Aku terbiasa diberikan semua yang bekas oleh kakak. Tetapi bagaimana jika suaminya yang diberikan kepadaku?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aluina_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23
Langit di usia Banyu yang keenam belas tidak selalu biru. Terkadang, awan-awan kelabu khas remaja datang menggantung, membawa serta gerimis berupa kebingungan dan badai kecil di dalam hati. Sebagai orang tua, aku dan Danu telah mempersiapkan diri untuk ini. Kami tahu akan ada pintu yang dibanting, musik yang diputar terlalu keras, dan jawaban-jawaban singkat yang diucapkan dengan enggan. Itu semua adalah bagian dari proses Banyu menemukan jati dirinya, dan kami memberinya ruang untuk itu.
Namun, beberapa bulan setelah ulang tahunnya yang kelima belas, awan yang menyelimuti Banyu terasa berbeda. Bukan lagi awan pemberontakan yang berisik, melainkan kabut tebal yang sunyi. Dia menjadi lebih pendiam, lebih sering menyendiri di kamarnya. Suara gitar listriknya yang biasanya menggetarkan seisi rumah kini lebih sering bungkam. Dia masih sopan, masih bertanggung jawab, tapi cahaya di matanya meredup.
"Dia baik-baik saja?" tanya Danu suatu malam, saat kami melihat siluet Banyu berjalan sendirian di taman belakang, earphone menutupi telinganya.
"Aku rasa ini lebih dari sekadar 'fase remaja'," jawabku, rasa khawatir yang familier mulai menyelinap di hatiku. "Dia seperti sedang memikul beban, tapi dia tidak mau membaginya dengan kita."
Kami mencoba bicara dengannya, tapi Banyu selalu berhasil mengelak. "Nggak apa-apa, Bu. Cuma lagi capek," atau "Lagi banyak tugas sekolah, Yah," adalah jawaban standarnya. Kami tidak mau memaksanya, takut itu justru akan membuatnya semakin menjauh. Kami hanya bisa mengamati dari jauh, berharap dia akan datang pada kami saat ia siap.
Penyebab dari perubahan itu akhirnya terungkap melalui Aira, adik perempuannya yang jeli dan tidak bisa menyimpan rahasia terlalu lama.
"Kak Banyu putus sama Kak Lina," bisik Aira padaku suatu sore saat membantuku melipat cucian. Lina adalah cinta pertama Banyu, seorang gadis manis dan pintar dari sekolahnya.
"Oh, Sayang..." gumamku. "Pantas saja dia murung. Kenapa mereka putus?"
Aira cemberut, menirukan gaya orang dewasa yang sedang bergosip. "Katanya, orang tua Kak Lina nggak suka sama Kak Banyu. Mereka bilang, keluarga kita itu 'rumit'. Terus, mereka juga bilang jadi musisi itu nggak ada masa depannya."
Jantungku terasa seperti diremas. Rumit. Sebuah kata yang begitu sederhana namun menusuk begitu dalam. Gema dari masa laluku, yang kukira telah terkubur dalam-dalam, ternyata masih bisa berbisik dan menyakiti anakku. Orang tua Lina, yang mungkin hanya tahu sekelumit cerita dari gosip-gosip lama, telah menghakimi putra kami berdasarkan luka-luka kami.
Malam itu, aku menceritakannya pada Danu. Wajahnya mengeras, ada kilat amarah di matanya. "Beraninya mereka menghakimi anak kita. Mereka tidak tahu apa-apa tentang perjuangan kita, tentang keluarga kita yang sekarang."
"Mereka hanya melihat permukaannya, Dan," kataku sedih. "Mereka melihat Aunty Binar yang tidak menikah dengan ayah kandung keponakannya. Mereka melihatmu yang bercerai. Mereka melihat sebuah 'keluarga yang rusak'."
Kami tahu kami harus bicara pada Banyu, tapi kami tidak tahu bagaimana caranya. Bagaimana kami bisa menjelaskan kerumitan masa lalu kami tanpa membuatnya semakin terluka?
Kesempatan itu datang dengan cara yang tidak terduga.
