Untuk menghindari perjodohan, mahasiswa populer bernama Juan menyewa Yuni, mahasiswi cerdas yang butuh uang, untuk menjadi pacar pura-puranya. Mereka membuat kontrak dengan aturan jelas, termasuk "dilarang baper". Namun, saat mereka terus berakting mesra di kampus dan di depan keluarga Juan, batas antara kepura-puraan dan perasaan nyata mulai kabur, memaksa mereka menghadapi cinta yang tidak ada dalam skenario.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SineenArena, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28: Dansa di Pesta Kebun (Malam Terakhir)
Bab 28: Dansa di Pesta Kebun (Malam Terakhir)
Malam terakhir di Vila Adhitama.
Langit malam ini bersih, seolah-olah badai emosi yang terjadi sore tadi di taman mawar telah menyapu bersih semua awan mendung.
Bintang-bintang bertaburan di kanvas hitam pekat, berkelap-kelip dingin namun indah.
Taman belakang yang luas telah disulap.
Bukan lagi sekadar taman dengan rumput basah.
Lampu-lampu gantung kecil (fairy lights) melilit batang-batang pohon kamboja tua dan pohon pinus yang mengelilingi area pesta, menciptakan suasana magis seperti di negeri dongeng.
Meja-meja bundar dengan taplak linen putih bersih tersebar di atas rumput.
Lilin-lilin di dalam lentera kaca berkedip-kedip tertiup angin malam yang sejuk, membiaskan cahaya keemasan yang hangat.
Musik jazz lembut mengalun dari panggung kecil di sudut taman.
Saxophone yang mendayu, double bass yang berdentum rendah.
Band akustik yang disewa khusus untuk malam perpisahan ini sedang memainkan lagu-lagu Sinatra.
Yuni berdiri di depan cermin panjang di kamarnya.
Dia menatap lengan kirinya.
Dibalut perban kasa tipis yang rapi.
Luka goresan mawar itu sudah dibersihkan dan diobati oleh Juan sore tadi.
Juan melakukannya dengan diam.
Wajahnya serius, alisnya bertaut.
Dia memarahi Yuni pelan karena "ceroboh" dan "bodoh", tapi sentuhannya saat mengoleskan antiseptik begitu lembut, seolah kulit Yuni terbuat dari kaca tipis.
Yuni mengenakan gaun malam yang baru dibelinya kemarin.
Bukan gaun yang paling mahal di toko.
Tapi gaun yang dipilihkan Juan.
Midi dress berbahan satin sutra berwarna biru navy.
Potongannya klasik, off-shoulder, memperlihatkan bahu dan lehernya yang jenjang.
"Warna ini bikin kamu kelihatan kuat," kata Juan saat Yuni mencobanya di fitting room. "Dan misterius."
Rambutnya digelung longgar (chignon), menyisakan helai-helai lembut yang jatuh alami di sekitar wajahnya.
Dia tidak memakai perhiasan berlebihan yang bisa membuatnya terlihat seperti toko emas berjalan (seperti Tante Lisa).
Hanya sepasang anting mutiara kecil.
Sederhana. Elegan.
Dia menatap bayangannya di cermin.
Dia tidak lagi melihat Cinderella yang takut sepatunya pecah saat tengah malam.
Dia melihat seorang wanita muda yang baru saja selamat dari medan perang.
Seorang penyintas.
"Siap?"
Suara Juan di pintu.
Yuni berbalik.
Juan berdiri di ambang pintu yang terbuka setengah.
Napas Yuni tertahan sebentar.
Juan terlihat... berbeda.
Dia memakai jas kasual warna abu-abu tua (charcoal), dipadukan dengan kemeja putih bersih yang kancing atasnya dibuka satu.
Tanpa dasi.
Celana bahan yang pas kaki (tailored fit).
Terlihat santai, tidak kaku seperti bapak-bapak, tapi tetap memancarkan aura mahal dan berkuasa.
Rambutnya ditata rapi ke belakang, tapi ada satu untai yang jatuh di dahi, memberinya kesan boyish.
Mata Juan terpaku pada Yuni.
Lama.
Dia tidak bergerak dari ambang pintu.
Ada kilatan kekaguman yang tidak disembunyikan di mata cokelat itu.
Bukan tatapan menilai aset.
Tapi tatapan seorang laki-laki yang terpesona pada pasangannya.
"Kamu... cantik," katanya.
Suaranya serak. Rendah.
"Sangat cantik."
Yuni merasakan pipinya memanas.
"Berkat sponsor," candanya, mencoba mencairkan ketegangan yang tiba-tiba muncul. Mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa ini semua dibayar.
