Setelah kematian istrinya, Nayla. Raka baru mengetahui kenyataan pahit. Wanita yang ia cintai ternyata bukan hidup sebatang kara tetapi ia dibuang oleh keluarganya karena dianggap lemah dan berpenyakitan. Sementara saudari kembarnya Naira, hidup bahagia dan penuh kasih yang tak pernah Nayla rasakan.
Ketika Naira mengalami kecelakaan dan kehilangan ingatannya, Raka melihat ini sebagai kesempatan untuk membalaskan dendam. ia ingin membalas derita sang istri dengan menjadikannya sebagai pengganti Nayla.
Namun perlahan, dendam itu berubah menjadi cinta..
Dan di antara kebohongan, rasa bersalah dan cinta yang terlarang, manakah yang akan Raka pilih?? menuntaskan dendamnya atau menyerah pada cinta yang tak seharusnya ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SunFlower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#18
Happy Reading...
.
.
.
Sudah beberapa hari ini Raka terlihat sedikit lebih pendiam. Bahkan saat ia sedang memeriksa desain dari kantor cabang, pikirannya selalu kembali pada satu hal. Keadaan Naira. Ketakutan akan kemungkinan orang tua Naira dan Arvino menemukan mereka semakin menghantuinya.
Hingga akhirnya, setelah melewati malam yang panjang dan tidur yang tidak nyenyak, Raka membuat keputusan besar.
Pagi itu, Naira sedang duduk di ruang keluarga sambil menyisir rambut Jingga yang tertawa setiap kali rambutnya dikepang miring. Suasana itu sebenarnya terlihat sangat hangat, namun hati Raka justru semakin gelisah melihat keduanya.
“Nayla” panggil Raka dari depan pintu.
Naira menoleh. “Ada apa? Kamu kelihatan serius sekali.”
Raka berjalan mendekat, duduk di sofa seberang mereka. Ia mengambil napas pelan sebelum berbicara. “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan.”
Naira langsung merasakan ada yang berbeda dari nada suaranya. “Kamu membuat aku khawatir. Ada apa? Apa ada masalah? Katakan saja.”
Raka bertatapan dengan Naira beberapa detik. Tatapan itu bukan tatapan yang marah, bukan juga tatapan dingin seperti dulu. Ada keraguan.. Ada kecemasan..
“Aku ingin… kita pindah ke Surabaya,” ucap Raka akhirnya.
Naira membeku. “Pindah? Untuk apa? Kenapa? Apa terjadi sesuatu?”
Raka mengusap tengkuknya. “Aku ingin memulai semuanya dari awal. Lingkungan yang baru, suasana baru.. dan mungkin hidup yang baru juga.” Ia berhenti sebentar lalu menambahkan, “Mungkin di tempat yang baru kamu bisa mulai mengingat sedikit demi sedikit hal-hal yang hilang dari ingatan kamu.”
Naira menurunkan sisir dari tangannya. “Kamu serius? Kenapa tiba-tiba?”
“Tidak tiba-tiba,” jawab Raka pelan. “Aku sudah lama memikirkan ini. Kantor cabang di Surabaya bisa aku jadikan kantor utama. Operasionalnya sudah siap. Tim di sana juga sudah lengkap.”
Dia menatap Naira dengan ekspresi yang sulit ia jelaskan. “Aku ingin memulai semuanya dari awal. Dan Surabaya… tempat itu jauh lebih tenang.”
Naira terdiam, mencoba memproses semuanya. “Tapi… apakah ini benar-benar yang kamu inginkan?”
“Ya,” jawab Raka cepat, seolah takut jika keraguannya muncul lagi. “Aku tidak ingin kita terus merasa tertekan di sini. Kamu… Jingga… dan aku. Kita butuh suasana yang baru.”
Jingga yang sejak tadi memeluk bonekanya tiba-tiba tertawa kecil sambil menepuk tangannya. “Ayah, apa kita akan jalan-jalan jauh?”
Raka tersenyum kecil melihat reaksi putrinya. “Iya, Sayang. Kita pindah ke tempat baru. Lingkungan baru. Banyak hal baru.”
Naira menatap Jingga yang terlihat begitu senang dan itu membuat hatinya sedikit melunak. Namun tetap saja ia merasa bingung. “Kamu benar-benar yakin ini keputusan yang tepat untuk kita?”
Raka menatapnya mantap. “Untuk saat ini… iya. Aku yakin.”
Naira menghela napas panjang. Ada rasa ragu, tapi juga ada rasa percaya yang entah dari mana datangnya. “Baiklah… kalau kamu sudah memutuskan, aku ikut saja. Selama kita bersama, aku rasa tidak masalah.”
Raka terdiam, lalu perlahan berdiri. “Terima kasih karena sudah percaya padaku, Nayla.”
Naira tersenyum tipis.
Di balik ucapan itu, Raka merasakan sesuatu menusuk dadanya perasaan bersalah yang semakin lama semakin tumbuh. Ia menoleh sebentar ke arah Jingga yang tertawa kegirangan, lalu kembali memandang Naira.
