para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 20
Mereka kembali, wajah mereka merefleksikan kesegaran. Namun, pemandangan yang menyambut mereka sungguh tak terduga: Queen tertidur pulas di pangkuan Daffa, sementara Daffa sendiri terpejam lelap, bersandar nyaman pada sandaran kursi. Suasana begitu damai, menenangkan. Betapa kontrasnya dengan Queen yang selama ini dikenal pendiam dan jarang dekat dengan siapa pun. Kedekatannya dengan Daffa begitu mengejutkan, bahkan menyentuh.
Mereka memutuskan untuk membiarkan keduanya beristirahat sejenak, bergantian menjaga Wati. Baskoro memberanikan diri mendekati kamar Wati. Dengan hati-hati, ia mengintip dari balik pintu. Di sana, Wati duduk di depan jendela, menyanyikan sebuah lagu dengan ekspresi yang begitu khusyuk. Lagu itu, meski tak terdengar, terasa begitu menghantui.
Sebuah perasaan merinding menjalar di tulang punggung Baskoro. Ia kembali ke ruang tengah.
"Sudah jam delapan, Pak Parno dan Pak Prabu belum juga kembali," katanya.
"Entahlah," jawab Arjuna, "Kita tunggu saja. Tapi Wati... nyanyiannya itu loh... sungguh merinding."
"Ya, dia terus menatap ke luar jendela sambil bernyanyi," timpal Baskoro, duduk di samping Daffa yang masih tertidur.
"Adem banget lihat mereka, ya," sahut Fahri, matanya tertuju pada Daffa dan Queen.
Baskoro hanya mengangguk pelan. Saat itulah Daffa membuka matanya, terkejut melihat mereka semua berkumpul, menatapnya dengan ekspresi yang tak biasa. Fahri bahkan memainkan alisnya, tersenyum jahil. Suasana tegang berubah menjadi sedikit jenaka.
"Eh... kalian sudah balik?" tanya Daffa, suaranya masih berat karena baru bangun tidur.
Bibir Fahri mengerucut, "Humm... ada yang asyik berduaan sampai nggak sadar kita datang. Kayaknya sebentar lagi kita bakalan ngontrak, guys!" candanya, membuat Daffa tersipu malu. Ia berusaha tetap diam, menjaga agar Queen tidak terbangun.
Tiba-tiba, Arin datang terengah-engah, wajahnya pucat pasi. "Wati... Wati nggak ada di kamarnya!" pekiknya, suara panik tercetak jelas dalam setiap hembusan napasnya.
"Serius?!" seru mereka serempak, jantung mereka berdegup kencang.
Tanpa menunggu aba-aba, mereka berlari menuju kamar Wati. Queen, yang perlahan membuka matanya, tersentak kaget mendengar teriakan Arin. Mereka menemukan kamar Wati kosong melompong. Yang lebih membuat mereka bingung, tidak ada tanda-tanda Wati keluar dari kamar.
"Bagaimana bisa? Jendela ini terbuat dari besi kokoh, mana mungkin dia keluar lewat jendela," ujar Arjuna, memeriksa jendela yang memang tampak tak mungkin dibuka. Ia mencoba mendorongnya, namun jendela itu tetap tak bergeser sedikit pun.
"Kalaupun dia lewat pintu, pasti kita lihat. Gue baru saja dari kamarnya, dan dia masih ada di sana," kata Baskoro.
Kecemasan dan kebingungan memenuhi ruangan. "Wati... di mana kamu, Wati?" teriak Queen, suaranya bergetar, penuh keputusasaan.
"Kita bagi tugas, cari Wati di sekitar rumah dulu!" seru Baskoro.
Mereka mengangguk, segera membagi tugas. Arjuna dan Valo menyusuri halaman depan, Daffa dan Baskoro memeriksa bagian dalam rumah, sementara Fahri, Queen, dan Arin mencari di belakang rumah.
Kegelapan malam semakin menyelimuti. Mata mereka mulai kesulitan melihat di antara bayang-bayang. Fahri menyalakan senter, cahaya redup menerobos kegelapan, mencari-cari sosok Wati di antara dedaunan yang lebat. Namun, Wati tetap tak terlihat.
Ketiganya semakin menjauh dari rumah, memasuki area yang ditumbuhi semak belukar yang lebat. Di depan mereka terbentang hutan yang gelap dan mencekam, menandai batas desa dan juga Gapura terlarang—tempat yang menyimpan misteri dan cerita seram yang sudah lama mereka dengar.
"Wat... kamu di mana...?" lirih Queen, suaranya diiringi oleh angin malam yang berdesir dingin.
"Wati... pulang yuk, jangan kaburan gini dong," ucap Fahri, mencoba mencairkan suasana tegang dengan candaan yang tak tepat waktu.
Seketika, Arin memukul kepala Fahri dengan keras.
"Auu... Sakit, Rin!" ringis Fahri, memegangi kepalanya yang terasa berdenyut.
"Biarin! Siapa suruh dalam keadaan kayak gini masih aja bercanda!" bentak Arin.
Fahri hanya bisa menggosok-gosok kepalanya yang sakit sambil menahan rasa kesal.
Sambil menerobos semak belukar, cahaya senter Fahri menangkap sesosok tubuh wanita yang berdiri di bawah pohon rindang, samar-samar terlihat di kegelapan. Ketiganya saling berpandangan, jantung mereka berdebar kencang. Itu Wati!
"Wati... Lu mau ke mana?" seru Fahri.
