Kehidupan Zenaya berubah menyenangkan saat Reagen, teman satu kelas yang disukainya sejak dulu, tiba-tiba meminta gadis itu untuk menjadi kekasihnya.
Ia pikir, Reagen adalah pria terbaik yang datang mengisi hidupnya. Namun, ternyata tidak demikian.
Bagi Reagen, perasaan Zenaya tak lebih dari seonggok sampah tak berarti. Dia dengan tega mempermainkan hati Zenaya dan menginjak-injak harga dirinya dalam sebuah pertaruhan konyol.
Luka yang diberikan Reagen membuat Zenaya berbalik membencinya. Rasa trauma yang diberikan pria itu membuat Zenaya bersumpah untuk tak pernah lagi membuka hatinya pada seorang pria mana pun.
Lalu, apa jadinya bila Zenaya tiba-tiba dipertemukan kembali dengan Reagen setelah 10 tahun berpisah? Terlebih, sebuah peristiwa pahit membuat dirinya terpaksa harus menerima pinangan pria itu, demi menjaga nama baik keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kim O, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 : Malapetaka (2)
Kondisi tampak sangat sepi ketika mobil mewah Reagen membelah jalanan kota ini. Tanpa memerdulikan teriakan Zenaya, pria itu terus menekan pedal gasnya menuju suatu tempat.
"Hentikan mobilnya, Brengsek!" maki Zenaya sambil berusaha membuka seatbelt yang membelit tubuhnya. Namun, Reagen dengan cepat menahan tautan seatbelt tersebut menggunakan satu tangannya, agar gadis itu tidak melepaskan diri.
"Lepaskan aku! Aku mau pulang!" teriak Zenaya lagi. Air matanya tumpah. Berbagai macam ketakutan mulai muncul di benaknya, terlebih ketika mendapati sorot mata Reagen yang kini tampak berbeda.
Pria itu tak lagi terlihat sama seperti sebelumnya. Ada hal lain yang dirasakan Zenaya selain kemarahan dan kekecewaan.
"Diam!" bentak Reagen sembari terus mempercepat laju mobilnya, Meski beberapa kali sempat oleng, Reagen berusaha mengemudikan mobilnya dengan benar agar tidak terjadi kecelakaan.
Mendapat bentakan dari pria mabuk tersebut, Zenaya sontak bungkam. Dengan suara pelan dan gemetaran dia meminta Reagen untuk mengantarnya kembali ke rumah. "Aku hanya ingin pulang. Antar aku pulang dan kita akan bicara baik-baik di rumahku."
Mendengar hal tersebut Reagen tersenyum sinis. "Kamu pikir, apa yang aku lakukan kemarin?"
Zenaya terdiam. Tanpa disadari olehnya, mobil Reagen kini telah memasuki basement di sebuah gedung apartemen mewah.
Zenaya terkesiap. "Tempat apa ini? Kenapa kamu membawaku ke sini?" tanyanya dengan nada mendesak.
Alih-alih menjawab pertanyaan Zenaya, Reagen justru memarkirkan mobilnya dengan sembarang dan langsung menarik kasar lengan gadis itu agar keluar dari mobil.
"Lepaskan, Bajingan! Jangan macam-macam atau aku akan melaporkanmu ke polisi!" ancam Zenaya sembari berpegangan pada pintu mobil. Pikiran buruk tiba-tiba berkecamuk. Raut wajahnya bahkan sudah tampak pucat pasi.
Apa yang akan Reagen lakukan padanya? Mengapa pria itu membawanya ke sebuah apartemen?
"Ikut aku!" pekik Reagen.
"Tidak mau!" Zenaya membalas teriakan Reagen, walau suaranya terdengar lebih bergetar.
"Ikut!" Dengan tenaga yang dia miliki, Reagen berhasil menyeret gadis itu sampai ke depan pintu lift miliknya. Namun, Zenaya dengan cepat melepaskan cengkeramannya dan berlari menjauh.
Sayangnya, Reagen berhasil memeluk tubuh ramping Zenaya dari belakang dan langsung memanggul gadis itu agar tidak kabur.
