Kesempatan kembali ke masa lalu membuat Reina ingin mengubah masa depannya yang menyedihkan.
Banyak hal baru yang berubah, hingga membuatnya merasakan hal tak terduga.
Mampukah Reina lari dari kematiannya lagi atau takdir menyedihkan itu tetap akan terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Redwhite, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekongkol
Reina tetap tenang meski pandangan mata Meike sang ibu tiri sangat menusuk.
Tentu dia sudah mengamankan gaun itu hingga tak akan bisa dimusnahkan oleh Meike.
"Kau tuli? Mana gaun itu!" pekiknya lagi.
"Mih udah, biar nanti papih yang bilang sama Reina supaya ngga pakai gaun itu lagi," sela Hendro.
Meike menepis kasar tangan suaminya. "Pantas papih diam aja. Papih suka kan lihat anak sialan kamu ini mengejekku? Lalu gimana sama aku? Papih masih saja mengingat mendiang istri papih. Mamih sakit hati, mamih merasa ngga berguna."
Wanita itu lantas menangis, riasannya bahkan telah berantakan membuat wajahnya tambah terlihat menyeramkan.
"Mih," lirih Hendro frustrasi.
Reina hanya terdiam dengan tatapan tajam. Lihatlah bagaimana sikap sang ayah yang seperti anjing tunduk pada tuannya.
Saat dirinya di maki 'sialan' pun ayahnya hanya diam.
Hendro menyerah, dia lantas menatap putrinya. "Di mana gaun itu?" putusnya.
Reina tersenyum sinis lalu bangkit dari tempat tidurnya.
"Rei, berikan saja gaun itu—" sela Laksmana yang meski enggan tapi ia ingin kediamannya kembali tentram.
Sama seperti sang ayah, dia pun tengah di pusingkan dengan pekerjaannya.
Perusahaan ayahnya sedang mengalami krisis. Mereka berdua belum menemukan solusi dan kini justru disibukkan dengan harus menenangkan ibu tiri mereka.
Reina menyilangkan kedua tangannya dan menatap keluarganya jengah.
"Kalian ini lucu. Kalian menyiksaku dan menganggap aku menjadi penyebab kematian ibu. Kalian lupa jika aku juga anak ibu dan juga merasa kehilangan dia."
"Lalu saat wanita ini datang dan mulai membuang barang-barang ibu yang katanya sangat kalian sayangi kalian diam saja. Kalian benar-benar lucu!"
"Reina!"
"Tak perlu berteriak! Aku enggak tuli!" bentak Reina balik pada kakak pertamanya.
"Kau— kau yang mulai memusuhiku bahkan hanya berani menyimpan foto ibu di dompetmu, apa itu masuk akal?"
Tubuh Laksmana bergetar, antara marah dan takut.
Dalam hati dia mengutuk Reina. Foto ibu dalam dompetnya adalah salah satu kenangan terakhir yang ia miliki tentang ibu mereka.
Dan karena kebodohan Reina, ia pasti juga akan di minta memusnahkan foto itu oleh ibu tirinya.
Sial memang adiknya itu.
"Kenapa? Kau tak berani jujur? Kau takut dengan dia?" tunjuk Reina pada ibu tirinya.
"Pecundang!"
Meike menatap putra sambungnya dengan perasaan kecewa yang didramatisir. Kesal tentu saja, tapi lebih dari itu dia merasa di bohongi.
Wanita licik itu juga akan membalas sakit hati pada kedua putra sambungnya. Ia yakin Vano juga pasti menyimpan kenangan tentang mendiang ibu mereka.
Ketiga lelaki itu terdiam. Dalam hati sebenarnya mereka sadar dengan ucapan Reina dan membenarkannya.
"Kenapa? tak terima? Aku juga diam saja kamu panggil anak sialan, kau pikir siapa kamu hah!"
Saat Laksmana hendak merangsek untuk memukul Reina, tangannya dicekal oleh Vano.
Dia tak ingin sang kakak terkena masalah, sebab kini mereka tak bisa menganggap remeh adik bungsu mereka.
"Kenapa? Kamu takut?" sentak Laksmana kesal.
"Tak perlu ada kekerasan, atau kakak akan terkena masalah."
Untungnya Laksmana masih mau mendengarkannya. Lelaki itu mendengus dan berlalu dari sana membawa kemarahan pada diri sendiri.
"Tolong bawa istrimu keluar Yah, aku lelah," pinta Reina.
"Enggak, sebelum aku menemukan gaun itu, aku akan di sini dan mencarinya! Gaun sialan itu harus dimusnahkan!" maki Meike yang masih tak mau menyerah.
"Kamu ngga akan bisa memusnahkan gaun itu, sebab gaun itu sudah milik orang lain," jawab Reina santai.
"Apa maksud kamu?"
"Ya gaun itu aku jual, untuk biaya riasanku, jadi kamu ngga berhak memusnahkannya."
Vano terbelalak tak percaya, bahkan Reina yang tadi bercakap besar nyatanya juga melepas benda milik ibu mereka.
