NovelToon NovelToon
I Feel It`s Love

I Feel It`s Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Angst / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Enemy to Lovers / Nikah Kontrak / Gadis Amnesia
Popularitas:2k
Nilai: 5
Nama Author: DityaR

"Kehilangan terbesar adalah kehilangan yang terjadi lagi setelah kehilangan yang sebelumnya. Karena itu menandakan kita selalu kehilangan lagi, lagi dan lagi."

Season : I ....

જ⁀➴୨ৎ જ⁀➴

“Kamu udah nyerah satu tahun yang lalu!” gertak Ernest.

“Itu dulu, sekarang beda!” Kakiku pun mengetuk lantai, dan kami berdiri saling berhadapan.

“Terserah! Aku enggak mau harga diriku kamu injak-injak!”

“Kamu masih sayang sama aku kan, Ernest?”

Dia enggak berkedip sedikitpun. “Tandatangani aja suratnya, Lavinia!!!”

“Gimana kalau kita buat kesepakatan?”

“Enggak ada kesepakatan. Tandatangani!!”

“Mama kasih aku dua bulan di sini. Aku janji, dua bulan lagi ... apa pun yang terjadi ... mau ingatan aku pulih atau enggak ... kalau kamu masih pingin cerai, aku bakal tandatangani! Tapi please ba—”

“Udah, lah!! Aku jemput kamu jam sembilan, Sabtu pagi!” dengusnya sambil membanting pintu.

Aku ambil surat cerai itu, lalu membuangnya ke tempat sampah.

Aku enggak akan tanda tangan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

I. Saat Aku Melamarmu

...୨ৎ E R N E S T જ⁀➴...

"Jadi sekarang kamu udah mau ngomong sama aku?" tanya Lavinia saat kami berdiri di samping mobilku.

Melihat dia nongkrong bareng sama Leo di Bar tadi bikin darahku naik. Mungkin dia lupa kalau Leo itu saudara tiriku. Atau ... ah, apa sih yang aku pikirkan?

Kemungkinan besar dia ingat. Tapi bagaimana kalau ... sial, aku enggak mau berpikir dia suka sama cowok lain, apalagi orang dari keluargaku sendiri.

“Minum enggak bakal nyelesaiin apa-apa!”

Matanya merah, jelas banget habis menangis di depan Leo. Dan itu membuatku makin kesal.

“Itu ide dia. Dan yang terakhir kali aku ingat, kamu baru aja minta aku tanda tanganin surat cerai.”

Aku mendongak, kesal, tapi dia tetap menatapku. “Ayo deh. Kamu ingin ingat sesuatu, kan? Aku bakal ajak kamu ke suatu tempat.”

“Ke mana?”

Dia enggak langsung naik ke mobil, jadi aku jalan memutar dan membukakan pintu untuknya, sambil menunjuk dengan tangan agar dia masuk. “Nanti juga kamu tahu.”

“Gimana aku bisa percaya kalau kamu enggak bakal buang aku dari tebing?”

“Kamu ngomong apaan, sih?” Aku mengernyit.

“Yah, kamu lagi kesel dan kamu mau cerai sama aku. Siapa yang tahu kalau kamu niat nyingkirin aku sekalian.”

“Kamu kebanyakan habisin waktu sama Mamamu. Masuk ke mobil sekarang!”

Dia menyilangkan tangan dan menaruh satu tangan di pinggul, gaya khas dia yang menyebalkan. Aku mengeluh pelan. Dia jelas masih keras kepala seperti dulu.

“Please, masuk ke mobil.” Alisnya naik tinggi banget, nyaris sampai ke rambut. “Lavinia ... Vinnie??”

“Kenapa, sih kamu ngelakuin itu?” Dia menjatuhkan tangannya ke sisi tubuh.

“Ngelakuin apa?”

“Dulu kamu manggil aku Vinnie, ya? Sekarang kenapa kamu panggil aku Lavinia?”

Aku menggeleng pelan. “Haduuuh. Please, masuk ke mobil.”

