Cerita Mengenai Para Siswa SMA Jepang yang terpanggil ke dunia lain sebagai pahlawan, namun Zetsuya dikeluarkan karena dia dianggap memiliki role yang tidak berguna. Cerita ini mengikuti dua POV, yaitu Zetsuya dan Anggota Party Pahlawan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon A.K. Amrullah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kejutan yang tak terduga
Lantai 5 Dungeon
Hanabi terperangah.
"T-Tidak mungkin..."
Mayat Hanzo hilang.
Hanya darah tersisa di lantai.
Tangan Hanabi gemetar.
"Seseorang... mengambilnya?"
Dengan campuran takut dan harapan, ia menggenggam busurnya kuat.
Ia bergegas ke Desa Eldoria.
"Di mana mayat Hanzo?!"
Seorang warga menjawab gugup:
"Kami melihat Jack membawa mayat itu ke rumah Nenek Lita."
Hanabi tercengang.
Jack...?
Nenek Lita...?
Tanpa ragu, ia berlari menuju rumah itu. Napas berantakan, hati seperti hendak pecah.
Pintu dibuka kasar,
Dan dunia seolah berhenti.
Hanzo duduk di meja.
Hidup.
Berbicara dengan Jack sambil melihat kertas kontrak.
"Jadi harga nyawaku cuma segini doang?"
"Bukan urusanku. Aku cuma menyampaikan perintah."
"Zetsuya bilang kemungkinan akan ada korban di tim pahlawan. Jadi dia minta aku ambil mayat pertama yang jatuh."
Hanabi menutup mulut. Air mata tumpah.
"H-Hanzo...?"
Hanzo menoleh, mata melebar.
"Hanabi?!"
Gadis itu langsung memeluknya, bahu bergetar.
"Aku pikir kau mati... Hanzo..."
Hanzo tertawa gugup, menepuk punggungnya.
"Aku juga pikir begitu... untung ada orang yang lebih pintar dari kita semua."
Jack tersenyum tipis.
"Semua berkat Zetsuya."
Hanabi gemetar.
"Zetsuya...? Si Merchant itu?"
"Ya." Jack mengangguk. "Dia sudah prediksi pengkhianatan dan kematian pertama bahkan sebelum dungeon dimulai."
Hanzo mendesis.
"Jadi aku ini bahan eksperimen?"
"Bukan. Investasi."
Jack tersenyum tipis.
Hanabi sulit menerima kenyataan.
"Zetsuya... sekarang di Hexagonia?"
"Benar. Diundang Putri Hexagonia untuk urusan bisnis besar."
Hanabi mengepal.
(Seorang Merchant... benar-benar sehebat ini?)
Mereka masuk ke dalam.
Ruangan penuh botol herbal. Nenek Lita duduk sambil mengaduk teh dengan senyum tenang.
"Ah, Hanzo sudah bisa bicara dengan lancar. Bagus, bagus. Kau benar-benar dilindungi oleh orang yang tepat."
Hanabi bertanya gemetar.
"Nenek... kau tahu semuanya?"
Nenek terkekeh pelan.
"Tentu. Aku yang menghidupkan Hanzo. Dan semua itu karena permintaan Zetsuya jauh sebelum ini terjadi."
Hanzo mendengus.
"Dia penuh kejutan..."
Jack menyilangkan tangan.
"Itu sebabnya aku mengikuti dia."
Hanzo dan Hanabi terkejut.
"Direkrut?"
Jack mengangguk.
"Dulu aku hanya penebang kayu. Sering ke Z-Store bukan untuk belanja... tapi karena Tia. Budaknya Zetsuya."
"Budak?" Hanabi mengerutkan kening.
Jack mengangguk.
"Kami menemukannya terikat di toko yang mau kami bersihkan. Dan Zetsuya berjanji akan membebaskannya setelah kembali dari Hexagonia."
Nenek Lita tersenyum.
"Dan yang lebih mengejutkan, setelah bebas pun Tia memilih tetap melayani Zetsuya."
Jack tersenyum lembut.
"Aku pun sama. Dia bukan cuma bos,aku menganggapnya adik sendiri."
Hanabi terdiam.
(Seorang merchant... yang diabaikan para pahlawan... ternyata mengubah hidup semua orang.)
Hanzo menarik napas panjang.
"Zetsuya... sepertinya aku harus kenal dia lebih jauh."
Nenek Lita menatap teh hangat di tangannya.
"Di usiaku yang tua, aku pikir masa hidupku hanya untuk meramu potion dan membantu warga..."
Ia tersenyum, mata berkaca-kaca.
"Tapi aku bersyukur. Di sisa waktuku, aku kira tak akan bertemu seseorang seistimewa dia."
