Kakak dan adik yang sudah yatim piatu, terpaksa harus menjual dirinya demi bertahan hidup di kota besar. Mereka rela menjadi wanita simpanan dari pria kaya demi tuntutan gaya hidup di kota besar. Ikuti cerita lengkapnya dalam novel berjudul
Demi Apapun Aku Lakukan, Om
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Naim Nurbanah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19
Pagi itu di gedung megah milik perusahaan Tuan Marcos, Lina berdiri di depan seorang wanita muda dan cantik yang tak dikenalnya. Matanya menyipit, ada rasa penasaran bercampur gelisah dalam dadanya.
"Kamu siapa?" tanyanya pelan, suaranya bergetar sedikit. Lina mengerjapkan mata, berusaha menyusun pikiran. Dia tahu betul, selama ini dia lah satu-satunya sekretaris pribadi Tuan Marcos. Wanita ini, siapa? Rasa was-was merayapi pikirannya, membuat dadanya berdebar.
Wanda menatap tajam ke arah Lins, senyum penuh percaya diri tersungging dari bibirnya.
"Aku sekretaris pribadi baru Pak Marcos," katanya dengan suara mantap, seolah tak ragu sedikit pun.
Lina terdiam, dadanya tiba-tiba sesak. Mata wanita itu melebar, sesaat beku memproses berita yang baru saja dia dengar. Jantungnya berdetak tak beraturan, campur aduk antara kaget dan cemas. Dalam benaknya, pertanyaan-pertanyaan berlari tanpa henti.
"Apakah aku akan digantikan? Apa selama ini aku kurang baik?"
Lina mengusap pelan kedua tangannya ke wajah, mencoba menahan gelombang kegelisahan yang merayap naik. Dia melihat ke arah pintu kantor yang masih tertutup, berharap Tuan Marcos segera datang dengan penjelasan. Namun yang ada cuma hening yang membuat rasa takut itu makin membesar. Tarikan napasnya pelan tapi berat.
"Mungkin ini cuma ujian," gumamnya dalam hati, mencoba menenangkan diri.
Tanpa ingin membuat situasi jadi rumit, Lina memusatkan pandangan ke meja kerjanya, membuka tumpukan berkas yang menunggu. Tapi di sudut pikirannya, bayangan Wanda tetap menghantui, meninggalkan keraguan yang sulit diusir. Hanya waktu yang bisa memberitahu, siapa yang akan bertahan di samping Pak Marcos.
Lina melotot tajam, suaranya meninggi penuh cemburu. "Apa? Siapa yang menyuruh kamu datang ke perusahaan ini? Tau ya, aku sekretaris pribadi Marcos. Bahkan aku calon istrinya! Jangan asal ngaku-ngaku begitu," geramnya sambil menepuk meja. Wanda duduk tenang di kursinya, menatap balik dengan sorot mata penuh tekad.
"Pak Marcos sendiri yang suruh aku langsung kerja di sini hari ini. Kalau nggak percaya, ayo kita ke HRD, atau bahkan temui langsung Pak Marcos," katanya mantap.
Tak lama kemudian, Wanda menghubungi Kino, asisten pribadi Marcos. Kino mengarahkan dia ke ruangan khusus sekretaris. Wanda menarik nafas dalam, lalu duduk di mejanya, membuka dokumen-dokumen yang diberikan dengan penuh semangat belajar hari itu.
Lina menatap tajam ke arah Wanda, napasnya terengah saat membantah, "Tidak perlu! Aku akan cari Kino sendiri untuk memastikan semua ini." Matanya menyala meyakinkan,
"Kamu memang asistenku. Tugasmu membantu aku sebagai sekretaris pribadi Marcos." Wanda mengerutkan dahi, pikirannya berputar mencari celah. Lama-lama ia mengangguk pelan,
"Oke, baiklah. Mulai sekarang kita harus kerja sama. Aku butuh pekerjaan ini, dan posisi ini terlalu berharga untuk dilewatkan."
Lina menghela napas panjang, hatinya berdengus kesal. Tatapannya tak bisa lepas dari sosok Wanda yang duduk santai, dengan senyum penuh percaya diri.
"Aku nggak akan biarkan wanita itu dekat Marcos. Nanti Marcos bisa tergoda sama kecantikan dan pesonanya," pikir Lina dalam hati sambil matanya mencari-cari keberadaan asisten pribadi Marcos yang lain, merencanakan langkah selanjutnya.
*****
Lina berdiri di depan pintu ruang asisten pribadi Tuan Marcos, dadanya naik turun tanpa henti. Jantungnya berdetak kencang, seolah ingin meloncat keluar dari dada. Dari balik pintu itu, terdengar bisik-bisik dan suara langkah ringan yang membuat bulu kuduknya meremang.
