Devandra pernah menjadi bagian dari kisah masa lalu Audrey. Pernah menjadi bahagia dan sedih hidupnya. Pernah menjadi luka yang sampai saat ini masih membekas.
Audrey sedang berusaha mengobati lukanya, menghilangkan sakitnya. Tapi disaat itu pula Devan hadir kembali.
Apakah Audrey akan menghilang kembali atau menghadapi lukanya agar ia tak lagi mengingat Devandra dihidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Renjana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
9
Egi memperhatikan taksi yang berhenti di depan rumah Audrey. Gadis itu baru pulang entah dari mana. Egi terkejut melihat mata Audrey yang membengkak. Setelah pintu rumahnya menutup, Egi masuk ke dalam rumahnya, kepikiran dengan Audrey.
Egi masuk ke kamarnya mengintip di jendela. Jendela kamar Audrey masih tertutup gorden. Egi menimbang-nimbang apakah tidak apa-apa jika memanggil gadis itu?
Egi memutuskan duduk kembali di teras rumah, menunggu entah mama Audrey lewat atau kakaknya pulang. Tak lama kakaknya pulang. Ia berjalan menaiki undakan depan rumah.
"Bang, sibuk nggak?" tanya Egi.
"Iya!" jawab Vian.
"Jujur amat bang! Eeh bang... Bang... kesayangan aku kenapa? Abang tau nggak?" tanya Egi yang ikut duduk di kursi teras rumah Audrey.
"Nggak tau! Kan baru pulang ini. Kenapa? Kamu gangguin adik aku lagi? Dia nangis gara-gara kamu?" tanya Vian dengan tatapan mengancam.
"Santai bang, aku belum apa-apain!"
"Jadi mau diapa-apain?" tanya Vian melototi Egi.
"Ya nggak lah, kesayangan aku. Tadi dia pulang nangis bang, matanya sembab. Aku mau temenin dia," ucap Egi.
"Jangan aneh-aneh! Lagian kenapa lagi dia nangis ya?" tanya Vian. Lalu kakak Audrey itu masuk diikuti oleh Egi.
"Kamu ngapain? Sana pulang! Nanti dikabari," ucap Vian. Egi mengangguk dan pulang meski hatinya belum puas.
Vian mengetuk pintu kamar adiknya.
"Ya kak?" tanya Audrey membuka pintu dengan wajah sembab.
"Tadi Egi lapor kamu pulang-pulang nangis, kenapa?" tanya Vian mengekor adiknya ke kamar.
"Nggak apa-apa kak, cuma ingat sekolah dulu. Rasanya campur aduk, entah kenapa aku jadi sedih," ucap Audrey.
"Itu kisah lama, pelan-pelan kamu lupain. Kamu sekarang bukan Audrey yang dulu. Kamu kuat, kamu cantik dan kamu punya segalanya," ucap Vian. Audrey mengangguk dan tersenyum.
"Makasih kak!" Audrey memeluk kakaknya. Vian mengusap rambut Audrey sebelum ia berpamitan kembali ke kamarnya.
"Oh ya... Kalau kamu masih sedih, kakak rasa Egi bisa mengembalikan kekuatan kamu," ucap Vian. Audrey hanya tertawa menanggapinya.
Suara lemparan terdengar di jendela kamarnya. Audrey membuka gorden jendela dan melihat Egi melambai-lambai mengajaknya keluar. Sepertinya Audrey butuh udara segar. Ia mengiyakan ajakan Egi. Toh ini sudah musim liburan tak ada salahnya ia menghirup udara segar.
Egi sudah berdiri di pagar rumah Audrey menunggu gadis itu keluar. Egi tersenyum lebar melihat Audrey keluar, meski matanya sedikit bengkak tapi dia sudah tersenyum.
"Ayo kencan!" ajak Egi. Audrey memukul bahunya gemas.
"Aku bakalan dicari-cari pacarmu yang segudang itu," ucap Audrey.
"Tenang, kamu aman. Aku bakal jagain kamu dari siapa aja," ucap Egi. Audrey hanya tertawa melihat tingkah Egi.
Keduanya berjalan menyusuri kompleks perumahan mereka menuju ke pusat perumahan. Di sana ada taman. Sambil berjalan keduanya asik mengobrol tentang apa saja yang terlintas. Membuat Audrey melupakan apa yang ada di kepalanya.
"Kamu tau nggak, kalau orang sedih itu bakalan hilang sedihnya kalo makan coklat," ucap Egi.
"Tau dan orangnya bakalan lebih sedih lagi kalo coklatnya nggak ada," ucap Audrey. Egi meraih sesuatu di saku celananya dan memberikan sebuah coklat batang ukuran besar.
"Kamu sengaja udah nyiapin semuanya kan? Kalau pacar-pacar kamu tau, habis aku dikeroyok massa," ucap Audrey.
"Ya nggaklah, kamu nomor satu di hati aku. Aku bakal lupain semuanya hanya demi kamu," ucap Egi.
