NovelToon NovelToon
Rumah Rasa

Rumah Rasa

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen Angst / Teen School/College / Keluarga / Persahabatan / Bullying dan Balas Dendam
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: pecintamieinstant

Rumah Rasa adalah bangunan berbentuk rumah dengan goncangan yang bisa dirasakan dan tidak semua rumah dapat memilikinya.

Melibatkan perasaan yang dikeluarkan mengakibatkan rumah itu bergetar hebat.

Mereka berdua adalah penghuni yang tersisa.

Ini adalah kutukan.

Kisah ini menceritakan sepasang saudari perempuan dan rumah lama yang ditinggalkan oleh kedua orang tua mereka.

Nenek pernah bercerita tentang rumah itu. Rumah yang bisa berguncang apabila para pengguna rumah berdebat di dalam ruangan.

Awalnya, Gita tidak percaya dengan cerita Neneknya seiring dia tumbuh. Namun, ia menyadari satu hal ketika dia terlibat dalam perdebatan dengan kakaknya, Nita.

Mereka harus mencari cara agar rumah lama itu dapat pulih kembali. Nasib baik atau buruk ada di tangan mereka.

Bagaimana cara mereka mempertahankan rumah lama itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon pecintamieinstant, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 19

Ruang makan menjadi pertemuan dan pertengkaran untuk sepasang saudari yang merencanakan kegiatan besok di hari libur.

"Lalu jika Gita diam di rumah, Kakak mau kemana? Main bertemu teman? Meninggalkan Adiknya yang frustasi di rumah?" Wajah Gita memerah. Tidak adil bila itu akan terjadi.

Nita berjalan menekuk lutut, mencari wajan kecil.  

Dalam kesibukan itu sekali lagi Kakak memberikan peringatan. "Teman Kakak ada yang menikah, besok ini. Kakak tidak bisa tidak ikut karena undangan pernikahan itu memang wajib datang. Itu juga teman sekolah dekat Kakak, bukan sembarang orang asing."

"Kakak kan bisa datang bersama Gita. Kalau ada apa-apa, siapa yang repot?"

Nita berdiri, memotong pertanyaan Adiknya yang ingin mengikuti aktivitas yang akan dilakukan Kakaknya. "Cukup di rumah saja kamu. Jaga rumah ini." 

Gita memandang dengan ekspresi muram. Perintah tidak bisa dibantah lagi tentang urusan menjaga rumah. Memang sudah benar apa yang diucapkan Kakaknya karena mereka tinggal berdua dan bukan tinggal di area komplek perumahan yang selalu dijaga ketat oleh satpam selama satu kali dua puluh empat jam. 

Karena telah mengerti peraturan itu, Gita kembali menuju tangga yang akan dipakai untuk sampai pada kamarnya. Kesal bercampur keinginan untuk mengikuti Kakaknya memang harus dipendam dalam-dalam.

Dilampiaskan melompat menuju kasur berselimut, Gita tidak lagi semangat mengerjakan tugas sekolah yang sekarang dibiarkan dibuka lebar. Menunggu pemilik buku agar menulis lagi sudah tidak bisa. 

Kaleng susu pun tidak jadi diminum. Diletakkan samping tubuhnya dengan sengaja. 

Memukul busa-busa kasur membuatnya mengeluarkan kekesalan yang setara dengan memukul teman-temannya yang salah. Sebelum tidur harus mematikan lampu, meringkuk menyamping dan menutupi menggunakan selimutnya.

Mengapa ini tidak adil? Mengapa Gita harus selalu menjaga rumah setiap hari? 

Begitulah yang setiap hari dipikirkan sebelum ia menutup matanya dan sebelum berganti hari.

...***...

Cahaya dapat masuk melalui bagian tembok agak ke atas dari kedua jendela yang menempel lama.

Lantai-lantai kotak seperti dibuat motif putih-putih karena ulahnya sekaligus menjadi tanda jam rehat liburannya telah dimulai. Siapa yang tidak mau merasakan hari libur yang diadakan dua hari itu? Pastinya anak sekolah sangat bersemangat karena dua hari benar-benar dibutuhkan untuk melepaskan diri dari pelajaran yang memuakkan, membuat sakit kepalanya.

Dalam dua hari ini, Gita akan melakukan kegiatan malas-malasnya seperti pagi ini. Tidur, tidak akan ada yang meneriaki untuk mandi, sarapan lalu berangkat menuju sekolah. Hanya dua hari ini adalah hari paling bahagia dalam hidupnya.

Tetapi jangan seperti Gita juga yang malas mendengarkan ceramah Kakaknya seperti pagi ini karena ketukan pintu keras harus didengarkan. Pintu dibuka melebar mengenai tembok hingga memunculkan keretakan kecil.

Anak berbaju rumah tersentak membuka mata, bangun hingga ia dapat duduk sendiri. Belum selesai menyadarkan dirinya seratus persen sudah harus dikejutkan suara keras itu.

"Kakak akan pulang sore. Kamu jaga rumah, pel semua bagian ruangan sampai sudut-sudutnya, buang sampah dapur, masak untukmu sendiri dan jangan beli di luar." 

Memahami maksud Kakaknya mengakibatkan Gita menutup lagi kelopak mata. Menunduk lalu jatuh menimpa kasur empuk. Telah nyaman karena kenikmatan dunia.

"Dek, jangan lanjut tidur. Ayo bangun!"

Karena ketegasan mulut anak pertama yang ditekankan, Gita menahan bagaimana kantuk dan menguap itu seharusnya dikeluarkan bebas, tetapi tidak bisa.

