selesaikan masalah tanpa perlu lari-lari di koridor."
"Hehe, siap, Pak."
"Dan ketiga..." Pak Radit menunjuk ke tas Zoya. "...Pastikan mainan ponakan bibi kamu tidak 'korslet' lagi di jam pelajaran saya."
Zoya nyengir lebar. "Siap, laksanakan, Komandan!"
Pak Radit tertawa kecil. "Kembali ke kelas. Dan jangan sampai ketahuan Pak Badri lagi."
Zoya mengangguk semangat. "Makasih banyak, Pak Radit! Bapak emang wali kelas terbaik sedunia!"
Ia berlari kecil keluar dari ruangan itu, meninggalkan Pak Radit sendirian dalam keheningan.
Radit menatap pintu yang tertutup. Ia mengambil kopinya, tapi tidak meminumnya. Ia tersenyum menatap cangkirnya.
XI IPA 3.
Hari ini adalah hari pertamanya, dan ia sudah harus berbohong pada rekan guru, mendengarkan pengakuan 'kejahatan' toilet, dan menyaksikan kepanikan soal walkie-talkie yang korslet.
Gadis itu... Zoya. Dia berisik, ceroboh, blak-blakan, dan penuh kekacauan.
Radit mengira akan bosan mengajar di sini. Tapi melihat Zoya, ia tahu tahun ini akan jadi tahun yang sangat panjang, dan sangat... menarik.
Suara cerewet Zoya yang penuh energi itu, entah kenapa, membekas di benaknya. Jauh lebih berkesan daripada salam sopan murid-murid lain.