Rayna Sasa Revalia, gadis dengan karakter blak-blakan, humoris, ceria dan sangat aktif. Dia harus meninggalkan orang tua serta kehidupan sederhananya di kampung karena sebuah kesialan sendiri yang men-stransmigrasikan jiwa gadis itu ke dalam sebuah karakter novel.
Sedih? Tentu. Namun ... selaku pecinta cogan, bagaimana mungkin Rayna tidak menyukai kehidupan barunya? Masalahnya, yang dia masuki adalah novel Harem!
Tapi ... Kenapa jiwa Rayna harus merasuki tubuh Amira Rayna Medensen yang berkepribadian kebalikan dengannya?! Hal terpenting adalah ... Amira selalu di abaikan oleh keluarga sendiri hanya karena semua perhatian mereka selalu tertuju pada adik perempuannya. Karena keirian hati, Amira berakhir tragis di tangan semua pria pelindung Emira—adiknya.
Bagaimana Rayna menghadapi liku-liku kehidupan baru serta alur novel yang melenceng jauh?
~•~
- Author 'Rayna Transmigrasi' di wp dan di sini sama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Febbfbrynt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kekhawatiran
“Dari mana aja lo?”
Sesuai dengan kekhawatiran Rayna, saat ia sampai gerbang rumahnya dengan di antar Arsa, dan saat memasuki rumah ia di sambut wajah galak kedua kakaknya yang bersedekap dada. Lalu tidak lupa Alisa dan Emira yang terlihat cemas.
Tanpa sadar kaki Rayna gemetar. Ia menunduk layaknya anak kecil yang sudah membuat kesalahan.
Dengan kepala yang masih menunduk, ia menjawab dengan suara rendah. “Gu-gue.. abis belajar..”
Nada Alveno masih sama. “Belajar apa?”
Mata Rayna bergulir mencari alasan. Ia tidak siap memberitahukan yang sebenarnya. Jadi ia tergagap. “Bel-ajar.. gue belajar..”
Evando mulai tidak sabar. “Belajar apa, sih? Lo pasti boong.”
“Mungkin belajar kerja kelompok, Kak. Mungkin juga kakak ikut temennya dan lupa kabarin kita. Jadi pulangnya kesorean.” Emira menjawab tanpa keraguan membuat Rayna bernafas lega.
Ekspresi mereka langsung mereda.
“Lo beneran kerja kelompok?” Alveno memastikan kembali.
Rayna mengangguk cepat. “I-iya! Gue kerja kelompok di rumah Luna!”
Dalam hati Rayna meminta maaf kepada teman sekelasnya itu karena meminjam namanya.
“Lain kali kalo mau kemana-mana bilang dulu, jangan bikin khawatir,” cetus Evando lalu berbalik pergi.
Rayna cemberut. “Kan lupa. Dasar jamet.”
Langkah Evando berhenti. Lalu berbalik menatap tajam Rayna. “Lo bilang gue apa?”
Rayna menyengir gugup. “G-gue bilang, lo abang ganteng.”
Alveno menggeleng. “Bukan! Dia bilang ja—“
Rayna menutup mulutnya. San mengancam dengan suara pelan. “Diem, Zubaedah.”
Evando mengangguk arogan. “Gue emang ganteng.”Lalu melanjutkan langkahnya.
“Dih, narsis.” Rayna mengernyit jijik.
“Mmmpp!”
Rayna menoleh dan baru sadar bahwa tangannya masih menutup mulut Alveno. Ia langsung melepaskannya seraya menyengir tanpa bersalah. “Sorry gue lupa.”
Wajah Alveno memerah karena kesal. “Kenapa lo tutup mulut gue?! Mana tangan lo bau apek lagi! Untung gue gak pingsan.”
“Makannya! Tu mulut lo tambal, biar gak bocor!” tukas Rayna. Lalu mencium tangannya yang sempat ia pakai untuk mnutup mulut Alveno. Wajahnya langsung berkerut jijik. “Gue gak cium bau apek! Tapi bau yang lain. Pasti gara-gara lo!”
Alveno mengerutkan kening. “Bau apa?”
“Bau jigong.”
Alveno melotot. “Heh! Gue udah sikat gigi, yah! Apalagi Gue nyikat giginya lima kali sehari!”
“Alah! Tetep aja bau,” nyinyir Rayna dengan muka tengil.
Dengan wajah dongkol, Alveno menjulurkan tangan seakan akan meraihnya. Rayna langsung bergerak dan bersembunyi di punggung Emira dan Alisa.
“Sini lo! Gue jahit tu mulut!” Alveno mencoba meraih Rayna. Tapi Rayna terus menyusut di belakang kedua ibu dan anak itu membuat mereka pusing.
“Mulut lo tuh yang harus di tambal, biar bau jigongnya gak kemana-mana, haha..” Rayna dengan sengaja meledeknya.
Wajah Alveno semakin memerah. Apalagi ia tidak bisa menggapai Rayna yang bersembunyi.
“DIAM KALIAN!” teriak Alisa dengan wajah garang karena mulai jengkel dengan kedua anaknya.
