Kisah ini menggambarkan perjalanan cinta Alan Hamdalah, seorang pria sederhana dari Cilacap, dengan Salma, gadis yang telah menjadi bagian penting dalam hidupnya sejak masa SMA. Hubungan mereka yang penuh kenangan manis harus diuji oleh jarak, waktu, dan perbedaan latar belakang keluarga.
Setelah bertahun-tahun berjuang demi masa depan, Alan kembali ke Cilacap dengan harapan melamar Salma di hari wisudanya. Namun, takdir berkata lain. Alan mendapati Salma menerima lamaran pria lain, pilihan keluarganya, di momen yang seharusnya menjadi hari bahagia mereka. Cerita ini menyelami perasaan kehilangan, pengorbanan, dan penerimaan. Meski hatinya hancur, Alan belajar merelakan cinta yang telah lama diperjuangkan. Dengan hati yang penuh luka, ia mendoakan kebahagiaan Salma, meskipun ia sendiri harus menghadapi kenyataan pahit. Sebuah narasi tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia, namun sarat makna kehidupan.
Setelah pertemuannya dengan Salma berakhir tragis, Alan mencoba untuk melanju
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ibnu Hanifan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhir Semester
Omongan ibu tentang Dinda dan Monika terus berputar di pikiranku selama beberapa hari terakhir. Meski mencoba mengabaikan, sulit rasanya tidak memikirkan kedua sosok itu yang selalu hadir di keseharianku. Namun, aku sadar ada hal yang lebih penting yang harus aku prioritaskan saat ini adalah ujian akhir semester.
Minggu ini adalah puncak perjuangan semester pertama. Aku harus fokus, mempersiapkan diri sebaik mungkin. Perasaan campur aduk antara gugup dan antusias memenuhi benakku. Rasanya baru kemarin aku masuk kelas pertama sebagai mahasiswa baru, dan kini aku sudah berada di ujung semester.
Pengalaman selama satu semester ini terasa begitu penuh warna. Aku belajar banyak hal, tidak hanya di ruang kuliah tetapi juga di luar kelas. Bergabung di organisasi IMM membuatku memahami pentingnya kerja sama dan tanggung jawab. Berjualan serabi di CFD melatihku untuk menghadapi tantangan dan mengelola waktu. Dan tentu saja, interaksi dengan Dinda dan Monika memberi pelajaran tentang hubungan antar manusia yang lebih kompleks dari yang aku bayangkan.
Hari-hari ujian berlalu dengan cepat. Setiap mata kuliah terasa seperti tantangan baru, tapi aku berusaha untuk memberikan yang terbaik. Di sela-sela belajar, aku masih menyempatkan diri untuk mengingat pesan ibu, namun aku memutuskan bahwa soal perasaan ini harus menunggu. Tidak bijak rasanya memutuskan sesuatu yang besar saat pikiranku terpecah-pecah.
Dan sekarang, setelah ujian selesai, hari ini adalah saat yang ditunggu-tunggu, pengumuman hasil IPK semester pertama telah keluar.
Dengan perasaan campur aduk, aku pergi ke lobi kampus, di mana komputer untuk mengecek IPK tersedia. Setelah memasukkan data, layar menampilkan hasilnya. Aku menarik napas dalam-dalam sebelum melihat angka itu. Alhamdulillah, ternyata nilainya cukup baik! Perasaan lega langsung mengalir, dan senyum merekah di wajahku.
Aku segera mencari Dinda untuk menunjukkan hasil ini padanya. Dia sedang duduk di taman kampus, sibuk membaca buku catatan. Begitu melihatku datang dengan wajah ceria, dia langsung bertanya, “Mas Alan, ada apa? Kok senyum-senyum gitu?”
“Lihat ini,” kataku sambil menunjukkan hasil IPK-ku yang sudah dicetak.
Dinda membaca angka di kertas itu, lalu tersenyum lebar. “Wah, bagus banget, Mas! Selamat ya. Kerja kerasmu terbayar.”
