Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 19- Wibawa? Hilang! Kembali ke Setelan Pabrik
Fajar datang lagi. Sama seperti kemarin, dan hari sebelumnya. Tapi entah kenapa… semuanya terasa berbeda.
Mungkin karena kemarin aku baru saja menyeleksi para ksatria terkuat di istana.
Atau mungkin karena aku berdiri di tengah medan pertempuran mini, meneriakkan perintah, menatap aura para petarung layaknya seorang jenderal perang…
Tapi pagi ini...
“Tuan muda~ air hangatnya sudah siap~”
Aku kembali disambut suara serak dan senyum terlalu semangat dari Lyra. Seperti biasa.
“Waktunya memandikan bayi kerajaanku~ hihihi~”
Dan seperti biasa, aku jadi boneka mandi tanpa hak veto.
“Lyra, bisa nggak kamu... sedetik aja... berhenti bersikap seperti aku ini anak umur tiga tahun?”
Dia mendekat sambil meletakkan baskom dengan bunyi plak! yang terlalu teatrikal.
“Mana bisa... Wajahmu yang baru bangun itu loh... mata setengah merem, rambut berantakan, dan suara bindeng manja itu... hnggh~” Dia mendekap pipinya sendiri. “Mau gimana lagi, ya tetap terlihat seperti bayi manja kerajaan!”
Aku menatapnya datar.
“Padahal kemarin,” lanjutnya sambil mengelap tubuhku, “Tuan Muda kayak jenderal besar! Cara jalanmu, suaramu, tatapanmu... aku sampe takut bercanda! Tapi sekarang...” dia mencubit pipiku, “...cuma pengen gendong dan kasih bubur.”
Wibawa: minus seratus.
Setelah mandi dan memilih pakaian yang... lebih sopan dari pilihan Lyra yang terlalu terbuka di bagian dada (entah kenapa milihnya jubah dengan belahan dada? Aku yang pakai lho), aku memintanya sesuatu yang agak tidak biasa.
“Lyra. Antar aku ke Akademi Sihir.”
“Hmm? Sekarang?” Ia menaikkan satu alis. “Kamu yakin mau masuk sarang anak-anak sihir nyebelin itu? Banyak yang suka ngebanggain teori aneh yang nggak pernah mereka uji sendiri.”
“Justru itu.” Aku tersenyum tipis. “Aku mau lihat siapa yang benar-benar bisa belajar dan bertarung.”
“Pasti karena Saniel ya~” gumamnya menggoda. “Dia lagi latihan sama Lady Seraphine pagi ini.”
Akademi Sihir terletak di paviliun timur, dengan pilar-pilar putih menjulang dan taman penuh kristal sihir yang menyerap cahaya matahari pagi. Damai. Terlalu damai.
Tapi ketenangan itu segera pecah—
“Bodoh! Sihir bukan puisi yang bisa dibaca sambil nyanyi-nyanyi! Fokus! Rasakan mananya di tubuh kalian!”
Lady Seraphine. Suaranya bisa membuat naga pun berdiri tegak.
Tapi begitu aku muncul di pinggir lapangan latihan...
“AAAAA... ARLAN-KU?”
Suara itu berubah. Nada dinginnya langsung mencair jadi madu hangat.
Dia berjalan menghampiriku. Rambutnya diikat ke belakang, dan mantel sihirnya terbuka cukup lebar untuk menampilkan lekuk tubuh... yang sepertinya sengaja dipamerkan.
“Kamu datang... hanya ditemani pelayan imutmu itu?” Ia melirik Lyra, lalu menatapku dengan senyum licik. “Berani sekali... Apa kau tidak takut aku culik?”
Aku tersenyum kecil. “Apa kau sering menculik bangsawan?”
“Hanya yang manis sepertimu~” jawabnya tanpa ragu, jari telunjuknya menyentuh bibir sendiri.
—Dan Lyra langsung berdiri di depanku, seperti perisai hidup.
“Tuan Muda hanya boleh diculik kalau aku ikut!” serunya dengan nada mengancam.
Seraphine terkekeh. “Santai saja, aku hanya ingin... meminjam dia sejenak.”
Di tengah lapangan, Saniel sedang berlatih bersama tiga ksatria sihir muda. Tongkat kayu di tangan, mata fokus, gerakannya cepat tapi terkontrol.
“Fire Lance!”
BOOM!
Semburan api kecil meledak di udara. Akurat. Efisien. Tanpa getaran tak perlu.
Seraphine menoleh ke arahku, lalu bicara pelan.