Suatu hari Sabtu, saat sedang mencari sesuatu di gudang, Banyu tanpa sengaja menemukan sebuah kotak kardus tua yang bertuliskan namaku. Didorong oleh rasa ingin tahu, ia membukanya. Kotak itu berisi barang-barang dari kehidupanku sebelum menikah dengan Danu: beberapa penghargaan desain grafis dari kompetisi lama, buku-buku referensi, dan sebuah map portofolio tebal.
Di dalam map itu, di antara sketsa-sketsa logo dan desain brosur, terselip selembar kertas yang sudah sedikit menguning. Itu adalah sebuah sketsa gaun. Gaun yang sederhana namun elegan, berwarna senja. Di sudut kanan bawah, ada tulisan tanganku: "Gaun Pemberontakan Kecilku" dan sebuah tanggal.
Banyu menatap tanggal itu lama. Tanggal itu berasal dari beberapa bulan sebelum pernikahan resmi kedua orang tuanya. Tapi yang membuatnya bingung adalah perasaan yang terpancar dari sketsa itu—ada harapan, ada impian, tapi juga ada semacam kesedihan yang tak terucap. Itu bukan sketsa bahagia seorang calon pengantin.
Malam itu, dia menemuiku di studio lukisku. Dia tidak lagi menyembunyikan kerapuhannya. Matanya merah dan bengkak, wajahnya dipenuhi kebingungan yang menyakitkan. Dia meletakkan sketsa itu di atas mejaku.
"Bu," katanya, suaranya bergetar. "Aku menemukannya di gudang. Aku tahu ini tidak sopan. Tapi... aku tidak mengerti."
Dia menatapku, tatapannya menuntut sebuah kebenaran. "Orang tua Lina benar, kan? Keluarga kita memang rumit. Ada cerita yang jauh lebih besar di balik ini semua, kan? Cerita yang Ibu dan Ayah tidak pernah ceritakan padaku."
Aku menatap sketsa gaun itu, seolah melihat hantu. Napasku tercekat. Aku bisa saja berbohong, mengarang cerita tentang gaun itu. Tapi melihat luka dan kebingungan di mata putraku, aku tahu bahwa waktu untuk dongeng telah usai. Dia tidak lagi membutuhkan perlindungan dari kebenaran. Dia membutuhkannya untuk bisa memahami dunianya, dan dirinya sendiri.
"Kamu benar, Sayang," bisikku. "Ada cerita. Cerita yang panjang dan sulit. Dan kamu sudah cukup dewasa untuk mendengarnya."
Aku memanggil Danu. Lalu, aku melakukan sesuatu yang lebih berani. Aku menelepon Binar. "Kak, bisa ke rumah sekarang? Penting. Ini tentang Banyu."
Satu jam kemudian, kami berempat duduk di ruang keluarga. Suasananya tegang. Aira sudah tertidur di kamarnya. Banyu duduk di sofa tunggal, memeluk bantal, tampak seperti seorang terdakwa. Aku, Danu, dan Binar duduk di sofa panjang menghadapnya. Kami adalah satu kesatuan, siap untuk menghadapi bisikan masa lalu ini bersama-sama.
"Sebelum kami mulai," kata Danu, suaranya tenang dan mantap. "Ayah ingin kamu tahu, apapun yang akan kamu dengar malam ini, itu tidak mengubah satu hal pun: bahwa kami semua sangat mencintaimu. Kamu adalah hasil dari cinta, Banyu. Bukan dari kesalahan."
Lalu, kami mulai bercerita.
Aku yang memulai. Aku bercerita tentang perasaanku yang selalu menjadi nomor dua, tentang gaun warna senja yang menjadi simbol pemberontakanku, dan bagaimana gaun itu direbut dariku. Aku bercerita tentang pernikahan pertamaku dengan ayahnya—pernikahan di atas kertas yang terasa seperti pemakaman. Aku tidak menyembunyikan rasa sakitku, tapi aku juga tidak menyalahkan siapa pun. Aku hanya menceritakan apa yang kurasakan.
Kemudian, Binar mengambil alih. Dengan suara yang lirih namun stabil, ia menceritakan versinya. Tentang penyakitnya, tentang rasa takut dan tidak amannya yang begitu besar. Tentang bagaimana obsesinya untuk memiliki anak telah mengubahnya menjadi monster yang egois.