"Buaya kalo keluar kandang agak ngeri yah," ucap Audrey.
"Aku buaya yang siap melepas gelar itu demi kamu," ucap Egi.
"Iya iya iya... Terserah! Ini kamu ngajak aku kemana sih?" tanya Audrey.
"Lah iya, kok kita muter-muter gang aja sih. Ayo duduk di sana!" Egi menarik Audrey ke kursi taman di bawah pohon yang diterangi lampu-lampu.
"Baru tau sekarang ada lampunya," ucap Audrey.
"Kamu sih aku ngajakin kencan nggak mau terus. Di sekitar kita banyak yang indah-indah loh. Apalagi kamu," ucapnya. Audrey mendengus.
"iyain aja deh, makasih udah nemenin aku malam ini," ucap Audrey.
"Sama-sama, by the way kamu kenapa tadi? Aku kesal liatnya. Pulang-pulang kamu nangis gitu. Coba cerita siapa yang jahati kamu," ucap Egi. Mendung di wajah Audrey kembali hadir.
"Kamu tau cowok yang aku ceritain? Devan? udah beberapa hari ini aku ketemu dia. Dan apesnya aku ketemu juga dengan pacarnya dulu," ucap Audrey. Egi tentu saja tau cerita tentang Devan tapi belum tau cerita lengkapnya. Audrey sengaja tidak menceritakan semuanya.
"Terus?" raut wajah Egi berubah kesal.
"Ya kamu tau dong, pacarnya pasti masih sakit hati denganku. Tadi kami sempat adu mulut dan Devan menarikku untuk pulang. Aku menolak dan pulang dengan taksi online,"
"Kalian ketemu? dimana?" tanya Egi. Audrey menceritakan semuanya hingga entah kenapa mengingat masa lalu membuatnya trauma dan sedih.
"Aku bodoh ya... Dulu awalnya ku pikir Devan itu cowok tulus, setia. Ternyata dia sudah punya pacar. Aku terlalu kuper saat itu. Sampai-sampai nggak tau gosip mereka pacaran. Dan bodohnya lagi, aku terlalu nyaman dengan Devan. Pas tau mereka pacaran, aku malah takut kehilangan Devan," ucap Audrey.
"Hal wajar kalau kita pernah melakukan kesalahan dalam hubungan. Kalau nggak gitu kita nggak akan tau rasa sayang, rasa memiliki, rasa bahagia. Dan kamu sekarang sudah berubah dan nggak akan jatuh di lubang yang sama, kan?" ucap Egi. Audrey tersenyum. Tapi benarkah ia tidak akan jatuh di lubang yang sama?
Saat ia melihat Devan, hatinya masih berdebar. Dia masih merindukan Devan. Sebenarnya di hati kecilnya masih tersimpan rasa sayang. Dia masih sebodoh itu.
"Aku ngerasa takut Gi," ucap Audrey.
"Kenapa?" tanya Egi.
"Aku takut jatuh cinta di orang yang salah, aku takut dia masih bersama pacarnya," ucap Audrey.
"Jadi kamu masih ada rasa dengan dia?" tanya Egi. Audrey menatap Egi kaget. Apa semudah itu perasaannya terbaca oleh Egi.
"Kalau memang ada ya itu hak kamu. Cuma aku tidak mau kamu sakit hati lagi," ucap Egi sambil melempar kerikil kecil di kakinya.
"Entahlah Gi, aku juga bingung dengan perasaanku sendiri,"
"Apa kamu nggak mau tau perasaanku?" tanya Egi sambil memegang kedua bahu Audrey. Audrey berkedip tak percaya dengan pendengarannya. Apa Egi serius atau bercanda seperti biasa.
"Hmmmpph... Perasaan kamu? Aku tau. Kamu mau menaklukan semua perempuan di muka bumi ini," ucap Audrey sambil menahan senyumnya.
"Apa kamu pikir aku selalu bercanda?" tanya Egi sambil melepaskan kedua tangannya. Ia kembali menunduk dan mengambil kerikil di kaki dan menyentilnya.
"Gi... Kamu marah?" tanya Audrey.
"Nggak tau ah!" Egi menepiskan tangan Audrey dari bahunya.
"Cepat makan coklatnya! Kita pulang!" ucap Egi.
"Tapi coklatnya lumer Gi! Ini lengket di bungkusnya," Audrey menunjukkan coklat yang dibukanya lengket. Egi lupa coklat itu di sakunya sejak tadi, dan sebelumnya juga ia lupa meletakkan di lemari es. Sudah ia bawa kesana kesini di ranselnya.
"Ya sudah! Kamu letak di lemari es. Besok baru di makan. Ayo!" Egi menarik tangan Audrey dan menggandengnya. Ia tak peduli saat Audrey menarik tangannya agar tak digenggam Egi. Tapi Egi sekuat tenaga tak mau melepaskannya. Audrey hanya bisa pasrah digandeng bahkan digenggam jarinya oleh Egi.