Sebagai rasa syukur, aku menawarkan untuk mentraktirnya makan. “Dinda, kamu hari ini mau makan apa? Aku traktir deh, anggap aja sebagai ucapan terima kasih karena selalu bantuin aku belajar.”
Dinda tertawa kecil. “Beneran? Kalau gitu, kita makan di warteg Mbak Nur aja. Seperti biasa.”
"Nggak bosen apa makan warteg mbak Nur terus" keluhku.
"Nggak lah, Apalagi masakan disana enak-enak, Terutama tempe mendoan Mbak Nur yang baru mateng" kata dengan penuh penghayatan.
"Ya udah yuk Kita ke sana, Mumpung masih jam segini belum terlalu rame".
"Berangkat......" kata Dinda dengan penuh semangat.
Kami pun berjalan keluar kampus, menuju warteg favorit kami. Namun, saat melewati lobi, mataku menangkap sosok Monika sedang berdiri bersama ayahnya. Monika sedang dimarahi, dan aku mendengar sepintas suara keras ayahnya. “Kamu itu harus serius kuliah, Monika! Masa IPK-mu cuma segini? Mau jadi apa nanti?”
Monika menunduk, wajahnya terlihat tegang dan penuh rasa bersalah. Aku tertegun, ingin menghampiri dan membantunya, tapi aku sadar posisiku. Ayah Monika masih mengira aku pacarnya, meskipun sebenarnya kami tidak memiliki hubungan apa-apa, Dan karena aku tidak mau menambah keruh situasinya. Jadi, aku lebih memilih untuk mengajak Dinda memutar arah memilih jalan lain, untuk menghindari mereka.
“Mas, kenapa kita muter? Kan jalur ini lebih dekat?” tanya Dinda dengan bingung.
“Nggak apa-apa, Din. Lagi pengen lewat jalur lain aja,” jawabku, mencoba menghindari topik.
"Tapi kan, Lebih dekat lewat situ" ucap Dinda dengan sedikit kesal.
"Mau ditarktir nggak" tanyaku.
"Mau lah, Lagian Mas juga udah janji" ucapnya sedikit marah.
"Ya udah ikut aja" kataku sambil mendorongnya berjalan.
Sesampainya di warteg, kami memesan makanan seperti biasa. Tapi pikiranku terus melayang pada Monika dan situasi yang baru saja kulihat. Wajahnya yang terlihat sedih terus terbayang di benakku. Piring makananku tetap utuh, belum kusentuh sedikit pun, padahal Dinda sudah hampir selesai makan.
Dinda menyadari hal itu. “Mas Alan, kok makanannya nggak dimakan? Lagi mikirin apa sih?” tanyanya sambil menatapku curiga.
Aku tersentak dari lamunan. “Eh, nggak, Din. Aku cuma kepikiran rencana liburan semester aja. Kira-kira ngisi liburan enaknya gimana ya?” jawabku sambil mencoba tersenyum.
Dinda memiringkan kepala, seolah tidak percaya. “Masa cuma gara-gara liburan semester sampai bikin makanannya dianggurin?, Masalah liburan mah gampang, Mending makan dulu, Sebelum makannya dingin.”
Aku mengangguk dan mencoba memulai makan. Tapi pikiran tentang Monika dan teguran keras ayahnya tetap tidak bisa kuabaikan. Meskipun kami tidak punya hubungan apa-apa, ada perasaan aneh yang membuatku ingin membantu. Namun, aku tahu itu bukan hakku. Aku hanya bisa berharap Monika akan baik-baik saja.
"Aduh kenyang banget, Makasih ya Mas udah ditraktir makan, sering-sering aja begini" ucapnya sambil tersenyum.
"Kamu yah Din, Kalo makan tempe mendoan pasti ga kira-kira masa abis 3" keluhku.
"Enak sih, Apa lagi dibayarin"
Aku hanya geleng-geleng kepala.
"Ya udah yuk pulang" ajakku.