Adelina merupakan seorang selebgram dan tiktokers terkenal yang masih duduk di bangku SMA.
Parasnya yang cantik serta sifatnya yang periang membuatnya banyak disukai para followers serta teman-temannya.
Tak sedikit remaja seusianya yang mengincar Adelina untuk dijadikan pacar.
Tetapi, apa jadinya jika Adelina justru jatuh cinta dengan dosen pembimbing kakaknya?
Karena suatu kesalahpahaman, ia dan sang dosen mau tak mau harus melangsungkan sebuah pernikahan rahasia.
Pernikahan rahasia ini tentu mengancam karir Adelina sebagai selebgram dan tiktokers ratusan ribu followers.
Akankah karir Adelina berhenti sampai di sini?
Akankah Adelina berhasil menaklukkan kutub utara alias Pak Aldevaro?
Atau justru Adelina memilih berhenti dan menyerah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marfuah Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mas Al Jangan Pergi
Pov. Adelina
Akhir-akhir ini Mas Al berubah. Ia gak lagi galak dan dingin. Justru kini ia terlihat sangat perhatian. Apalagi sejak kasus pernikahan kami terbongkar yang membuatku di DO dari sekolah. Sejak itu perubahannya semakin drastis.
Benar kata orang, ada hikmah di setiap kejadian buruk yang terjadi. Dan hikmah dari hancurnya karirku adalah Mas Al. Aku gak peduli lagi dengan karirku yang telah hancur itu. Meski akun yang menyebarluaskan berita itu telah membuat klarifikasi dan meminta maaf, tapi aku gak ingin kembali ke dunia palsu itu.
Kejadian itu membuatku sadar jika di dunia maya, orang-orang munafik jauh lebih berbahaya. Untuk itu, aku memutuskan untuk tak lagi bergelut dalam dunia itu. Aku menutup akun instagramku.
Sekarang aku ingin fokus dengan pendidikan dan peranku sebagai seorang istri. Ya, meski aku belum bisa sempurna memerankan peranku yang satu itu. Tapi aku masih berusaha yang terbaik.
Malam ini Mas Al pulang membawa setangkai bunga mawar pink dan beberapa boneka lucu. Aku gak nyangka dia bisa seromantis ini. Meski cara ngasihnya cuma biasa aja, gak ada adegan berlutut-lutut seperti di drama-drama. Namun ini lebih dari cukup.
Sekotak es krim strawberry menjadi temanku dan Mas Al menghabiskan malam minggu ini. Sambil nonton drakor yang entah sejak kapan dia menyukainya. Aku berharap Mas Al benar-benar menyayangiku. Entah, dia menganggapku sebagai apa. Asal dia tetap bersamaku aku tak masalah dengan itu.
Aku mencintainya. Dan itu sudah cukup.
“Mas, terima kasih untuk malam ini. Malam ini adalah malam minggu paling indah selama aku hidup,” kataku tulus.
Manik kami saling tatap. Lekat.
Dia merentangkan tangannya, memberi isyarat untuk aku masuk dalam peluknya. Aku menurut, merebahkan kepalaku di dada bidangnya. Lewat kecupannya di pucuk kepalaku, aku merasakan rasa sayang yang menjalar dari sana.
“Saya juga berterima kasih sama kamu. Karena kehadiran kamu, hidup saya lebih berwarna.”
Senyumku merekah mendengar kata-katanya. Hatiku berdesir bahagia. Andai aku bisa menghentikan waktu, aku ingin malam ini gak pernah berakhir. Aku ingin terus ada dalam dekapannya seperti ini. Dalam satu waktu, selamanya.
...🍉🍉...
Matahari pagi merambat melalui celah jendela. Membangunkanku dari tidur nyenyakku. Dengan mata yang masih terpejam tanganku menggerayang menepuk-nepuk bagian kosong di sampingku. Apa Mas Al udah bangun?
Aku mengucek mata, melihat jam di atas nakas yang menunjukkan pukul 08.00 pagi. Sial! Aku kesiangan.
Duh, gimana mau jadi istri yang baik kalau bangun aja siang. Aku segera beranjak, mengintip ke luar kamar. Mas Al tengah membaca koran di ruang tamu. Pelan aku membuka pintu dan menutupnya kembali.