"Sedang ngapain Kino pagi ini, ya? Sama siapa, sih? Kok rasanya ada yang nggak beres?" pikirnya, alisnya berkerut saat suara itu membuat imajinasinya semakin liar.
Apakah Kino bersama seorang wanita? Siapa dia? Rasa penasaran dan cemas mencampur jadi satu, memenuhi seluruh pikirannya. Lina mengulurkan tangan dengan gemetar, menggenggam handle pintu pelan-pelan. Tiba-tiba, terasa hangat sekaligus dingin saat ia sadar pintu itu tidak terkunci dari dalam. Jantungnya makin berdegup keras, tapi dia menahan napas, mempersiapkan diri menghadapi apa pun yang akan ia lihat.
Apakah Kino bersama wanita itu? Siapa dia? Rasa penasaran dan gelisah menyeruak bagai badai, menggerogoti seluruh pikirannya tanpa henti. Lina mengulurkan tangan dengan gemetar, jari-jarinya seolah tak mampu lagi menahan beban ketakutan yang merayap di dadanya. Pelan-pelan ia menggenggam gagang pintu, udara dingin dan hangat seketika menyambutnya saat pintu itu terbuka tanpa terkunci. Jantungnya berdegup bagaikan genderang perang, nyaris pecah dari dada yang sesak. Namun, Lina menghela napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian terakhir, menyiapkan diri menatap kenyataan yang mungkin akan mengoyak seluruh dunianya.
Lina berdiri terpaku di depan pintu yang terbuka sedikit. "Kok nggak dikunci, ya? Ada apa di dalam sana?" pikirnya sambil menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberanian untuk mengintip.
Pelan-pelan dia mengintip ke dalam ruangan yang luas itu. Matanya langsung menangkap sosok Kino yang tengah berada di kamar istirahat kecil. Dari celah pintu yang tersisa, Lina menahan napas, hatinya berdegup kencang seperti mau melonjak keluar.
"Apa sih yang sedang dia lakukan?" gumamnya, dada berdebar penuh rasa penasaran dan cemas.
Tiba-tiba, adegan yang dilihatnya membuat Lina hampir melepas pandangan, tapi dia memaksa mata untuk tetap fokus. Kino sedang bersikap sangat mesra dengan seorang anak magang perempuan. Lina merasakan tubuhnya mendadak panas dingin, dada sesak oleh campuran rasa marah dan jijik.
"Astaga, Kino bisa begini ya? Memanfaatkan anak magang seperti itu...".
Dia mencibir, napasnya memburu. "Hebat benar, tapi menyebalkan!" pikir Lina sambil mundur perlahan, lalu berbalik pergi meninggalkan ruangan yang udara di dalamnya terasa makin pengap oleh kemesuman itu.
Lina menyeringai tipis, matanya menyipit saat ponsel di tangannya menampilkan video dan foto mesum itu. Dalam hatinya, suara lirih bergema,
Jari-jarinya gemetaran menahan degup yang semakin cepat. Setelah berhasil merekam adegan yang membuat Kino terperangkap bersama anak magang itu, Lina mulai merangkai skenario liciknya.
Jari-jarinya bergetar hebat, berusaha menahan detak jantungnya yang berdegup liar. Rekaman itu, adegan Kino terperangkap bersama anak magang, bagaikan tombak tajam yang siap dilontarkan. Lina merangkai rencana licik dengan dingin, setiap potongan rekaman menjadi senjata yang tak tergoyahkan.
"Video ini jadi senjataku yang paling ampuh buat ngendaliin mu, Kino.”
“Dengan ini, kau tak akan lagi punya ruang untuk membela diri,” gumamnya, matanya membayangkan ketakutan yang terpancar di wajah Kino saat menyadari jebakannya.
“Dengan ini, kau nggak bakal bisa melawan. Aku pegang semua kartu,” gumamnya sambil membayangkan wajah panik Kino saat tahu dirinya sudah terjebak. Senyum nakal itu makin melebar, hatinya berdesir girang. Kali ini, Lina yakin, dia pegang kendali penuh, tak akan ada lagi kata menyerah.
Senyum licik merekah di bibirnya, dan jantungnya berdentum penuh kemenangan.
Kali ini, Lina tak cuma memegang kartu, dia memegang kendali penuh. Tak ada lagi tempat untuk mundur, tak ada lagi kata menyerah. Dunia ada di telapak tangannya.
kau ini punya kekuatan super, yaaakk?!
keren, buku baru teroooss!!🤣💪