Seson 2 Dewa Petir Kehancuran......
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anonim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tinju Sembilan Petir
Langit malam diselimuti kabut tipis, dengan bulan yang menggantung malu-malu di balik awan. Angin berembus pelan, membawa aroma dedaunan basah dan ketenangan yang semu. Namun, di halaman belakang kediaman keluarga Yu, ketenangan itu terusik oleh dentuman samar dan kilatan cahaya.
Lei Nan berdiri di tengah halaman, napasnya teratur, namun matanya menyala seperti bara. Setiap kali tinjunya diayunkan, udara bergetar, dan kilat kecil berwarna merah keemasan menyambar dari kepalan tangannya, menari bersama percikan api yang seolah hidup.
“Tinju Petir Api...” gumamnya lirih. Ia memandangi kepalan tangannya yang masih mengeluarkan percikan kecil, menandakan sisa energi yang belum sepenuhnya reda.
Langkah kakinya mundur perlahan. Ia mengatur kembali posturnya. Kedua lutut sedikit ditekuk, tubuh condong ke depan, dan pandangan lurus ke target.
Gerakan kedua.
Tubuhnya melesat secepat anak panah, tinju kirinya menghantam ke depan. Petir keluar, lebih tajam, lebih bertenaga. Suara ‘ZZRRT!’ terdengar nyaring, menggema di halaman yang lengang. Daun-daun beterbangan, tersapu angin dari energi yang dilepaskannya.
Percikan api yang melingkari tinjunya tak lagi liar—kini membentuk spiral rapi, mengikuti arah ayunan, seolah menari di bawah kendalinya.
“Aku sudah menguasai gerakan pertama... dan sekarang gerakan kedua: Tinju Petir Angin,” gumamnya, matanya tajam menatap ke depan.
Satu pukulan lagi menghantam pohon latihan di sudut halaman. Ledakan kecil terdengar. Kulit kayu terkelupas, gosong, meninggalkan jejak dalam. Meski ia menahan sebagian besar kekuatannya, dampaknya tetap luar biasa.
Lei Nan menghela napas pelan. Matanya terpejam, mengingat kembali malam sebelumnya.
Saat itu, ada sesuatu yang bangkit dari dalam dirinya. Bukan sekadar tenaga, tapi kekuatan asing—liar, bertenaga, dan… menakutkan. Ia tak sepenuhnya sadar. Tubuhnya bergerak sendiri. Tinju-tinjunya melontarkan petir dan api, membakar sebagian hutan. Sensasi itu masih melekat kuat dalam ingatannya.
“Bagaimana mungkin? Dulu aku bahkan kesulitan menguasai satu gerakan saja... tapi setelah kekuatan itu bangkit... semuanya terasa jauh lebih mudah.” Ia menatap kedua tangannya. Energi petir dan api masih samar-samar terlihat, membentuk semburat cahaya keemasan.
Teknik yang ia latih bukan teknik sembarangan. Tinju Sembilan Petir. Sebuah teknik warisan kuno yang dibagi menjadi sembilan tingkatan. Empat gerakan pertama berlandaskan elemen: Api, Angin, Bumi, dan Air. Empat gerakan berikutnya adalah kombinasi dari keempat unsur itu.
Dan puncaknya…
Gerakan kesembilan: Tinju Petir Sembilan Langit.
Sebuah pukulan legendaris yang konon dapat memanggil sembilan bola meteor dari tinju sang pengguna. Hanya membayangkan kekuatannya saja cukup membuat para kultivator gemetar.
Tiba-tiba, suara lembut memecah keheningan malam.
“Tuan muda, apa kau sedang berlatih?” tanya seorang gadis dari kejauhan.
Lei Nan menoleh, sedikit tersenyum saat melihat sosok itu.
“Oh, nona, aku hanya mengulang jurusku. Tapi kau tak perlu memanggilku seperti itu. Cukup panggil aku… Lei Nan.”ucap Lei Nan tersenyum kecil.
Yu Lian terdiam sejenak, lalu wajahnya memerah. Ia menunduk sedikit dan berkata pelan, “Kalau begitu... kau juga boleh memanggilku Lian’er.”
Lei Nan tertegun, lalu tertawa kecil. Senyumnya tulus, namun samar ada rona merah di wajahnya juga.
Namun dari atas dahan pohon di kejauhan, sepasang mata tua memperhatikan mereka dalam diam. Sosok itu tidak lain adalah Yu Duan, ayah Yu Lian.
Ia berbaring santai di cabang pohon besar, namun pandangannya tajam dan tenang, seperti orang yang telah melihat banyak musim berlalu.
“Lihatlah putri kita, sayang... sepertinya ia akan segera meninggalkan pria tua ini.” bisiknya pelan, menatap langit yang dihiasi bintang. “Tapi jangan khawatir... aku akan menguji pria itu dengan ketat. Kau boleh tenang di sana.”