Berjalan santai seolah gak ada apa-apa. “Mas gak masak?” tanyaku sambil berjalan menuju kulkas.
Istri macam apa aku yang justru bertanya pada suaminya. Bukankah harusnya seorang suami yang bertanya masalah itu?
Mas Al menoleh sebentar sebelum kembali fokus dengan korannya.
“Nggak,” jawabnya.
“Aku aja ya yang masak,” ucapku seraya membuka pintu kulkas.
“Jangan!”
Apa seburuk itu masakanku sampai Mas Al begitu cepat menolaknya?
“Kenapa? Masakanku gak enak ya?” tanyaku masam.
“Bukan begitu, saya cuma lagi pengen makan nasi uduk di depan gang,” kilahnya.
Aku mengangguk seraya kembali menutup kulkas. “Baguslah, mau aku beliin?”
“Biar saya yang beli,” ucapnya seraya melipat koran.
Mas Al beranjak kemudian menyambar jaket dan dompetnya di atas almari.
“Saya pergi dulu,” pamitnya seraya menutup pintu.
Sepeninggal Mas Al, aku berniat untuk membersihkan rumah. Tapi, niat itu tertunda saat suara ketukan pintu mengalihkan perhatianku. Cepat sekali Mas Al sudah kembali. Apa Mang Asep gak jualan?
Tapi, kenapa gak langsung masuk aja?
Aku bergeming saat pintu terbuka. Ngapain wanita ini ke sini pagi-pagi begini?
“Ngapain lo ke sini?” tanyaku tak suka.
“Apa begini caramu menyambut mama mertuamu, Adelina?”
Aku memutar malas bola mataku. Sejak aku tahu siapa dia, aku gak pernah menganggapnya sebagai mama mertua. Gak pantas wanita sepertinya menjadi mama mertuaku.
Belum saja aku menyuruhnya masuk, wanita itu menyerobot masuk ke dalam rumah. Matanya menatap sekeliling rumah seraya tersenyum remeh. Dasar wanita mata duitan!
“Dasar Al bodoh! Udah dikasih hidup enak, rumah mewah, malah milih tinggal di rumah kecil dan sempit seperti ini,” gumamnya.
“Kalau lo cuma mau meremehkan Mas Al, mending lo pulang. Gue gak nerima orang macam lo di sini!” usirku.
“Heh, boleh saja sekarang lo membela Al. Tapi, setelah melihat rekaman video ini gue gak yakin kalau lo masih tetap membela dia.”
“Maksud lo?” tanyaku tak mengerti.
Anaya mengeluarkan hapenya. Layar hape itu menunjukkan sebuah rekaman video. Di dalam video itu Mas Al tampak berbincang dengan beberapa orang. Aku merebut hape itu, mataku mengerjap tak percaya.
Ini ... bukankah ini orang-orang yang menggrebekku dan Mas Al waktu itu? Tapi, bagaimana mungkin?
Aku menutup mulut tak percaya. “Gak mungkin! Aku yakin itu bukan Mas Al, dia gak mungkin nglakuin itu!”
Anaya tertawa remeh. “Lo pikir lo itu siapa? Asal lo tau ya, Al itu cuma manfaatin lo buat balas dendam sama papanya. Dia cuma jadiin lo pion buat semua rencananya membalaskan dendam akan kematian Keyla.”
Aku menggeleng kuat. Gak mungkin! Mas Al gak mungkin setega itu. Wanita ular ini pasti berbohong.
“Lo harusnya bertanya sejak awal. Kenapa seorang Al mau menikahi gadis SMA cuma karena masalah kecil itu. Harusnya lo juga udah tau alasannya. Karena wajah lo yang mirip dengan Keyla.”
“Nggak! Gak mungkin! Mas Al gak mungkin kayak gitu!”
Apa yang lebih menyakitkan daripada menjadi pion untuk balas dendam seseorang? Yang lebih sakit adalah saat orang itu adalah orang yang paling kamu cintai. Aku gak pernah nyangka kalau kesalahan yang kupikir karena kebodohanku itu ternyata bagian dari rencananya.