"Pih, tebus gaun itu. Aku ngga mau tahu, pokoknya papih harus musnahkan gaun itu," rengek Meike lagi.
"Di mana kamu jual gaun itu Rei?"
"Ayo aku antar!" menjawab pertanyaan sang ayah.
Dalam hati jantung Reina berdebar dengan kencang, dia dan Astrid telah bersekongkol tadi. Astrid segera menyerahkan gaun milik majikannya itu pada salon tempat Reina menghias diri.
Semoga saja, pemilik salon mau bekerja sama. Andai dia tergiur dengan uang yang Hendro tawarkan, maka hilanglah sudah salah satu peninggalan ibunya.
Mereka sampai di salon tempat Reina berhias tadi. Beruntung salon itu dalam keadaan sepi, jika tidak, Hendro pasti akan sangat malu dengan sikap barbar istrinya.
"Mana gaun itu!" benar saja, baru juga masuk bukannya Meike bertanya baik-baik, tapi wanita arogan itu langsung mengibarkan bendera perang pada pemilik salon.
"Hei ... Hei ... Apose ini, kenapa datang-datang udah ngajak ribut. Astaga naga, kamu habis terkena angin ribu nyonya? Penampilanmu sangat mengerikan," ucap si lelaki gemulai itu.
Reina hanya tersenyum tipis, sedang Vano yang mengikuti mereka karena harus membawa Reina dengan mobilnya, mati-matian menahan tawanya agar tak membuat ibu tirinya tersinggung.
"Diam! Serahkan gaun itu!"
"Hei, kamu datang ke tempatku dan berteriak semaumu, kamu pikir kamu siapa? Negara ini punya aturan. Kamu lahir di hutan rimba kah?"
Hendro segera melerai, karena tak ingin membuat masalah semakin rumit.
"Maaf, saya cuma mau menebus kembali gaun yang anak saya jual tadi. Maaf—"
"Anak?" sela lelaki gemulai dengan suara laki-lakinya.
"Jadi dia anakmu?" entah karena apa, tapi terlihat sekali jika lelaki yang terkesan gemulai dan lemah itu justru bisa mengeluarkan aura mengintimidasi.
"Iya, maaf, aku akan menebusnya berapa pun harganya?"
"Benarkah?" kini sikap dan suara lelaki itu kembali ke setelah semula. Reina hanya bisa mengepalkan tangannya menahan amarah.
Di dunia ini siapa yang tak tergiur dengan uang, ia yakin lelaki gemulai di hadapannya ini juga akan bersikap sama.
"Iya katakan saja—"
"Seratus juta," potong lelaki itu.
"Gila! Kamu mau memeras kami ya? Biaya riasan di salon rendahanmu ini paling juga hanya sekitar satu jutaan, jangan mengarang atau kami akan melaporkan pemerasan ini!" sela Meike kesal.
Tak terpengaruh, lelaki gemulai itu justru tertawa dan duduk di bangkunya dengan tenang.
"Kita sedang bernego, lagi pula adakah jaminan, jika gaun itu milik kalian? Enggak 'kan? Kalau tak sanggup, lebih baik kalian pergi, atau aku akan telepon keamanan untuk menyeret kalian keluar," ancamnya.
"Panggil, justru aku yang akan melaporkanmu," balas Meiki.
"Tuan, sepertinya Anda yang lebih berpendidikan dari pada wanita antah berantah ini. Anda jelas paham apa itu hukum bukan? Jadi tolong keluar selagi kesabaran saya masih ada."
"Pih—"
"Diam mih, atau mamih mau mendekam di penjara?"
"Papih takut sama lelaki jadi-jadian itu? Dia dari tadi juga hina mamih pih!"
"Mas eh mbak—"
"Panggil aku Miss Rose," sambar lelaki gemulai yang jelas menggunakan nama samaran.
"Baiklah, Miss Rose. Tolong, saya akan bayar gaun itu sepuluh juta. Bagaimana?" tawar Hendro.
Sejatinya ia senang karena jika di sana maka gaun milik mendiang istrinya itu akan terjaga. Namun ia sadar tak semudah itu menenangkan istri barunya, jadilah dia berusaha memberi tawaran meski dalam hati juga berdebar-debar.
Andai Miss Rose setuju, maka hilanglah sudah gaun milik mendiang istrinya yang memiliki kenangan terakhir mereka.
"Apa Anda enggak malu Tuan. Di pesta kelulusan anak Anda, Anda membiarkannya datang ke sini seperti seorang pengemis. Aku kasihan karena ku pikir gadis itu memang orang miskin, tapi setelah melihat Anda, aku yakin Anda pasti memperlakukan dia dengan buruk. Tak heran sih,lihat saja penampilan anakmu itu, tubuhnya kurus. Kulitnya pucat, seperti anak kurang gizi."
"Apa Anda menelantarkan anak Anda? Aku bahkan bisa ikut campur dan melaporkan tindakan kalian. Anda pasti tahu itu kan?"
.
.
.
Lanjut