Begitu pintu lift terbuka, Reagen masuk ke dalamnya dan baru menurunkan tubuh Zenaya.
Satu tamparan keras pun sontak dilayangkan gadis itu ke pipi kiri Reagen. "Bajingan!" umpat Zenaya. "Apa maksudmu dengan membawaku ke sini? Jangan berani macam-macam denganku, kalau tidak mau aku adukan pada tunanganmu!" ancamnya kemudian.
"Siapa tunanganku?" tanya Reagen datar.
Zenaya mendecih. "Jangan pura-pura bodoh! Aku tahu, kamu dan Natalie telah bertunangan, tapi kamu dengan seenaknya malah mendatangiku terus! Apa kamu bilang saat itu? Cinta? Kamu memang benar-benar brengsek, Rey!"
Reagen terdiam. Hatinya berdenyut sakit tiap kali mendengar hinaan yang telrontar dari mulut Zenaya. "Natalie bohong, aku dan dia sama sekali tidak bertunangan. Aku bahkan sudah menjelaskannya pada Grace."
"Jangan bawa-bawa nama Grace!" kata Zenaya. "Mau benar ataupun salah, aku tidak peduli, karena yang aku pedulikan adalah kedatanganmu yang sangat mengganggu!" sambungnya.
"Aku hanya ingin bicara padamu." Sorot mata Reagen berubah sendu.
"Tidak ada yang perlu dibicarakan! Aku kini hanya ingin ketenangan hidup dan itu sudah kudapatkan sebelum kamu datang kembali!" seru Zenaya dingin.
Reagen bergerak mendekati Zenaya. "Kamu bahkan sama sekali tidak tahu apa maksudku. Beri aku kesempatan untuk menjelaskan semua," ujarnya.
Zenaya mengangkat sebelah alisnya sambil sinis Reagan. "Apa yang perlu dijelaskan? Semua yang kamu lakukan dulu sudah cukup jelas, atau kamu menipuku lagi?" Zenaya tertawa sinis. "Jangan repot-repot melakukannya karena aku bukan lagi gadis bodoh seperti dulu. Sekarang lepaskan aku!"
"Zen," ucap Reagen sembari berusaha memegang tangan Zenaya. Namun, Zenaya dengan cepat menghentaknya kasar.
"Berhenti menyentuhku, Brengsek! Aku bukan wanita murahan yang biasa kamu bawa ke apartemenmu!"
Reagen begitu terkejut mendengar perkataan tajam Zenaya. "Apa maksudmu?"
"Aku bukan orang bodoh, Rey. Begitu mudahnya kamu membawaku ke sini, berarti kamu sudah terbiasa melakukannya dengan wanita lain, bukan? Menjijikan!" Dengan tatapan sedemikian rupa, Zenaya memperlihatkan seberapa besar raut jijiknya pada pria itu.
Reagen jelas tersinggung, sebab dia sama sekali tidak pernah membawa wanita manapun ke dalam apartemennya.
Dengan penuh rasa amarah, Reagen mencengkeram erat kedua tangan Zenaya dan memojokkannya ke dinding lift. Niat pria itu untuk mengajak Zenaya bicara empat mata di sana kini telah sirna. Reagen memilih mewujudkan perkataan gadis tersebut.
Mata Zenaya sontak terbelalak saat Reagen dengan kurang ajar menciumi leher jenjangnya. Pria itu bahkan mulai menggigit-gigit kecil dan menghisap leher Zenaya sampai meninggalkan bekas kemerahan.
Mendapat perlakuan demikian, Zenaya berteriak dan memberontak. Namun, Reagen dengan sigap menahan tangan gadis itu agar tidak bergerak.
Begitu pintu lift terbuka Reagen segera menggendong Zenaya dan membantingnya ke atas ranjang besar yang berada di ujung ruangan. "Kamu bilang, aku menjijikan? Kalau begitu akan kubuktikan, seberapa menjijikannya aku!"
Bulu kuduk Zenaya meremang seketika. Tubuhnya menggigil ketakutan. Dia tahu benar apa maksud dari perkataan Reagen barusan.