Semua itu telah disusun rapi olehnya. Dia membuatku jatuh cinta, membuatku penasaran dan membuat kesalahpahaman itu terjadi. Membuat orang tuaku rela tak rela harus melepaskanku bersamanya demi nama baik keluarga.
Dadaku sangat sesak. Sungai kecil telah terbentuk di pipiku. Cinta tulus yang selama ini aku berikan untuknya ternyata dibalas seperti ini. Aku tak pernah masalah jika dia tak mencintaiku. Tapi, mengapa dia harus memanfaatkanku?
“Delina.” Panggilan itu membuatku menoleh.
Aku menatapnya. Tatapan penuh luka yang masih tak percaya dengan apa yang baru saja terungkap.
“Mas ...” gumamku dengan air mata yang semakin deras jatuh ke pipi.
“Aku gak pernah nyangka Mas bisa setega ini,” lirihku.
Mas Al mendekat. Meraih kedua tanganku yang gemetar. “Maafin saya,” lirihnya.
Sempat aku berharap jika ia akan bertanya aku kenapa. Lalu menjelaskan jika semua ini hanya akal bulus Anaya untuk menghancurkan pernikahan kami. Tapi, mendengar permintaan maafnya cukup untuk menjelaskan jika semua ini benar adanya.
Aku menepis tangannya kasar. “Aku pikir Mas Al udah berubah, aku pikir Mas benar-benar tulus menyayangiku. Tapi nyatanya apa? Aku gak lebih dari sekedar alat balas dendam!”
“Saya bisa jelasin ...”
“Apa yang mau dijelasin?! Semuanya udah jelas, rekaman ini udah nunjukin semuanya!” teriakku seraya melempar hape Anaya ke sofa.
Mas Al meraih tubuhku yang gemetar. Mendekapku erat. Aku berontak dan mendorong kuat tubuhnya hingga dekapannya terlepas. Aku menatapnya sekilas sebelum berlari meninggalkan rumah.
Air mata sialan ini terus terjatuh membasi pipi. Rasa sesak dan sakit terasa menusuk dadaku. Kenapa semuanya berakhir seperti ini. Aku mencintainya setulus hatiku tapi kenapa balasanya semenyakitkan ini?
“Kenapa lo jahat banget, Al! Gue sayang banget sama lo, tapi kenapa lo kayak gini ke gue?!” teriakku frustasi.
Aku berhenti berlari saat kurasakan kaki telanjangku terasa sakit. Dasar Adelina bodoh! Kenapa juga aku lari gak pakek sendal dulu?
Aku mengusap kasar air mata yang tak mau berhenti ini. Tuhan ... kenapa rasanya sesakit ini?
“Del.” Panggilan itu membuatku berbalik.
Mas Al mengejarku. Dia menatapku dengan rasa penyesalan di matanya. Ingin sekali aku masuk dalam dekapannya dan menangis di sana. Tapi, aku masih belum bisa menerima rasa sakit ini.
Dia mendekat dan semakin mendekat. Aku berbalik dan kembali berlari entah ke mana.
“Delina!” teriakan Mas Al menggema, tak berapa lama kurasakan tubuhku yang ditarik kuat hingga aku terpental di trotoar jalan. Sedetik kemudian suara tabrakan menggema dari arah tempatku tadi.
Aku menoleh dan mendapati tubuh Mas Al terhantam mobil yang melaju dengan kencang.
“Mas!” Gegas aku menghampiri tubuhnya yang telah tergeletak di tengah aspal.
Aku menangis semakin deras. Hatiku semakin hancur menatap Mas Al yang berlumuran darah. Kuangkat kepalanya dan meletakkannya di pangkuanku. Aku menangkup wajahnya yang samar-samar menatapku.
Tangannya yang berlumur darah, perlahan bergerak mengusap lembut bulir air mata di pipiku. Aku tak kuasa melihatnya begini.
Maafin aku, Mas .... Semua gara-gara aku.
“A-aku mencintaimu,” katanya pelan sambil tersenyum manis sebelum matanya tertutup sempurna.
“Mas! Mas Al bangun, Mas! Jangan pergi, kumohon ....”
“Mas!!” Aku meraung mendekapnya.