Juan tersenyum tipis.
Dia melangkah masuk.
Mendekat ke arah Yuni.
Aroma cologne woody dan tembakau samar menguar darinya.
Dia mengambil tangan kanan Yuni (tangan yang tidak diperban).
Mengangkatnya perlahan.
Dan mencium punggung tangannya.
Lembut.
Lama.
Bibirnya terasa hangat di kulit Yuni yang dingin.
Itu bukan bagian dari skenario.
Itu tidak ada di briefing.
Jantung Yuni berdegup kencang, memukul-mukul rusuknya.
"Ayo," kata Juan, melepaskan ciumannya tapi tidak melepaskan genggamannya.
"Panggung terakhir. Kita selesaikan ini."
Mereka berjalan keluar kamar.
Menyusuri lorong, menuju pintu kaca yang terbuka ke taman.
Taman itu sudah ramai.
Semua keluarga besar ada di sana.
Oma duduk di kursi kehormatan di ujung taman, memakai syal cashmere tebal, mengobrol serius dengan Pak Adhitama.
Bu Linda sibuk mondar-mandir, mengatur pelayan yang membawa nampan perak berisi canapé dan gelas crystal berisi sparkling water dan wine.
Kevin dan Bella ada di sudut dekat kolam ikan, memegang gelas mocktail warna-warni, tertawa keras—mungkin menertawakan tamu lain atau merencanakan konten baru.
Dan Clarissa.
Dia berdiri di dekat panggung band.
Pusat perhatian lain malam ini.
Memakai gaun sequin emas panjang yang memeluk tubuhnya.
Berkilau menyakitkan mata di bawah sorot lampu.
Rambutnya digerai bergelombang sempurna.
Dia memegang gelas champagne tinggi.
Tertawa renyah bersama beberapa sepupu jauh yang mengaguminya.
Tapi saat melihat Juan dan Yuni datang, tawanya mati seketika.
Seperti diputus sakelar.
Matanya menyipit.
Tatapannya jatuh pada perban putih di lengan kiri Yuni.
Ada kilatan rasa bersalah?
Tidak.
Hanya kekesalan.
Kekesalan karena rencananya gagal. Kekesalan karena Yuni masih berdiri tegak, bukannya menangis di kamar.
Juan tidak melepaskan tangan Yuni sedetik pun.
Dia membawa Yuni berkeliling. Menyapa paman dan bibi yang belum sempat disapa.
Memperkenalkan Yuni dengan bangga.
"Kenalkan, ini Yuni. Pacar saya."
"Iya, Om. Dia pinter banget. Anak Sastra. Kemarin debat sama Papa soal ekonomi."
"Iya, Tante. Dia yang bikin aku rajin makan sehat sekarang. Galak kalau soal kesehatan."
Setiap pujian Juan terdengar tulus.
Setiap sentuhan Juan di pinggang Yuni terasa protektif.
Dia membuat pagar betis tak terlihat di sekeliling Yuni.
Menjauhkan Yuni dari jangkauan Clarissa dan lidah tajam keluarga lainnya.
Tiba-tiba, musik berubah.
Tempo melambat.
Pemain saxophone mulai meniup nada intro yang sangat dikenal.
Fly Me to The Moon.
Suara vokalis pria yang berat mulai bernyanyi.
"Fly me to the moon... Let me play among the stars..."
Beberapa pasangan tua (Om Pras dan Tante Lisa, bahkan Pak Adhitama dan Bu Linda) mulai berjalan ke tengah area dansa buatan (lantai parket kayu yang dipasang di atas rumput).
"Dansa?" tawar Juan.
Dia mengulurkan tangannya lagi.
Yuni terkejut. Matanya membelalak.
"Aku nggak bisa dansa, Juan. Aku injak kakimu nanti."
"Cuma goyang kanan kiri. Ikutin aku."
"Juan, semua orang liat. Clarissa liat."
"Biarin," kata Juan tegas.
"Biar mereka liat siapa yang aku pilih."
Tanpa menunggu persetujuan, dia menarik Yuni lembut ke tengah lantai dansa.
Cahaya lampu gantung menyorot mereka.
Juan meletakkan satu tangannya di pinggang Yuni.
Tangan lainnya menggenggam tangan kanan Yuni, mengangkatnya setinggi bahu.
Menarik tubuh mereka merapat.
Sangat rapat.
Hampir tidak ada jarak.
Yuni bisa merasakan panas tubuh Juan menembus kain jas dan gaunnya.
Dia meletakkan tangannya yang diperban di bahu Juan dengan hati-hati.
Mereka bergerak perlahan mengikuti irama.