Ketiganya langsung terkejut. Rayna dan Alveno mulai diam.
Emira yang sudah diam sedari tadi, mulai mundur perlahan karena tidak mau terlibat. Ia tahu, jika mamahnya itu sudah kesal, maka kegarangannya melebihi papahnya.
Alveno yang sama-sama sudah tahu, diam menunduk. Sedangkan Rayna menunduk karena takut dan terkejut baru pertama kali melihat Alisa yang selalu lembut begitu galak saat ini.
Melihat mereka diam, kekesalan Alisa mereda. Tapi wajahnya garangnya tidak berubah. “Gak diterusin?”
Keduanya langsung menggeleng bersamaan.
Alisa mengangguk puas. “Bagus. Sekarang kamu Alveno, balik ke kamar. Mamah mau ngomong sesuatu sama Rayna.”
Alveno menghela nafas lega dan mengangguk. Sebelum berjalan, ia menoleh ke arah Rayna dan menjulurkan lidahnya seakan meledek.
Rayna melototinya dan memberi kepalan tangan seakan Alveno harus bersiap untuk menerima tinju setelahnya.
Alveno mengabaikannya dan mulai pergi.
“Rayna.”
“A-h, iya mah?” jawab Rayna refleks.
“Kamu dari mana sampai-sampai pulang sore?” tanya Alisa. Wajahnya kembali semula namun nada suaranya datar.
Jelas, ia tidak percaya dengan ucapan Rayna. Apalagi, gerak-geriknya terlihat gelisah. Tapi bantuan dari Emira membuatnya lolos dari interogasi kedua kakaknya. Tapi tidak dengan Alisa.
Beberapa jam yang lalu, Alisa merasa cemas karena kedua putrinya belum pulang. Ia memang ingat bahwa supirnya tengah pulang kampung, tapi mereka tidak mengabari kakaknya untuk menjemput.
Alisa teringat bahwa Emira selalu menjalani kegiatan dan pulang sore. Jadi ia mengira Rayna menjalani kegiatan yang sama. Untuk memastikan, Alisa menghubungi Emira. Putri bungsunya itu sudah pasti karena mempunyai kegiatan, tapi tidak dengan Rayna. Gadis itu tidak menghubungi kakaknya. Setelah Alisa menghubungi duluan, di duga ponselnya mati.
Kecemasannya meningkat, jadi Alisa menyuruh Alveno untuk kembali ke sekolah mencari Rayna. Tapi Rayna tidak ada sampai Emira pulang saat sore dan mendapat kabar kakak perempuannya belum pulang.
Emira sama-sama khawatir. Dan Alisa bisa melihat rasa khawatir yang sama di mata kedua putranya walaupun wajah mereka datar. Karena baru kali ini, Rayna pulang telat.
Alisa takut, Rayna pergi karena sikap mereka kepadanya. Tapi ia merasa sikapnya membaik, kenapa Rayna harus pergi? Namun rasa bersalah kembali membuncahnya saat mengingat kembali pengabaiannya, Galih, dan kedua putranya kepada Rayna.
Jadi, Alisa merasa sangat lega ketika Rayna pulang. Melihatnya berbohong, itulah mengapa Alisa menjadi kesal. Jadi sekarang ia perlu menanyai yang sebenarnya.
Melihat Rayna diam dan menunduk, nada suara Alisa melembut,”Kamu kemana dulu waktu pulang sekolah? Kenapa pulangnya kesorean?”
Rayna mengerjap lucu. Lalu menghela nafas pasrah. “Rayna belajar motor, Mah.”
Wajah Alisa berubah. “Sama siapa?”
“Temen sebangku.”
“Kenapa kamu belajar motor?”
Rayna menjawab polos. “Karena Rayna minta motor dan sama papah di beliin. Jadi Rayna belajar biar bisa ngendarain motornya. Gak mungkin ‘kan motornya Cuma buat pajangan? Apalagi garasinya di tutup. Gak bisa pamer.”
Alisa menutup mata dan menghela nafas berat. Lalu membuka matanya kembali. “Mamah gak larang kamu belajar motor. Tapi mamah larang kamu ngendarainnya sebelum lancar.”
“Tadi setengah lancar. Jadi besok bakal belajar lagi buat ngelancarinnya. Jadi, bolehkan?” Rayna tersenyum cerah dengan puppy eyes nya.
Melihat putrinya begitu imut, membuat Alisa gemas dan bagaimana mungkin bisa menolak? Jadi ia mengangguk. “Boleh. Tapi janji yah? Harus lancar dulu.”
Rayna mengangguk semangat.
Alisa tiba-tiba memeluknya membuat Rayna kaget.
“Jangan buat mamah khawatir lagi. Mamah harap, kamu tetap seperti ini. Mamah janji, tidak akan mengabaikanmu lagi.”
Rayna langsung pulih dan membalas pelukannya. Ia mengangguk. Teringat sesuatu, Rayna memberikan pertanyaan yang membuat Alisa menegang.
“Emang apa yang membuat kalian gak peduliin Rayna?”
biar flashback
kok pindah NT?😅