Tuhan ... jika aku boleh meminta satu permintaan. Tolong ... jangan ambil suamiku.
...🍉🍉...
Pernah merasakan ketakutan yang amat sangat? Apalagi yang lebih menakutan daripada kehilangan seseorang yang amat berharga dalam hidupmu? Gak ada kan?
Langkahku tak henti-hentinya bolak-balik di depan ruang bercat putih itu. Rasa takut terus saja menyelimutiku. Aku benar-benar takut kehilangannya. Aku takut kehilangan Mas Al.
“Dek, Apa yang terjadi?”
Bunda datang bersama ayah. Aku segera memeluk bunda dan menangis dalam pelukannya. Aku gak sanggup menanggung ini sendirian.
“Bun ...” lirihku.
Bunda membawaku untuk duduk di kursi tunggu. Mengusap pelan punggungku yang bergetar.
“Yang sabar Sayang. Nak Al pasti baik-baik saja,” ucap bunda menenangkanku.
Bagaimana aku bisa tenang sementara suamiku tengah berjuang dengan kematian di dalam sana. Rasanya aku ingin masuk ke dalam dan menemani Mas Al. Tapi itu gak mungkin, yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menunggu dengan penuh harap.
Pintu bercat putih terbuka disusul dengan keluarnya lelaki dewasa berpakaian serba putih. Cepat aku menghampirinya.
“Gimana keadaan suami saya, Dok?” tanyaku dengan binar penuh harap tercetak jelas di kedua bola mataku.
Dokter itu menghela napas panjang. “Ibu yang sabar ya, kami sudah berusaha sebaik mungkin. Tapi, Tuhan lebih sayang pada suami Ibu. Saya turut berduka cita.”
Kata-kata dokter itu seperti hujaman panah yang menghunus tepat di jantung hatiku. Meremuknya kuat hingga hancur berkeping-keping. Aku bergeming tak percaya, manikku menatap kosong ke dalam. Di sana para suster tengah menutup tubuh Mas Al dengan secarik kain.
Tubuhku lemas, kakiku bahkan tak sanggup menopangnya. Aku terjatuh bersama hatiku yang hancur berkeping-keping. Mas Al ... suamiku, benarkah ini nyata?
Perlahan aku melangkah menuju brangkar. Aku gak percaya jika yang terbaring di sini adalah suamiku. Ini pasti orang lain. Iya, Mas Al gak mungkin ninggalin aku secepat ini, kan? Dia pernah janji gak akan ninggalin aku, jadi ini pasti bukan Mas Alku.
Tangan gemetarku meraih kain itu. Pelan aku membukanya. Wajah dingin Mas Al dengan mata yang tertutup rapat.
“Mas Al ...! Gak mungkin ... nggak!!” Aku meraung seraya mengguncang tubuh Mas Al yang telah mendingin.
“Sabar, Dek. Ikhlaskan Nak, Al. Allah lebih sayang sama dia,” kata Bunda.
“Iya, Dek. Kamu harus kuat, biarkan Al pergi dengan tenang.” Ayah menimpali.
“Gak! Mas Al gak mungkin ninggalin aku, Bun. Mas Al udah janji gak bakal ninggalin aku! Mas, bangun! Tunjukin ke mereka kalau Mas gak bakal ninggalin aku!”
Semuanya nyata, Mas Al benar-benar pergi. Dia pergi meninggalkanku sendirian. Semua salahku, andai aku gak lari dari rumah. Andai aku mau mendengar penjelasannya, semua ini gak mungkin terjadi. Akulah penyebab Mas Al pergi.
"Mas ... jangan pergi. Kalau kamu pergi, siapa yang akan memelukku saat tidur. Siapa yang akan mendekapku saat aku rapuh. Siapa yang akan senantiasa memberikan bahunya untukku bersandar?"
"... Kita belum mewujudkan mimpimu untuk memiliki dua belas anak-anak yang lucu. Kumohon ... bangunlah, jangan pergi ...."
Jika kutahu peluk semalam adalah peluk terakhirmu, aku gak akan membiarkanmu melepaskannya. Aku akan menghentikan waktu agar bisa terus bersamamu. Setidaknya, sedetik lebih lama.