Adara hidup dalam dendam di dalam keluarga tirinya. Ingatan masa lalu kelam terbayang di pikirannya ketika membayangkan ayahnya meninggalkan ibunya demi seorang wanita yang berprofesi sebagai model. Sayangnya kedua kakak laki-lakinya lebih memilih bersama ayah tiri dan ibu tirinya sedangkan dirinya mau tidak mau harus ikut karena ibunya mengalami gangguan kejiwaan. Melihat itu dia berniat membalaskan dendamnya dengan merebut suami kakak tirinya yang selalu dibanggakan oleh keluarga tirinya dan kedua kakak lelakinya yang lebih menyayangi kakak tirinya. Banyak sekali dendam yang dia simpan dan akan segera dia balas dengan menjalin hubungan dengan suami kakak tirinya. Tetapi di dalam perjalanan pembalasan dendamnya ternyata ada sosok misterius yang diam-diam mengamati dan ternyata berpihak kepadanya. Bagaimanakah perjalanan pembalasan dendamnya dan akhir dari hubungannya dengan suami kakak tirinya dan sosok misterius itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lestari sipayung, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KARINA TERSULUT EMOSI
Hari libur kembali datang, seperti biasa, weekend menjadi momen yang dinanti-nanti. Sama seperti di kota besar tempat Adara tinggal, hari itu adalah kesempatan untuk melepas penat dari rutinitas sehari-hari yang padat. Adara, si wanita yang selalu bangun terlalu dini, meluangkan waktu beberapa jam di pagi hari untuk berolahraga, meski masalah hidupnya kerap membuatnya berpikir bahwa hidup ini kadang terasa kosong dan tidak ada artinya. Namun, meskipun perasaan itu mengganggu, Adara tetap menjalani apa yang perlu dilakukan. Karena baginya, selama dia masih hidup, ada tanggung jawab untuk menjalani setiap harinya.
Pukul lima pagi, Adara sudah siap dengan pakaian olahraganya, mengenakan sepatu lari kesukaannya. Tanpa banyak pikir, dia melangkah keluar dari mansionnya yang megah, merasakan udara pagi yang segar. Hari itu, dia merasa perlu untuk berlari di taman mansion yang luas. Adara memutuskan untuk memulai rutinitasnya dengan berlari sebanyak lima putaran. Langkahnya mantap, meskipun perlahan rasa lelah mulai datang menghampiri. Taman yang luas itu seakan menjadi dunia miliknya sendiri, tempat dia bisa merenung dan melupakan sejenak segala beban yang ada.
Namun, entah berapa lama Adara sudah berlari, dia mulai merasakan kelelahan yang cukup signifikan. "Hufff," nafasnya terdengar berat dan panjang, tanda bahwa tubuhnya sudah mulai lelah. Tapi, dia tidak berhenti. Kelelahan itu hanya sebuah rasa yang bisa diatasi. Ada kepuasan tersendiri ketika dia bisa melampaui batas tubuhnya, meskipun ada perasaan hampa yang kerap menggelayuti.
Langit masih gelap, namun sudah mulai ada tanda-tanda matahari akan terbit. Warna langit yang perlahan berubah, menandakan pagi akan segera datang. Adara berhenti sejenak, menatap horizon yang perlahan berubah jingga. Senyum kecil menghiasi wajahnya. Dia menyukai momen ini, ketika matahari mulai terbit, memancarkan cahaya lembut yang membuat dunia terasa lebih hangat. Sunrise selalu memberi kedamaian dalam dirinya yang terkadang merasa cemas dan lelah dengan kehidupan.
Di tengah kesibukannya dengan dirinya sendiri, suara dehem yang tak terduga membuatnya menoleh. Jingga menatap sedikit ke belakang, matanya mencari tahu siapa yang mengeluarkan suara itu. Mungkin seseorang yang juga memanfaatkan pagi untuk berolahraga atau hanya sekadar berjalan santai di taman luas itu.
Adara hanya diam saat melihat ibu tirinya, Karina, berdiri di belakangnya dengan tangan terlipat. Baju tidur elegannya masih melekat di tubuh rampingnya, rambutnya sedikit berantakan. Entah sejak kapan Karina berada di situ, dan jarang sekali pagi-pagi seperti ini ada di sana bersamanya. Adara hanya menoleh sebentar, lalu kembali sibuk dengan dirinya sendiri.
"Ada apa, nyonya Karina?" tanya Adara tanpa ragu, suara santai dan terucap begitu lancar, tanpa menoleh ke belakang.
Karina mengerutkan keningnya, heran dengan sikap Adara yang selalu acuh tak acuh. Wanita seperti apa Adara ini, pikirnya dalam hati.
