NovelToon NovelToon
Cinta Selamanya

Cinta Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Transmigrasi / Perjodohan / Romantis / Fantasi / Cinta Murni / Mengubah Takdir
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: eloranaya

Raisa tidak menyangka bahwa hidup akan membawanya ke keadaan bagaimana seorang perempuan yang menjalin pernikahan bukan atas dasar cinta. Dia tidak mengharapkan bahwa malam ulang tahun yang seharusnya dia habiskan dengan orang rumah itu menyeretnya ke masa depan jauh dari bayangannya. Belum selesai dengan hidup miliknya yang dia rasa seperti tidak mendapat bahagia, malah kini jiwa Raisa menempati tubuh perempuan yang ternyata menikah tanpa mendapatkan cinta dari sang suami. Jiwanya menempati raga Alya, seorang perempuan modis yang menikah dengan Ardan yang dikenal berparas tampan. Ternyata cantiknya itu tidak mampu membuat Ardan mencintainya.

Mendapati kenyataan itu Raisa berpikir untuk membantu tubuh dari orang yang dia tempati agar mendapatkan cinta dari suaminya. Setidaknya nanti hal itu akan menjadi bentuk terima kasih kepada Alya. Berharap itu tidak menjadi boomerang untuk dirinya. Melalui tubuh itu Raisa menjadi tahu bahwa ada rahasia lain yang dimiliki oleh Ardan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eloranaya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

06. Teman Baru

Sejak dua puluh menit lalu Raisa mondar-mandir di dalam kamar. Beberapa kali mengecek jarum jam dinding yang terus berdetak.

Sedari malam, setelah orang tuanya pamit pulang dia langsung merebahkan diri di tempat tidur barunya mulai sekarang. Dia kelupaan bahwa semalam telah mengunci kamar dari dalam dan ternyata pagi ini pintu kamarnya masih terkait, tanda belum ada yang membukanya.

Suara ketukan dari luar mengganggu.

“Non, mobil sudah siap ya. Saya tunggu di bawah.”

“Ah! Iya, Pak. Aku abis ini segera turun.”

Raisa bergegas turun, menyambar tas selempang cream kecil yang disimpan di lemari kaca. Pagi ini dia belum turun sama sekali untuk menyapa orang-orang rumah dan sekarang dia akan segera pergi tanpa sarapan, hanya mandi dan bersolek tipis.

Satu per satu dia bawa kakinya menuruni tangga.

Pagi ini Raisa akan mencoba untuk menjalani aktivitas yang selama tiga bulan jarang Alya lakukan, yaitu bekerja. Karena dia juga tidak tahu harus bagaimana dan melakukan apa dengan kondisi yang seperi sekarang. Maka untuk itu sementara dia hanya memikirkan bahwa akan terus begitu, mencoba ikut alur. Sampai entah kapan. Mau protes pun dia tak tahu harus protes ke mana, teriak frustasi sana-sini yang ada malah mengganggu semua orang, bahkan kalau dia ingin bercerita tentang apa yang dia alami saja, memang ada yang akan percaya?

“Alya mau berangkat?”

Raisa menunjukan senyum gigi. Dia lantas mendekati Santi dan Wardana untuk menyalimi keduanya yang duduk berdampingan di luar rumah sedang menikmati bersihnya udara pagi.

“Iya, ada pemotretan. Aku pamit ya, Pa, Bu.”

“Hati-hati, ya!”

Raisa segera melesat ke mobil. Pak Dadang sudah siap mengemudi di dalam.

“Pagi, Pak,” sapanya.

“Pagi, Non.” Mobil hitam tersebut mulai membelah jalanan yang untungnya belum begitu padat. Disela perjalanan Raisa membuka suara, “Pak, Ardan hari ini sudah berangkat kerja ya? Pagi jam berapa?”

“Kalau biasanya, sih, masih nantian jam delapan, Non. Tapi hari ini Mas Ardan sama sekali belum kelihatan batang hidungnya sejak kemarin malam pergi keluar. Saya belum lihat dia pulang dari kemarin.” Raisa manggut-manggut paham.