Dengan mata menyalang, Zenaya menelisik sekeliling ruangan, guna menemukan benda-benda yang bisa dia gunakan untuk menghajar pria mabuk tersebut. Namun, nihil. Apartemen tanpa sekat itu tampak begitu kosong dan sunyi. Hanya ada perabot dasar saja yang mengisi apartemen milik Reagen.
Zenaya mencoba bangkit dari ranjang, tetapi Reagen langsung menindih tubuhnya.
Ketika Zenaya kembali menampar bibir Reagen hingga berdarah, Reagen justru membalasnya dengan merobek pakaian gadis itu dan mencium bibirnya kasar.
"Tuhan, tolong aku!" batin Zenaya putus asa. Suaranya tak mampu lagi keluar. Pandangan matanya pun mulai mengabur. Zenaya berusaha menjaga kesadarannya sekuat tenaga. Namun, hentakan-hentakan kuat dari Reagen membuat gadis itu tak sadarkan diri seketika.
...***...
"Cut!" titah Adryan kepada seorang perawat yang kemudian menggunting benang jahit yang baru saja diikat pria itu.
Adryan lalu kembali menusukkan jarumnya pada kulit kepala sang pasien. "Cut!" katanya lagi.
Sang perawat kembali menggunting benang tersebut. Namun, saat Adryan hendak mengulangi jahitannya lagi, entah mengapa tangan pria itu tiba-tiba bergetar hebat. Needle holder yang berada di tangannya pun terhempas ke lantai seketika.
Dokter dan para perawat yang ada di sana kontan terdiam sejenak. Dokter Marcell yang menjadi tangan kedua Adryan bergegas menyuruh perawat lain untuk mengambil needle holder yang baru.
"Anda sudah terlalu lelah, Dok, biar saya saja yang selesaikan," tawarnya kemudian. Maklum saja, selama hampir 24 jam ini Adryan harus menangani tiga operasi besar sekaligus.
Adryan menghela napasnya. "Maafkan saya." Pria itu memundurkan tubuhnya lalu menyerahkan tugas tersebut pada Dokter Marcell. Sebenarnya menjahit luka bisa saja diselesaikan oleh dokter kedua atau perawat lain, tetapi Adryan terbiasa melakukannya sampai selesai.
"Terima kasih atas kerja kerasnya, Dok!" Para perawat dan dokter yang berada di sana serempak memberi salam pada Adryan, begitu pula sebaliknya.
Selepas keluar dari ruang operasi, Adryan menggerak-gerakkan kedua telapak tangannya yang masih sedikit gemetar. Batinnya mendadak gelisah. Entah mengapa, pikirannya tiba-tiba tertuju pada sang adik.
"Aku harus menghubunginya," kata Adryan dalam hati.
...***...
Waktu sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi ketika Zenaya tersadar dari pingsannya.
Gadis itu terkesiap begitu mendapati Reagen terduduk tepat di sebelahnya dengan raut wajah frustrasi. Tubuh pria itu sama sekali tidak berpakaian. Hanya ada selembar bed cover saja yang menutupi tubuh bagian bawahnya.
Melihat hal tersebut, Zenaya refleks menatap tubuhnya sendiri. Pakaian yang sebelumnya melekat rapi kini tercecer di lantai dalam keadaan mengenaskan. Sesuatu yang amat sakit bahkan dirasakan gadis itu, ketika dia mencoba bergerak.
"A–apa yang kamu lakukan padaku?" tanya Zenaya seraya menatap horor Reagen. Bulu kuduknya meremang seketika. Darah seolah tersedot habis dari wajah wanita itu.
Reagen menatap Zenaya dengan pandangan menyesal. Pria itu sepertinya telah sadar dari pengaruh alkohol.
"Zen, a–aku–" Belum selesai Reagen bicara, Zenaya sudah berteriak histeris.
Reagen, pria yang pernah dia cintai sepuluh tahun lalu, lagi-lagi menghancurkan harga dirinya. Bahkan, dia kini juga menghancurkan hidup Zenaya.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Note:
Needle *h**older* *merupakan i**nstrument bedah yang digunakan untuk menjepit atau memegang needle hecting (jarum jahit) saat menjahit luka robek, atau operasi*.