"Saya ingin berbicara denganmu!" Karina mulai bersuara. Suaranya tegas, namun ada keraguan yang terasa dalam nada bicaranya. Adara bisa merasakannya dengan jelas.
"Bicara saja, nyonya. Tidak ada yang melarangmu!" sahut Adara dengan santai, seakan tidak ada yang memberatkan meski dia tahu kejadian ini jarang sekali terjadi. Karina tidak pernah mengajaknya berbicara berdua seperti ini.
Karina terdiam, memperhatikan Adara yang sulit dibaca. Dia menelan ludah kasar, mencoba menenangkan diri, dan menarik nafas panjang. Dengan suara penuh kekesalan, ia berkata, "Saya to the point saja, apa maksudmu melakukan ini semua kepada putriku?" Kata-katanya terdengar tajam, penuh emosi.
Adara tersenyum tipis, seolah tak terpengaruh. Dia menunduk sejenak untuk merapikan sepatu, menarik kaos kakinya, dan mengatur napasnya seolah tidak ada yang terjadi. Lalu, dengan tubuh tegap, tangannya menumpu di kursi, dan dia sedikit berbalik untuk melihat Karina dengan tatapan santai.
"Maksudku? Apa yang kulakukan pada putrimu?" tanya Adara dengan nada ringan, seperti tak ada yang mengganggu pikirannya.
Karina meremas tangannya, menahan emosi yang sudah hampir meledak. Kesabarannya semakin terkikis. "Saya serius, Adara!" suara Karina terdengar lebih tegas, mengingatkan bahwa dia tak ingin membuang waktu untuk jawaban yang tidak memuaskan.
"Apa raut wajah saya terlihat bercanda?" jawab Adara dengan nada enteng, seperti segala sesuatunya begitu sederhana.
“Hahahahah.” Tiba-tiba Adara tertawa, tawa yang sulit dipahami. Karina menggelengkan kepala kecil, seperti berpikir bahwa Adara memang wanita yang aneh, entah apa yang ada dalam pikirannya. Dia bahkan tidak tahu harus bagaimana menghadapi tawa yang begitu tidak terduga itu.
"Baiklah, baiklah," ujar Adara, mencoba menenangkan diri, suara itu keluar pelan di sela-sela tawa Adara yang mulai mereda.
"Kalau dipikir-pikir, tidak ada yang salah dengan apa yang aku lakukan. Apa aku menyakiti putrimu yang manis itu?" tanya Adara dengan nada santai. Matanya yang polos menatap Karina, seolah tidak menyadari apa yang telah terjadi, seakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Karina menahan napas, kepalanya mulai terasa pening. Melihat wajah Adara yang begitu polos, seakan tidak tahu apa yang telah dia lakukan, membuatnya semakin kesal. Karina mengepalkan tangannya.
"Kau menghancurkan rumah tangga Clarissa! Kau menggoda suaminya! Apa kau tidak malu!" nada bicara Karina semakin tinggi, seolah-olah ingin meledak. Amarahnya meluap, dan itu terdengar jelas dalam setiap kata yang diucapkannya.
Adara mendengarkan semua itu dengan wajah polos, tanpa ekspresi. Dia hanya menunggu dengan sabar, tampaknya tidak terganggu dengan kemarahan yang dilontarkan Karina. Karina melanjutkan, "Karena kedekatanmu dengan Leon, Clarissa merasa sakit hati. Mereka jadi sering bertengkar, dan alasannya selalu ada namamu! Sebenarnya apa maksudmu, Adara? Kau ingin merebut Leon dari Clarissa?" Suara Karina semakin meluap, penuh kemarahan yang tak tertahankan. Mungkin suaranya terdengar sampai ke dalam rumah, siapa tahu?
Adara masih diam, tanpa berekspresi. Dia membuang muka sejenak, kemudian kembali menatap Karina dengan tenang. "Aku merasa tidak ada yang salah dengan apa yang kulakukan, nyonya Karina. Aku hanya berlaku sebagai ipar yang baik. Aku tidak tahu kalau kedekatanku dengan menantumu membuat putrimu tersakiti. Aku pikir dia hanya melebih-lebihkan saja," jawab Adara, sambil memainkan tangannya tanpa sedikit pun rasa bersalah.
Karina menatap Adara dengan tatapan penuh kebencian. "Kau benar-benar tidak tahu malu!" tekan Karina dengan suara yang semakin keras, tak mampu lagi menahan emosinya. Rasanya percuma berbicara dengan Adara, wanita yang entah bagaimana watak aslinya. Tanpa berkata lebih lanjut, Karina memilih untuk pergi, meninggalkan Adara yang masih menatapnya dengan santai. Adara tampaknya tidak merasa terbebani sedikit pun. Karina hanya bisa berharap, tidak akan ada yang lebih buruk terjadi. Dia tak akan tinggal diam melihat putrinya yang terluka.