"Mungkin...memulai semuanya dari awal bukan ide buruk," batin Raka.
.
.
.
Perpindahan ke Surabaya akhirnya benar-benar terjadi. Setelah mengurus segala dokumen kantor, memindahkan sebagian besar barang, serta memastikan rumah baru siap ditempati, Raka memboyong keluarganya menuju tempat yang ia sebut “awal yang baru”.
Rumah itu berdiri gagah di sebuah kawasan elit yang jauh lebih sepi dibandingkan lingkungan sebelumnya. Tidak ada rumah bertingkat seperti kebanyakan. Rumah Raka hanya satu lantai, namun ukurannya lebar, memanjang dengan pagar besi hitam menjulang tinggi yang membuat rumah itu terlihat tertutup dari dunia luar.
Halaman depannya sangat luas, penuh rumput hijau yang rapi. Namun tidak ada satu pun kursi taman atau dekorasi yang membuatnya tampak hidup. Hanya rumput, batu-batu kecil dan jalan setapak menuju pintu utama.
Sementara halaman belakangnya bahkan jauh lebih tertutup. Tembok tinggi mengelilingi seluruh sisi, membuat udara seakan sulit bergerak.
Sesampainya di depan rumah, Raka turun terlebih dahulu lalu membantu Naira keluar dari mobil.
“Naira,” ucap Raka sambil menatap wajah istrinya itu. “Apa kamu suka rumahnya?”
Naira tersenyum, meski ada sesuatu di balik senyum itu. “Rumahnya besar… dan sepertinya nyaman.”
“Kalau ada yang kurang, kamu tinggal memberitahuku. Aku bisa memperbaikinya atau menggantinya nanti.”
Naira mengangguk.
Namun saat Raka berbalik mengambil barang-barang dari bagasi, senyum Naira memudar. Pandangannya menyapu seluruh halaman dan pagar tinggi itu. Ada rasa sesak di dadanya. Bukan karena rumahnya jelek, tapi karena rumah itu terasa… terlalu tertutup.
Seperti di penjara. Itu adalah kalimat pertama yang muncul dalam benak Naira. Tidak ada tetangga yang terlihat. Tidak ada suara kendaraan lewat. Tidak ada anak-anak bermain. Hanya sepi.
Saat ia melihat Raka berusaha memindahkan barang sambil sesekali menggendong Jingga yang tidak sabar ingin masuk ke dalam rumah, hati Naira melembut.
“Aku harus menyamankan diriku,” batinnya. “Raka sudah berusaha keras sampai seperti ini.”
Raka kembali mendekat. “Ayo masuk. Aku sudah menyiapkan semuanya sejak seminggu lalu.”
Mereka berjalan memasuki rumah. Interiornya minimalis, bersih dan serba rapi. Dinding putih, lantai kayu dan cahaya lampu yang lembut membuatnya terlihat hangat meski suasananya terlalu tenang.
Naira memperhatikan ekspresi bahagia Jingga itu, lalu tanpa sadar bergumam, “Asal dia bahagia, aku pun bisa nyaman di sini.”
Raka menoleh. “Apa kamu bilang sesuatu?”
Naira sedikit gelagapan. “Ah… tidak. Hanya memuji rumah ini.”
Raka mengangguk puas. “Bagus kalau kamu suka rumah ini.”
Mereka masuk ke kamar utama. Kamar itu luas, dengan tempat tidur besar dan jendela besar yang langsung menghadap halaman belakang… namun jendela itu dipasangi tirai tebal dan teralis besi.
“Jendelanya… kok ada teralis?” Naira tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
“Oh,” jawab Raka singkat. “Rumah ini memang didesain aman. Lokasinya agak sepi, jadi aku ingin memastikan tidak ada hal buruk yang terjadi padamu atau Jingga.”
Naira mengangguk perlahan.
Padahal, di dalam hatinya ia merasa alasan itu tidak sepenuhnya benar. Seolah rumah ini bukan untuk melindungi mereka dari dunia luar. Tapi melindungi dunia luar… dari mereka.
Raka melihat wajah Naira yang tampak berpikir. “Kalau kamu tidak nyaman, bilang saja. Aku tidak ingin kamu merasa terbebani.”
Naira menghapus ekspresi ragu di wajahnya dan memaksakan senyum yang lebih besar. “Tidak. Aku suka. Aku hanya… harus beradaptasi.”
Raka menatap Naira sejenak, lalu mendekat dan mengusap lembut kepalanya. “Terima kasih karena mau berusaha bersamaku.”
Naira menunduk. “Aku… aku hanya ingin keluarga kita bahagia.”
Raka menahan napas. “Tentu saja kita akan bahagia.” jawabnya pelan.
Naira mungkin berpikir tempat ini adalah awal baru. Namun bagi Raka, tempat ini adalah… benteng. Benteng untuk menyembunyikan Naira dari dunia. Dan benteng untuk menjaga dendamnya yang belum sepenuhnya padam.
.
.
.
Jangan lupa tinggalkan jejak...