"Aunty-mu ini dulu adalah orang yang sangat rapuh dan tersesat, Nyu," katanya, menatap lurus pada keponakannya. "Rasa sakit membuat Aunty melakukan hal-hal yang sangat jahat pada ibumu. Tidak ada pembenaran untuk itu. Itu adalah bagian tergelap dari hidup Aunty, dan Aunty akan selalu hidup dengan penyesalan itu."
Terakhir, Danu yang bicara. Dia menceritakan tentang utang budinya, tentang kelemahannya, tentang rasa cintanya yang buta pada Binar saat itu, yang membuatnya ikut serta dalam rencana gila itu. Dia juga menceritakan tentang bagaimana ia perlahan-lahan melihatku, bukan lagi sebagai adik ipar, tapi sebagai seorang wanita yang kuat, dan bagaimana ia jatuh cinta dalam diam.
"Ayah adalah seorang pengecut, Nyu," katanya jujur. "Ayah butuh waktu terlalu lama untuk menemukan keberanian dan memperjuangkan apa yang benar. Ayah membiarkan ibumu menderita lebih lama dari yang seharusnya."
Kami membongkar semuanya. Kepahitan, kesalahan, air mata. Banyu hanya diam mendengarkan, matanya beralih dari satu wajah ke wajah lain. Ekspresinya berubah dari bingung, menjadi syok, lalu menjadi... pemahaman.
Setelah kami selesai, keheningan menyelimuti ruangan. Banyu menunduk, memproses semua informasi yang baru saja menghantamnya seperti gelombang pasang.
"Jadi... lagu yang kutulis itu..." bisiknya, lebih pada dirinya sendiri. "Tentang warisan... tentang mengatasi kesulitan... itu semua nyata."
Dia mengangkat wajahnya, menatap kami bertiga. Tidak ada lagi kebingungan di matanya. Yang ada hanyalah kedewasaan yang baru ditemukan. "Kalian... kalian semua luar biasa."
"Luar biasa?" Binar mengerutkan kening. "Kami baru saja menceritakan betapa kacau dan egoisnya kami dulu."
"Iya," kata Banyu. "Tapi kalian tidak berhenti di situ. Kalian berjuang. Kalian saling memaafkan. Kalian membangun semua ini," katanya, menggerakkan tangannya ke sekeliling ruangan, merujuk pada kehangatan dan kedamaian yang kini kami miliki. "Orang tua Lina... mereka mungkin punya keluarga yang 'tidak rumit'. Tapi mereka tidak akan pernah mengerti tentang kekuatan seperti ini."
Malam itu, sebuah luka baru di hati anak kami telah disembuhkan oleh luka lama kami. Dengan mengetahui kebenaran, ia tidak merasa hancur. Sebaliknya, ia merasa menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar. Kisah perjuangan kami memberinya perspektif. Patah hatinya, penghakiman orang lain, semua itu terasa kecil dibandingkan dengan badai yang telah berhasil kami lewati.
Dia memeluk kami satu per satu. Pelukannya terasa berbeda. Lebih erat, lebih dewasa.
"Maaf sudah membuat kalian khawatir," katanya.
"Tidak apa-apa," jawabku sambil mengusap rambutnya. "Kita keluarga. Kita melewati segalanya bersama."
Malam itu, setelah Binar pulang dan Banyu kembali ke kamarnya, aku mendengar suara petikan gitar akustik yang lembut. Dia tidak lagi bersembunyi di balik kebisingan musik rock. Dia sedang menciptakan melodi baru. Melodi yang lebih dalam, lebih bijaksana, yang lahir dari pemahaman.
Bisikan masa lalu telah datang. Tapi alih-alih menghancurkan kami, ia justru memperkuat kami. Ia telah mengubah anak laki-laki kami menjadi seorang pria muda yang mengerti bahwa kekuatan sejati sebuah keluarga tidak diukur dari ketiadaan masalah, melainkan dari cara mereka menghadapi dan menyembuhkan luka bersama-sama. Dan warisan pelangi kami, kini telah diestafetkan dengan cara yang paling nyata.
kan jadi bingung baca nya..