Jack mengangguk.
"Dia lebih dari sekadar merchant. Kalian akan mengerti saat bertemu."
Malam itu seperti menahan napas bersama Hanabi.
Ia berdiri terpaku di ambang pintu, melihat Hanzo, seseorang yang tadi pagi masih menjadi mayat dingin di lantai dungeon, kini hidup, bernapas, bahkan bisa bercanda. Lututnya hampir kehilangan tenaga.
Seumur hidup, ia tidak pernah merasa selemah ini.
Hanzo hidup.
Kalimat itu berkali-kali berputar di kepalanya, tapi tak kunjung terasa nyata. Tangannya terulur pelan, ragu menyentuh pipi Hanzo, takut jika ini hanyalah ilusi, takut tubuh itu kembali menjadi dingin, takut semuanya hanya mimpi yang akan menghilang saat ia berkedip.
Tapi kulit Hanzo hangat.
Dan saat itu juga, Hanabi pecah.
"Kenapa… kenapa kau bisa tersenyum santai seperti itu… dasar bodoh… dasar brengsek…" Tangisnya tercampur tawa, suaranya pecah dan bergetar.
"Aku… aku pikir aku benar-benar kehilanganmu… Hanzo…"
Hanzo menelan ludah, wajahnya yang biasanya santai kini memudar.
Untuk pertama kalinya, ia melihat Hanabi bukan sebagai partner, bukan sekadar rekan satu tim…
Tetapi seseorang yang hancur hanya karena kehilangannya.
Ia mengangkat tangannya, ragu sebentar, lalu membalas pelukan itu dengan lembut.
"Maaf… aku membuatmu menangis, ya?" ucapnya setengah berbisik.
Hanabi menggeleng, air matanya kembali turun.
"Aku tidak peduli… aku hanya… aku hanya senang kau hidup…"
Saat mereka duduk dan menenangkan diri,
Hanabi menyadari sesuatu yang lebih menakutkan dari kematian Hanzo.
Kematian itu ternyata bukan kecelakaan. Bukan kebetulan. Tapi bagian dari rencana seseorang.
Seseorang yang tidak dianggap siapa-siapa.
Seseorang yang diremehkan.
Seseorang yang tahu lebih dulu bahwa akan ada pengkhianatan dan korban.
Zetsuya.
Nama itu berputar dalam kepala Hanabi seperti mantra.
Jack menyuguhkan teh hangat, namun tangan Hanabi masih sedikit gemetar saat menerimanya.
Mata Hanzo pun tampak lebih serius daripada sebelumnya , jauh lebih hidup, seolah tak gentar pada kematian yang baru ia lewati.
"Hanabi…" Hanzo menatapnya lembut, lebih lama dari biasanya.
"Aku masih di sini. Aku belum selesai."
Hanabi mengangguk pelan.
Tangis di matanya masih basah, tapi senyum kecil mulai terbentuk.
Bukan karena keadaan aman.
Tapi karena ia tahu…
Harapannya belum benar-benar mati.
Ketika Nenek Lita berbicara lembut, Hanabi memperhatikannya dengan seksama.
Zetsuya yang meminta Hanzo diselamatkan.
Zetsuya yang sudah memprediksi tragedi itu.
Zetsuya yang mempersiapkan segalanya.
Hanabi menarik napas panjang.
Untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, dadanya terasa ringan.
Bukan karena duka hilang , tidak.
Duka masih ada. Luka itu masih segar.
Namun kini ada sesuatu yang lebih besar daripada rasa kehilangan:
rasa penasaran… dan rasa hormat.
Ia memandang ke arah jendela, ke arah keheningan malam.
(Zetsuya… siapa kau sebenarnya?)
(Apa kau memandang kita seperti bidak? Atau kau yang benar-benar ingin menyelamatkan kami?)
Ia ingin marah.
Ia ingin memuji.
Ia ingin berterima kasih.
Ia ingin menuntut jawaban.
Perasaannya campur, kacau dan tak tertata.
Namun satu hal pasti:
Hanabi kini ingin bertemu Zetsuya.
Bukan sebagai archer biasa.
Tapi sebagai seseorang yang ingin melihat kebenaran dari dekat.
Hanzo yang hidup kembali bukan hanya keajaiban.
Bukan sekadar hasil ramuan.
Ini adalah pemicu perubahan.
Malam itu, Hanabi memandang Hanzo lama sekali, bukan hanya memastikan ia masih bernapas, tapi memastikan ia tidak akan hilang lagi.
Dan untuk pertama kalinya sejak tragedi itu, ia tersenyum dengan tulus karena harapan yang ia kubur dalam darah dungeon kini kembali hidup bersamanya.