"Bisakah sekali saja kamu dengar apa yang Kakak ucapkan?" Nita yang berdiri menyentuh pintu, menonton Adiknya di atas kasur yang mengangguk-angguk menahan beratnya mata yang sebentar lagi akan ditutup. "Dek? Kakak minta tolong padamu, ya?"

"Ha? Oke-oke." Gita mengangkat kepala, digerakkan menuju Kakaknya yang menunggu.

Kakak menghilang setelah menyetujui dengan pintu tidak ditutup merapat. Anak bungsu ini tidak pernah bisa berhenti atau menghindar bagaimanapun usaha keras yang dilakukan. Kalau saja Gita memiliki kekuatan teleportasi akan bagus digunakan untuk mencari ketenangan. Tidak perlu lelah menaiki angkot, berdesak-desakan, menahan sabar dari ocehan penumpang pagi maupun sore.

Tanggung jawab tetap tanggung jawab. Tidak bisa dihilangkan. Harus dikerjakan, laksanakan.

Anak bungsu memang menjadi titik target ketika saudara sedarah tidak ingin melakukan atas suruhan orang tua. Melempar tugas kepada adiknya adalah keharusan. Terlalu sering disuruh, menjadi bahan bully dari Kakak, tidak boleh keluar kecuali kau diberikan izin resmi di keluargamu, selalu membantu dengan terpaksa. Gita mengalami semua itu.

Bergerak beraktivitas melewati kasur kamarnya seperti melawan arus deras sungai dalam. Berat, malas, tetapi harus dilakukan. 

Siapa lagi jika bukan anak terakhir di keluarga yang tersisa harus menjalani runtutan suruhan pekerjaan rumah. Siapa lagi? 

...***...

Hal pertama adalah mengisi perut.

Persediaan kulkas cukup memadai dalam mencari ide menu sarapan sehat selain mie dan telur setelah kegiatan pengecekan dilakukan. Tumis tempe merupakan menu mudah pertama karena sewaktu kecil ia pernah membantu Ibu memasak bersama.

Rasa rindu tidak bisa dibantah. Nostalgia tidak mudah hilang pada ingatan. Rasa khas buatan Ibu terlalu menonjol dan istimewa, menjadi kenangan lama yang disimpan. Paling juara dan istimewa di peringkat pertama adalah masakan rumah Ibu.

Mengingat penampilan tentu saja Gita mencoba membuat kembali. Rasa manis, asin, gurih diulik lagi, mencari bahan-bahan yang dibutuhkan. 

Dapur mendadak ramai, alat memasak bertemu padu menciptakan bunyi bising. 

Api dinyalakan, menggoreng tempe agar matang pertama. Berikutnya menumis perbawang-bawangan, tempe goreng, penyedap dan penambah rasa manis. Kecap cap burung. Disajikan panas beserta nasi berasap menambah kehangatan ruang meja makan. Seperti nostalgia yang diulang. 

Dari generasi menuju generasi seperti Gita, rasa lama yang diciptakan turun-temurun tidak bisa ditandingi oleh rumah makan manapun. 

Sampai lauk hidangan panas pun habis, Gita menyeka air mata. Dia menangis mengingat masakan yang berhasil itu. Barang-barang di dekatnya menjadi saksi bisu akan perjuangan menghasilkan menu masakan sederhana penuh kenangan. Jarang sekali bagi Gita sebagai murid keras kepala, sering mendapatkan nilai rendah, melawan teman bahkan siswa asing untuk membela temannya akhirnya menangis. Jika ditanya perasaan yang dikaitkan keluarganya, maka ia akan menangis.

Seperti ketika awan abu-abu menerpa lapangan berhijau rumput. Menemani kesedihan bersama-sama, menahan air hujan yang sebentar lagi jatuh. 

Sederhana tempat itu. Tidak seluas lapangan bola di stadion pertandingan sepak bola. Tempatnya tepat tengah-tengah rumah-rumah warga. Sebagian dipenuhi penuh, sisanya untuk mereka yang beruntung. Semua orang hadir mengerubungi ketiga manusia yang terbalut kain putih. Menggiring memasuki lalu menutup. Mendoakan lama, berakhir meninggalkan kecuali dua saudari berdiri diam. 

Satu payung hitam polos ditunjukkan menuju atas, menutupi basahnya diri mereka. Nita yang tertinggi memegang tangan Gita, adiknya. Menghadap bersama kepada satu obyek di mata mereka. Tumpukan tanah dengan bunga disamping melingkar, mengharumkan ketiga tempat bersama-sama. 

Hanya Gita yang menangis. Peluh dikeluarkan hingga pipi terlalu basah untuk menahannya.

Nita diam. Matanya sudah berat hanya untuk menahan tangisan. Tidak tahu setelah ini apa yang harus dilakukan selanjutnya setelah ketiadaan mereka bertiga. Masuk ke lubang tanah berlumpur.

Kepergian manusia paling dicintai dalam hidup sepasang saudari itu adalah pelajaran tersulit. Mereka harus menerima. Melewati. Menangis. Melanjutkan hidup. Meneruskan perjuangan mereka. Mengulangi kehidupan di atas tanah yang harus dipijak setiap hari.

Dalam kehidupan akan selalu ada kepergian. Tentang bagaimana saja cara untuk menghadapi. Kau bisa menangis atau memendam saja. Atau kau lampiaskan kepada seseorang.

Semua itu merupakan pilihan.

1
S. M yanie
semangat kak...
pecintamieinstant: Siap, Kak 🥰👍😎
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!