Dara

Bugh

Bugh

Bugh

"AARRGGKK!"

"Ck, sudah tua bangka masih ingin bermain dengan daun muda!" umpatnya, "Urus dia. Jangan sampai aku melihatnya lagi"

"Baik bos!"

"Lepaskan aku!! Lepaskan!!", anak buah pria yang menolong Dara langsung meringkus pria kurang ajar tersebut

"Ra, kamu baik - baik saja?"

Bukannya menjawab, Dara justru mengalungkan tangannya ke leher pria tersebut, "Panas"

"Sial! Siapa yang memberikan obat pada Dara? Apa mungkin ...?"

Tak mau membuang waktu, pria itu segera membawa Dara masuk kedalam mobil, "Bawa mobilku ke apartemen"

"Baik Bos"

Pria disamping Dara tampak tak tenang, bagaimana bisa tenang, Dara terus bergerak gelisah.

"Ra, tahan sebentar ya"

Dara menatap pria itu sayu, "Rey, panas"

Pria itu terdiam. Benar, dia adalah Renaldy Aditya. Teman SMP Dara dulu. Rey tersenyum karena Dara mengingatnya walau dalam keadaan yang tidak mengenakkan.

"Panas" keluh Dara lagi

"Tunggulah sebentar, aku akan mengantarmu pulang"

Dara menggeleng, "Bawa aku ke apartemen saja. Aku tidak mau membuat orang tuaku khawatir melihatku seperti ini" ucap Dara dengan nada bicara yang terdengar serak di telinga Rey

Rey bergegas membawa Dara ke apartemen. Pria tampan itu mengendarai mobil dengan kecepatan tinggi. Entah memang karena suka balapan atau karena keadaan yang sedang darurat, akhirnya mereka sampai di apartemen Dara hanya dalam waktu dua puluh menit.

"Aku akan menggendongmu, Ra. Kondisimu tidak memungkinkan untuk berjalan sendiri"

Tanpa menunggu jawaban Dara, Rey segera menggendong gadis itu. Dara menyandarkan kepalanya di bahu Rey. Hembusan nafas Dara membuat Rey merinding, sebagai pria normal posisi mereka sekarang cukup dekat dan membahayakan bagi Rey.

"Ambil kuncinya"

Dara merogoh tas miliknya, setelah mendapat kartu apartemennya, ia menyerahkannya pada Rey

Klik

Apartemen terbuka, Rey segera membawa Dara ke kamar. Sampai di kamar, Rey membawa Dara ke kamar mandi, "Kamu harus berendam air dingin agar efek obatnya hilang, Ra"

Dara mengangguk, Rey mengisi penuh air dalam bak mandi, "Aku akan menunggumu diluar"

Dara kembali mengangguk, ia menutup pintu kamar mandi, sementara Rey memilih menunggu di ruang tamu.

Hampir setengah jam berlalu, tapi Dara belum juga keluar. Jelas Rey merasa khawatir. Ia masuk kembali ke dalam kamar untuk memastikan keadaan Dara.

"Ra, kamu baik - baik saja?" Rey mengetuk pintu kamar mandi

Tak ada jawaban. Karena khawatir, Rey nekat membuka pintu kamar mandi tersebut. Terlihat Dara hanya mengenakan bathrobe. Gadis itu berdiri didepan wastafel dengan tangan mencengkram pinggiran wastafel begitu erat.

"Ra, kamu tidak apa - apa?"

Wajah Dara tampak memerah menahan sesuatu, "Ini tidak berhasil"

Deg

Jantung Rey berdetak kencang, nafasnya memburu. Tangannya mengepal. Ini salahnya. Ia sudah memperhatikan dan mengawasi Dara beberapa minggu ini. Tapi kenapa ia masih kecolongan hal seperti ini. Rey mengumpati dirinya sendiri. Pria tampan itu mengerang frustasi. Apa yang harus ia lakukan sekarang? Ia bisa saja menolong Dara, tapi bagaimana setelah ini?

Dara terlihat tak baik - baik saja. Rey menghela nafas kasar, ia tak punya pilihan lain. Satu - satunya cara agar efek obat itu hilang adalah dengan making love. Tapi Rey tak sebejat ini mengambil kesempatan dalam kesempitan.

"Pasti ada cara lain" pria itu mengeluarkan ponselnya, namun tiba - tiba Dara memeluknya. Rey memejamkan mata, sungguh ia dilema. Rey memberanikan diri menatap Dara, sorot mata gadis itu terlihat begitu sayu.

Cup

Hanya satu kecupan singkat, namun mampu membuat Rey menahan nafas. Bagaimanapun, dia pria normal. Mendapat serangan mendadak jelas ia terpancing.

"Rey ..."

Oke fiks. Rey tergoda. Imannya kalah

"Aku tidak punya pilihan lain. Selain untuk menyelamatkanmu, mungkin ini jalan agar kita bisa bersatu"

Rey mencium bibir Dara lembut. Begitu dalam dan pelan. Siapa sangka, Dara membalas ciumannya. Sebagai pria yang memang mencintai Dara sejak lama, Rey tersenyum. Walau ini salah, tapi terlambat untuk mundur. Imannya yang setipis tisu kalah akan nafsu yang menguasai diri. Apalagi dengan kondisi Dara yang sedang dalam pengaruh obat. Gadis itu tampak agresif. Katakanlah Rey bajingan, memanfaatkan situasi dan kondisi. Mungkin setelah ini Dara akan membencinya, namun tekadnya sudah bulat. Apapun yang terjadi, dia akan menikahi Dara. Bahkan jika harus mati di tangan Papa Axel, dia akan terima.

Rey dan Dara saling menatap. Sorot mata keduanya terlihat berkabut.

"Aku mencintaimu, Ra. Dulu hingga sekarang"

Cup

Ciuman keduanya semakin dalam, baik Dara maupun Rey, keduanya sama - sama di mabuk suasana. Rey menggendong Dara menuju ranjang. Ia rebahkan tubuh Dara dengan lembut.

"Aku tahu ini salah, tapi mungkin beginilah semesta menyatukan kita"

Dara mengalungkan tangannya di leher Rey. Dirinya setengah sadar, namun entah kenapa ia tak bisa menahan diri. Hatinya menolak apa yang dia lakukan, tapi tubuhnya mengatakan sebaliknya. Dara bahkan mencium Rey lebih dulu.

"Astaga, apa yang terjadi padaku? Kenapa aku semurahan ini. Bagaimana jika setelah ini Rey juga mencampakkan aku?" jerit Dara dalam hati

Dara merasa gila, dia tak bisa mengendalikan diri. Tangannya bahkan mulai meraba dada Rey yang terasa berotot.

"Aku siap menghadapi apapun setelah ini. Tapi satu yang pasti, kita akan menikah apapun yang terjadi" bisik Rey