“Anak itu... luar biasa. Tapi tetap saja... tak sebanding denganmu yang mencuri perhatian di tengah medan seleksi.”
“Seleksi kemarin?” tanyaku.
Dia mendekat, terlalu dekat. Nafasnya hangat di telingaku.
—Aku membeku.
“Tatapanmu, suaramu, cara kamu memimpin... sungguh menggoda.”
Aku tersedak udara.
Saniel menoleh, menyadari kehadiranku, dan menghampiri dengan cepat.
“Pangeran Arlan!” Ia memberi hormat. “Selamat pagi. Saya sedang berlatih teknik sihir peledak tingkat dua.”
Aku tersenyum. “Kau makin cepat berkembang, Saniel.”
Dia tersenyum tipis, tapi aku bisa melihat matanya—fokus. Dia mengamati. Mencatat. Belajar. Anak itu akan jadi masalah bagi musuh siapa pun.
Setelah sesi latihan berakhir dan para murid mulai bubar, aku menatap Seraphine yang masih berdiri di sisiku—entah sejak kapan ia berdiri cukup dekat hingga aroma parfum bunganya terasa mencuri udara.
“Seraphine,” panggilku.
Ia menoleh dengan senyum yang... entah bagaimana terasa seperti jebakan.
“Uuh~ memanggilku dengan nada seperti itu… apakah kau ingin meminta sesuatu yang... nakal?”
Aku menghela napas. “Aku cuma mau bicara. Empat mata.”
Dia langsung tertawa pelan. “Empat mata, ya~? Kenapa tidak empat bibir...?”
Aku tidak menjawab. Tapi menatapnya lurus, menunjukkan bahwa ini serius.
Melihat itu, ia langsung berubah. Nada genitnya meluruh, menyisakan ekspresi profesional—meskipun tetap dengan senyum nakal yang seperti tak pernah bisa benar-benar hilang dari wajahnya.
“Seraphine,” kataku, membuka pembicaraan. “Dari semua ksatria sihir di akademi ini... menurutmu, siapa yang paling menonjol dan berbakat?”
Ia tidak menjawab langsung. Justru memejamkan mata sejenak, seperti sedang menyaring satu dari ratusan wajah di kepalanya.
“Yang menonjol... banyak,” jawabnya akhirnya. “Ada yang penuh gaya saat menyerang. Ada yang keras kepala. Ada juga yang terlalu pamer dan suka bicara besar.”
Ia membuka mata, lalu menoleh padaku.
“Tapi yang benar-benar berbakat... hanya satu.”
Aku diam, menunggu.
“Saniel.” Nada suaranya tegas, tanpa keraguan sedikit pun. “Anak itu berbeda. Bakat sihirnya bukan hanya besar, tapi stabil. Pikirannya tajam. Refleksnya cepat. Dan dia tidak terlalu banyak bicara.”
Aku mengangguk pelan. Dalam hati, aku tahu itu. Tapi mendengarnya langsung dari Seraphine membuat keyakinanku mengeras.
“Matamu tajam, Arlan” lanjutnya. “Kau tahu siapa yang berharga sejak pertama melihat.”
Senyumnya kembali mengembang, tapi kali ini lebih lembut. Lebih... tulus?
“Saya kira kau akan mencari lebih banyak calon prajurit sihir dari sini. Tapi kalau tujuan kau adalah membentuk pasukan elit... maka kau tak perlu banyak. Cukup satu yang benar-benar bisa kau percayai.”
Aku terdiam. Tadinya aku memang ingin menjaring beberapa ksatria sihir dari akademi. Mencari bibit unggul, menanam investasi jangka panjang.
Tapi Seraphine benar.
Satu Saniel saja... mungkin cukup. Sisanya hanya akan memperlambat.
Aku memalingkan wajah ke langit. Biru pucat. Tidak ada awan. Tapi pikiranku terasa penuh.
“Terima kasih, Seraphine.”
Ia mengedipkan sebelah mata.
“Kalau kau butuh yang lebih dari sekadar Saniel... saya juga bisa dipertimbangkan~”
Aku menatapnya.
“Sebagai apa? Ksatria? Guru sihir?”
Dia mencondongkan tubuh, terlalu dekat, terlalu cepat—hingga ujung hidung kami nyaris bersentuhan.
“Sebagai milik pribadimu, tentu saja~”
Aku membeku. Lagi.
Dan dari kejauhan, suara Lyra terdengar—
“Kalau sampai dia nyentuh kulitmu, aku akan meledakkan akademi ini!!”
—Ya. Pagi yang sangat biasa. Dalam standar baruku, maksudku... Ya, beginilah.