Dia hanya menggumam sendiri, bertanya tanpa mengharap jawaban ke mana lelaki itu pergi. Urusan seperti apa yang membawanya tidak pulang. Dan entah mengapa Raisa sedikit lega, dipikirannya hanya bisa membayangkan bagaimana jika lelaki itu waktu mau tidur masuk ke kamar dan menghadapi kenyataan bahwa pintunya dikunci dari dalam. Kemungkinan besar Raisa akan kena marah. Atau mungkin malah tidak?

...****************...

Memakan waktu empat puluh lima menit akhirnya mobil yang Raisa tumpangi mencapai gedung tempat Alya bekerja.

Sebuah gedung dua lantai terhampar di depan pandangan Raisa. Di pojok atas gedung terdapat letter sign yang terbaca: Starlit. Menempel gagah di sana. Pintu bening yang dilengkapi dengan sensor menyambutnya. Saat sudah berhasil masuk ke dalam Raisa kebingungan sendiri. Ke mana dia harus pergi?

Tiba-tiba suara riang nan nyaring menyerukan nama Alya dari belakang. “Alyaaaa! Oh my God, finally! Elo udah sadar dan nggak jadi cegil lagiiii!” Laura berlari dari belakangnya dan sigap memeluk Raisa erat. “Eh, tapi jangan sadar deng, kesenengan si Ardan ntar nggak lo tempelin.” Kalimat ralatan Laura disambut kekehan.

“Ini gue ke ruangan mana?”

“Sebelah gue! Elo hari ini ada pemotretan baju! Gilakkk, sama brand gede, Al!” Suara menggebu-gebu terdengar jelas dari napas Laura.

“Dan, yap! Partner lo kali ini anak baru debut dua bulan lalu. Keren banget dia, gue kira hasil nepotisme ternyata dia pernah nyobain berkarir di jalanan!”

“Siapa tuh?”

“Devan namanya! Ardan aja lewat, Al.”

...****************...

Raisa menjejakan kakinya ke ruangan yang Laura tunjuk, sementara temannya itu melengang ke ruangan sebelahnya. Sesampainya di dalam ruangan seruan demi seruan memanggil nama Alya. Sangat ramai bersahut-sahutan. Bahkan sampai orang yang memiliki posisi sebagai manajer sujud syukur dengan berlebihan.

“Pelaris dateng, pelaris dateng.”

“Kasih hormat sama ketua!”

“Tiga bulan ngapain aja tuh sama Ardan?”

“Gaya apa aja yang udah dicoba? Hahaha!”

Gurauan mengudara itu terhenti karena seorang yang tengah memegang kamera. Menginterupsi.

“Ayo, kameranya udah selesai gue setting, nih.”

“Yah, nggak seru ah.”

“Alya sini Al. Dandan dulu.” Alya mengikuti lambaian tangan yang memanggilnya. Ruangan itu kembali sibuk dengan urusan masing-masing lagi. Wajah yang hanya dipoles tipis dari rumah tadi sekarang sudah lebih baik, bahkan berhasil membuat Raisa terkesima. Raga orang yang dia tempati sungguh luar biasa cantik, berkali-kali lipat.

Saat semua orang sedang sibuk-sibuknya pintu yang diam bergerak, semua mata tertuju ke arah pintu.

“Pelaris satunya dateng, pelaris satunya dateng.”

Pasti orang yang datang itu Devan. Batin Raisa.

Lelaki berpawakan jangkung masuk dan membungkuk sopan, berkali-kali ke segala penjuru. Pantas saja Laura tadi bilang kalau Ardan lewat, benar-benar kalau dilihat secara langsung Devan lebih cakep!

“Maaf semuanya, gue terlambat lima belas menit.” Ketika Devan membungkuk dari jauh ke arahnya Raisa tertegun, lelaki itu melemparkan senyum tipis kepadanya.

“It’s OK, Dev.”

“Penglaris diistimewakan.”

Celotehan yang kali ini hanya bertahan sebentar, semua kembali fokus pada pekerjaan masing-masing.