Namun, sebelum mereka sempat mendekat, sosok Wati berlari cepat, menghilang ke dalam kegelapan hutan yang lebat. Hanya bayangannya yang tersisa, menghilang di antara pepohonan yang tinggi menjulang, mereka celingukan mencari keberadaan Wati.
"Wati!" Suara Fahri bergema, memanggil Wati di tengah kegelapan.
Mata Queen dan Arin langsung tertuju ke arah cahaya senter Fahri. Mereka hanya sempat melihat bayangan Wati sekejap sebelum menghilang ditelan kegelapan.
Jeritan Fahri menggema, membuat Daffa dan yang lainnya langsung berlari menuju sumber suara. Daffa berlari dengan panik, sampai menabrak beberapa benda di dalam rumah.
Mereka menghampiri Queen dan Arin. "Mana Wati?" Daffa bertanya, napasnya tersengal-sengal.
Queen menunjuk ke arah hutan yang gelap gulita. "Dia lari ke sana. Ayo kita cari."
"Cepat! Sebelum Wati terlalu jauh," Arjuna mendesak.
Baskoro tampak ragu, sedangkan Valo terdiam, diliputi rasa takut.Daffa berhenti, menyadari bahwa Valo dan Baskoro tak bergerak.
"Ayo... jangan cuma berdiri di sini! Kita harus menemukan Wati!"
Akhirnya, Valo dan Baskoro bergabung dengan rombongan. Mereka menyusuri hutan, meneriakkan nama Wati, suara-suara mereka hilang ditelan rimbanya yang lebat. Semakin jauh mereka melangkah, semakin mencekam suasana. Hingga akhirnya, mereka sampai di depan sebuah gapura—tak terlalu besar atau tinggi, namun aura kuno dan misterius terpancar dari batu-batu usangnya. Lumut hijau tua menempel di permukaannya, seperti bisikan sejarah yang terlupakan.
"Jangan-jangan... ini gapura yang dimaksud Pak Prabu," bisik Valo.
Mereka berdiri di depan gapura itu, perasaan campur aduk menggelayut di hati masing-masing.
Kegelapan hutan mencengkeram mereka, ditemani oleh suara-suara burung malam yang ganjil, seakan berbisik rahasia-rahasia mengerikan.
Sesekali, angin berdesir melalui dedaunan, menciptakan suara "syurak... syurak..." yang menambah rasa mencekam. Bau tanah basah dan aroma tumbuhan yang asing menggelitik indera penciuman. Bayangan-bayangan aneh berkelebat di sela-sela pepohonan, mengusik setiap saraf yang tegang.
"Ya, ini gapura yang dimaksud Pak Prabu. Kemarin gue dan Wati sampai di sini. Wati bertingkah aneh, tiba-tiba berjalan ke sini. gue teriak, dia gak denger. Queen dan Arjuna juga tau gue ngikutin dia sampai tempat ini," jelas Baskoro.
"Kenapa kau gak bilang, Bas? Terus, kita mau cari ke mana lagi? Kita balik saja! Kita kan dilarang mendekati tempat ini," protes Valo.
"Baiklah, kita pulang. Mungkin Wati sudah kembali ke rumah," usul Arin.
Mereka berbalik, hendak meninggalkan tempat angker itu. Namun, Queen tiba-tiba berhenti. Ia menatap gapura—dan jantungnya seakan berhenti berdetak. Sosok Wati berdiri di tengah gapura, diam, menatapnya dengan tatapan kosong yang menggetarkan.
"Itu... Wati!" suara Queen terbata-bata.
Semua mata tertuju ke arah gapura. Benar, Wati ada di sana.
"Wati!" teriak Queen, suaranya panik.
Namun, Wati berbalik dan berlari masuk ke dalam gapura. Tanpa ragu, Queen berlari mengejarnya.
"Gila! Kalian mau ke mana?! Kalian gak dengar kata-kata Pak Prabu?!" Valo berteriak, menahan mereka.
"Gue mau mencari Wati! gue gak mungkin biarkan dia sendirian di sana? Gue akan mencarinya, terserah kalian mau ikut atau gak!"
"Gue akan ikut, Queen. Wati tanggung jawab kita. Kita tak bisa meninggalkannya begitu saja," kata Daffa.
"Aku juga," sahut Arjuna dan Baskoro serempak, tekad mereka terpatri dalam suara mereka.
Mau tak mau, Valo mengangguk setuju. Kembali sendirian? Bayangan itu saja sudah cukup membuatnya gemetar hebat, keringat dingin membasahi dahinya. Arin, dengan wajah pucat pasi, bibirnya gemetar, hanya mampu mengangguk lemah.
"Apa pun yang terjadi, kita jangan sampai terpisah," bisik Baskoro, diiringi doa-doa yang terucap lirih, seakan memohon perlindungan dari kekuatan gaib yang mungkin bersemayam di tempat itu.
Jari-jari tangannya mengepal erat, buku-buku jarinya memutih karena tekanan. Mereka menarik napas panjang, napas yang terasa berat dan sesak. Queen menggenggam tangan Arin dengan erat, jari-jari mereka saling bertaut.
Tatapan mereka bertemu—mata yang dipenuhi ketakutan, namun juga tekad yang membara untuk menemukan Wati. Wajah-wajah mereka pucat pasi, diterangi oleh cahaya samar bulan yang merembes melalui dedaunan.
Dengan langkah gontai, kaki mereka terasa berat, mereka memasuki gapura tua itu. Seketika, semuanya gelap.
.
.
BERSAMBUNG...