Kilau air mata tampak di sudut matanya yang telah renta, namun senyum di wajahnya tetap hangat.
******
Fajar menyingsing perlahan, menembus tirai embun yang masih bergelayut tipis di atas dedaunan. Cahaya keemasan menyelinap masuk melalui celah-celah daun, membentuk pola lembut di tanah halaman kediaman keluarga Yu. Aroma bubur hangat menyebar dari dalam rumah kayu sederhana namun bersih itu, bercampur dengan bau arang dan kayu bakar yang masih menyala redup di dapur belakang.
Di sebuah meja bundar dari kayu jati tua, tiga sosok duduk dalam diam. Suara sendok mengaduk perlahan bubur menjadi satu-satunya irama yang terdengar di antara mereka.
Lei Nan duduk di sisi kiri meja, mengenakan pakaian dalam berwarna abu-abu muda, rambutnya masih basah oleh embun, dan sedikit berantakan karena latihan malam sebelumnya. Wajahnya tenang, namun mata itu, mata yang penuh tekad dan hasrat, tak pernah kehilangan nyalanya.
Di seberangnya duduk Yu Lian. Gadis itu mengenakan jubah tipis berwarna biru pucat, rambutnya dikepang sederhana dan dihiasi pita kecil di ujungnya. Ia tampak lebih diam dari biasanya, dan sesekali mencuri pandang ke arah Lei Nan, lalu buru-buru menunduk kembali saat tatapan mereka bertemu.
Sementara itu, di kepala meja, duduklah Yu Duan. Pria tua itu terlihat jauh lebih serius dari malam sebelumnya. Garis wajahnya tegas namun penuh kebijaksanaan. Tangannya yang kasar menggenggam mangkuk bubur dengan hati-hati, seolah ingin menikmati setiap suapan terakhir sebelum sesuatu yang penting terjadi.
Setelah suapan terakhir, Yu Duan meletakkan mangkuknya perlahan, mengusap janggut tipisnya, lalu meraih sesuatu dari dalam kantong kain yang tergantung di sisi pinggangnya.
Dengan gerakan tenang, ia mengeluarkan sebuah gulungan berwarna kuning keemasan. Gulungan itu tampak tua, ujung-ujungnya sudah mulai rapuh, tapi masih jelas terlihat bahwa isinya sangat dijaga. Terdapat segel merah dengan lambang bunga seribu kelopak di tengahnya.
Lei Nan menoleh, sedikit mengangkat alis, lalu menatap gulungan itu dengan heran.
Yu Duan meletakkannya di atas meja, tepat di depan Lei Nan.
“Buka,” ucapnya pelan.
Lei Nan mengangguk pelan, lalu membuka gulungan itu hati-hati. Suara gesekan kain dan kertas terdengar pelan. Di dalamnya, tertulis sebuah surat dengan kaligrafi yang rapi namun penuh tekanan, menunjukkan seseorang dengan tenaga dalam luar biasa.
Surat itu hanya berisi beberapa baris:
Kepada Tuan Mo Han di Kota Seribu Bunga,
Mohon bantu didik anak ini. Ia membawa warisan, dan harapan.
—Yu Duan
Lei Nan membaca ulang dua kali, lalu menoleh pada Yu Duan, menunggu penjelasan.
Yu Duan menatap kedua anak muda itu dalam-dalam, lalu mulai berbicara.
“Lei Nan, ada seseorang yang harus kau temui. Namanya Mo Han. Dia adalah teman lamaku, katakan saja Yu Duan menagih hutangnya kepadamu, dia akan membantumu.”
“Dan Guru dimana aku bisa memui tuan Mo Han?”tanya Lei Nan.
"Kau bisa menemuinya di sebuah kedai teh disana, katakan saja aku memesan Tujuh Air Mata kepada pelayan di sana,"ucap Yu Duan.
"Guru apa maksudnya?"tanya Lei Nan kebingungan.
"Kau akan mengetahunya sendiri, dan Yu Lian temani Lei Nan, aku akan pergi dulu,"ucap Yu Dian meningalkan tempat duduknya.
"Baik Ayah,"ucap Yu Lian.
Setelah sosok Yu Duan menghilang hanya ada Lei Nan dan Yu Lian, karena cangung segera Lei Nan memulai pembicaraan,"Nona sebenarnya Kota apa yang kita tuju?"
"Ah...sebelum itu sepertinya dirimu tidak mengetahui wilayah disini baiklah aku jelaskan, di wilayah ini masuk di wilayah ras manusia dan di wilayah manusia ada dua kekaisaran yaitu kekaisaran Weng dan Li dan kota yang akan kita tuju berada di wilayah kekaisaran Li,"jelas Yu Lian panjang lebar
"Aku mengerti, baiklah sepertinya aku akan bersiap-siap dahulu,"ucap Lei Nan berdiri.