Selama proses rias Raisa tidak banyak bicara, dia mencoba memperhatikan sekitar. Mengamati hal-hal yang lagi dan lagi baru untuknya. Terlalu lucu bukan? Perempuan dua puluh empat tahun yang masih kesulitan mencari pekerjaan kemudian dalam semalam mendapatkan pekerjaan tanpa harus susah berusaha? Bukan cuma pekerjaan, bahkan suami, keluarga, teman, dan arah kehidupan berbeda seratus delapan puluh derajat mendatanginya.

“Ayo, ayo. Alya sudah bisa dimulai?”

“Belum, Bar! Masih perlu touch up dikit! Yang cowok dulu aja!” teriakan penata rias Raisa menjawab.

Devan yang sudah siap lantas berdiri, lelaki tersebut bersetelan jas sementara Raisa memakai gaun setengah paha. Nuansa keduanya sama, merah.

“Ini nggak bisa ditutup dikit gitu ya?” Raisa menggerakan tangannya ke arah dada, belahan di gaun yang dia kenakan terlalu banyak mengekspos.

Meskipun untuk tubuh Alya itu adalah hal biasa tetapi bagi Raisa itu sangat sangat luar biasa. Secara dalam hidupnya dia tidak pernah berpakaian begitu, menurutnya pakaian seperti itu sangatlah tidak nyaman dikenakan. Dan benar saja Raisa merasakan ketidaknyamanan.

“Ehhh, jangan, Al. Udah gitu aja, cantik.”

“Dikit aja, ya?”

“Jangan, Al.”

Raisa mengembus penat.

“Ayo, giliran Alya.” Raisa terkesiap. Setelah menunggu Devan sekarang gantian dia. Dalam dirinya bergemuruh takut, sekarang barulah dia menyesal telah mengiyakan ucapan ibu Alya kemarin. Harusnya dia bisa menebak akan seperti ini.

Dengan heels tinggi warna silver Raisa bergerak, mulai menempatkan diri pada set yang sudah disiapkan. Tidak perlu dijelaskan lagi seluruh mata pasti kini melihat ke arahnya dan tidak dipungkiri detak jantungnya berpacu sangat kencang sampai-sampai telinganya sendiri bisa mendengarnya.

Bisa dikatakan tampilan kali ini benar-benar luar biasa, di atas kata glamour.

“Mulai pose ya. Satu, dua, tiga.”

Blitz menyala. Raisa berkedip, memejamkan mata.

Yang melihat itu langsung melongo.

“Al, jangan merem dulu.”

Raisa mengangguk canggung. Aduh, dia benar-benar menyesal.

Satu jepret, dua jepret, tiga jepret, berkali-kali sampai mata Raisa penat dan kabur melihat objek di depannya karena kilatan cahaya.

“Sudah, sudah. Istirahat dulu.” Interupsi dari fotografer terucap.

Mendengar itu tentu saja Raisa sedikit lega. Dia berniat mencari tempat istirahat di kursi rias tempat dia didandani tadi. Tapi ketika melewati sang fotografer Raisa bisa mendengar jelas orang tersebut berkata padanya, “Lo kenapa, Al, peformanya kok turun begini? Kenapa nggak banyak mengeksplor gaya spontan lo kayak dulu?”

Tidak dijawab.

Setibanya dia di kursi, Raisa gunakan waktunya untuk mengerjap-kerjapkan mata agar penglihatan kembali normal. Kilatan cahaya yang memasuki retina terlalu terang untuknya.

Di sela dia membuka tutup kelopak mata sebuah kursi terlihat terbang karena diangkat dan mendarat di dekatnya. Devan mengajaknya berinteraksi.

“Ini buat lo.” Tangan lelaki itu penuh dengan selembar kain yang terlipat rapi dengan se-cup kecil pudding jelly susu.

Raisa menerimanya. “Terima kasih.”

“Lah.” Devan tertawa ketika Raisa membentangkan kain yang dia beri untuk menutupi bahu hingga pahanya, padahal niatnya dia memberikan itu agar digunakan untuk menutupi paha yang terlalu terekspos banyak.

“Devan.” Devan mengulurkan tangannya.

“Alya.” Dia menerima jabatan tangan.

“Si penglaris?” Devan menggoda.

“Kebetulan,” jawab Raisa sekenanya.