Satu, dua. Satu, dua.
Yuni merasa canggung awalnya. Kakinya kaku seperti kayu.
Tapi Juan memimpin dengan percaya diri.
Mengarahkan langkahnya. Menopang tubuhnya saat dia hampir tersandung.
"Liat mata aku," bisik Juan.
"Jangan liat kaki."
Yuni mendongak.
Menatap mata cokelat itu.
Di bawah sinar bulan dan lampu taman yang temaram, mata Juan terlihat seperti kolam madu yang dalam dan hangat.
Dunia di sekitar mereka seolah memudar. Blur.
Suara obrolan keluarga, denting gelas, tawa Bella yang cempreng... semuanya menjauh menjadi dengungan latar belakang.
Hanya ada mereka berdua.
Dan musik.
Dan detak jantung yang berpacu tidak karuan.
"Kamu hebat hari ini," bisik Juan di telinga Yuni.
"Kamu bertahan. Kamu kuat."
"Aku hampir nyerah tadi sore," aku Yuni jujur. "Aku hampir kabur."
"Tapi kamu nggak nyerah. Kamu bangkit. Dan kamu tampil cantik banget malam ini."
Juan menunduk sedikit.
Wajahnya mendekat.
Hidung mereka hampir bersentuhan.
"Maafin aku soal Clarissa. Soal Bella. Soal semuanya. Aku nggak nyangka bakal seberat ini buat kamu."
"Nggak apa-apa," bisik Yuni. "Itu bagian dari... pekerjaan."
Juan berhenti bergerak.
Musik masih mengalun.
Pasangan lain masih berdansa di sekitar mereka.
Tapi Juan diam.
Dia menatap bibir Yuni. Lalu menatap matanya lagi.
Ada pergulatan batin di sana.
"Yuni."
"Ya?"
"Gimana kalau..."
Suaranya tertahan. Ragu.
"Gimana kalau ini bukan cuma pekerjaan?"
Jantung Yuni berhenti berdetak.
Dunia berhenti berputar.
Apa maksudnya?
Apakah Juan sedang... melanggar Pasal Tiga?
Di tengah kerumunan ini? Di tengah sandiwara ini?
Clarissa melihat mereka dari pinggir lantai dansa.
Dia berdiri kaku memegang gelasnya. Wajahnya merah padam menahan amarah.
Dia melihat kedekatan itu.
Kedekatan yang tidak bisa dipalsukan dengan skenario manapun.
Chemistry yang memancar alami.
Juan mendekatkan wajahnya lagi.
Lebih dekat.
Napas hangatnya menyapu pipi Yuni.
Yuni memejamkan mata.
Menunggu.
Berharap.
Atau takut?
"Juan!"
Suara bariton yang keras memecah mantra itu.
Pak Adhitama.
Dia berdiri di pinggir lantai dansa, melambaikan tangan.
"Juan! Sini sebentar! Om Pras mau pamit pulang! Kamu harus salam!"
Juan tersentak.
Mundur selangkah.
Seperti orang yang baru bangun dari hipnotis.
Yuni membuka mata.
Ada kekecewaan yang nyata di mata Juan. Dan rasa frustrasi.
Dia menghela napas kasar.
"Tunggu di sini," bisik Juan.
"Jangan ke mana-mana. Jangan jauh-jauh."
Dia melepaskan pelukannya dengan enggan.
Tangannya meluncur turun dari pinggang Yuni, seolah berat melepaskannya.
Dia berjalan menuju ayahnya.
Mengubah postur tubuhnya kembali menjadi "Anak Berbakti".
Meninggalkan Yuni berdiri sendirian di tengah lantai dansa.
Kedinginan tanpa kehangatan tubuh Juan.
Tapi kali ini, dia tidak merasa takut atau kesepian.
Dia menoleh ke arah Clarissa.
Mata mereka bertemu.
Clarissa menatapnya dengan kebencian yang tidak ditutupi.
Tapi Yuni tersenyum.
Senyum kemenangan yang tipis.
Dia mengangkat dagunya.
Berjalan tenang dan anggun menuju meja minuman.
Dia tahu dia sudah menang malam ini.
Bukan karena dia lebih cantik.
Bukan karena dia lebih kaya.
Tapi karena di lantai dansa tadi...
Juan melihatnya.
Benar-benar melihatnya. Sebagai Yuni. Bukan sebagai karyawan.
Dan Clarissa tahu itu.
Malam terakhir di vila ditutup dengan rasa manis yang membingungkan.
Dan satu pertanyaan besar yang menggantung di antara bintang-bintang Puncak.
Gimana kalau ini bukan cuma pekerjaan?