“Ohhh.” Tanpa respons panjang Devan hanya menggangguk-angguk saja, tertawa kecil menanggapi. “Btw, less sugar itu.” Devan melirik jelly yang digenggam Raisa.

“Thanks.” Raisa menyendoknya sedikit demi sedikit, saat makanan lembut menyentuh indra perasanya dia menyetujui pernyataan yang disampaikan Devan.

“Besok gue bawain lagi.”

...****************...

Lima belas menit dipakai untuk rehat sejenak sebelum pemotretan kembali dimulai. Kali ini baik Devan dan Raisa, mereka berdua melakukan sesi foto bersama. Berbagai properti mulai ditambah.

“Bang, flash-nya kurangin aja ya. Gue yakin masih bagus kok hasilnya.”

Sebelum mulai kamera diarahkan pada dia dan Raisa, Devan menyampaikan permintaannya. Dia disetujui. Pemotretan kembali dilakukan.

“Panduin gayanya, ya, guys. Gue sama Alya keabisan gaya, nih,” ucap Devan.

Di salah satu gaya Devan sempat mengulurkan tangannya rendah di hadapan Raisa. Dia yang tidak paham maksudnya mengambil tangan tersebut dan menggenggamnya yang sontak saja menimbulkan gelak tawa dari Devan. Lelaki itu berbisik di sebelahnya, “Kaki, Al.”

“Hah?”

“Alya gayanya gini Alya.” Dua pekerja di belakang fotografer memandu dari jarak jauh. Memberi contoh gaya apa yang dimaksud. Mereka ingin salah satu kaki Raisa terangkat dengan bantuan satu tangan Devan yang membantu menahan di pahanya.

“Angkat aja, bisa kok mainin angle kamera.”

Raisa masih bingung mencerna.

“Angkat aja kaki lo, nggak akan gue sentuh dikitpun kulitnya. Percaya sama gue.”

“Alya gini Alya.” Intruksi keluar untuk kedua kalinya. Dua orang di belakang fotografer lagi-lagi memberikan contoh gaya yang dimau.

“Pegang bahu gue pakai tangan kiri lo dan angkat kaki biar nggak jatoh.”

Raisa masih tidak bergerak.

“Sumpah, percaya sama gue.”

Mengangguk Raisa mulai melakukan apa yang Devan sarankan. Benar saja saat Raisa melakukannya lelaki itu tidak sedikitpun menaruh tangannya di badannya tetapi tetap mendapatkan seruan bagus.

“Nahhhh.” Dua orang yang tadi memberikan contoh berseru puas.

“Sekarang begini, guys!” Gaya baru diperagakan. Kali ini mereka harus saling berhadapan dan jemari Raisa menempel pada dada Devan.

Raisa dengan canggung berpose.

“Deketin lagi mukanya,” komentar muncul dari pemandu gaya.

“Gampang itu, buruan.”

Tepat Devan menyelesaikan kalimatnya lampu seketika mati, disengaja. Raisa terkejut kecil tetapi tetap mengatupkan mulutnya. Dikegelapan dia bisa mendengar Devan berkata, “sorry ya.”

Cekrek!

Kilatan cahaya menyala, detik itu juga dia melihat wajah Devan sangat dekat dengannya. Sedekat ukuran jari kelingking.

“Yang biasa aja gayanya! Udah nggak perlu dipandu ah, kalian manfaatin banget.”

“Biar benefit juga, Van.”

Tanpa bisa melihat wajah satu sama lain bentuk kalimat protes melayang di udara.

“Saling membelakangi aja, Al. No expression ya.” Mendengar Devan, Raisa menyetujui. Dan sesi pemotretan mereka berjalan begitu saja, beberapa kali juga Devan protes kalau diminta gaya yang menurutnya bisa menimbulkan ketidaknyamanan.

“Thanks ya, sekali lagi.”

“No problem.”

...****************...

1
fianci🍎
Pusing kepala baca cerita ini, tapi tetap seru. Teruslah menulis, author!
Perla_Rose384
Gak sabar nunggu kelanjutannya thor, semoga cepat update ya 😊
Eirlys
Bikin saya penasaran terus
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!