“Kasih tahu dulu, baru aku masuk.” Dia maju, berdiri tepat di depanku.

Dia kelihatan seksi dengan baju olahraga itu. Legging-nya ketat banget di pantat, dan pahanya kelihatan kuat. Dulu, dia bisa langsung lompat dan melilitkan kakinya ke pinggangku waktu kita kayak begini.

Dulu, saat udah menikah, kita enggak bisa lepas dari satu sama lain. Tiap kali aku pulang kerja, dia sudah menunggu pakai lingerie, atau bahkan pernah masak telanjang cuma pakai celemek plastik transparan.

Aku menggeser posisi berdiri, berusaha menutupi bagian bawah celanaku yang mulai bereaksi.

“Karena itu panggilan aku ke kamu waktu kita masih sama-sama”

“Jadi sekarang aku cuma ‘Lavinia’ buat Kamu?”

Aku mengangguk. Aku enggak bisa bilang ke dia kalau manggil dia ‘Vinnie’ itu sama saja seperti mengakui kalau dia masih bisa menyakitiku. Kedengarannya bodoh, sih, tapi buatku itu penting.

“Oke,” katanya akhirnya, lalu masuk ke mobil.

Aku menutup pintu dan memutar ke sisi pengemudi. Di otakku, ini ide bodoh. Sekarang aku harus duduk di mobil ini bareng dia dan menahan diri biar enggak menyentuh dia.

Padahal pikiranku lagi memutar terus tentang kenangan lama, tentang kita dulu yang seperti sepasang kelinci tiap kali bertemu.

Dia memasang sabuk pengaman, lalu melirik ke arahku. Aku sebenarnya sudah bikin daftar tempat yang ingin kudatangi bersamanya, tapi sekarang mungkin cuma ada satu tempat. Jadi, ya, aku ambil keputusan yang paling susah, yaitu mengunjungi tempat tinggal kita dulu.

“Aku bakal bawa kamu ke tempat dulu aku ngelamar kamu.”

“Oh. Oke.”

Dia langsung diam. Sikap keras kepala dan sinisnya tadi hilang saat aku menyalakan mobil dan meluncur melewati Palomino menuju pegunungan.

Perutku terasa dikocok-kocok sepanjang perjalanan. Aku sebenarnya enggak ingin balik ke tempat itu, meskipun selama ini kenangannya enggak pernah benar-benar hilang dari kepalaku. Tapi mungkin, ini bisa bantu mengakhiri urusan antara aku dan Lavinia, agar dia tanda tangan, dan aku bisa lanjut ke kehidupan aku.

Aku berhenti di parkiran, melirik ke arah dia.

"Pakai ini," ucapku sambil mengambil hoodie dari bangku belakang. "Di sini dingin."

Dia nurut, dan tenggorokanku langsung terasa kering saat melihat dia memakai hoodie-ku lagi.

"Sini, aku gulungin lengannya!"

Aku melakukannya perlahan, sementara dia menatapku dari balik bulu matanya yang panjang.

"Makasih."

Aku menelan ludah, menahan hasrat untuk menciumnya.

"Yuk."

Aku keluar dari mobil, mengambil ransel yang selalu kubawa, berjaga-jaga kalau harus menginap di alam bebas.

Dia menatap area masuk hutan. Aku berharap dia mengingat sesuatu. Tapi enggak. Matanya tetap kosong. Dia tersenyum padaku.

"Aku siap."

"Kamu duluan, aku ngikutin dari belakang," kataku sambil menunjuk jalan.

Dia mulai menapaki jalur, melewati ranting dan daun-daun mati sisa musim kemarau. Jari-jarinya menyentuh tunas-tunas kecil di pinggir jalan.

"Udah mulai hijau lagi, ya."

"Musim hujan sebentar lagi datang."

Aku berusaha enggak terlalu sering melihatnya. Tapi sulit. Untung hoodie-ku cukup panjang untuk menutupi pantatnya itu.

"Kamu senang, enggak? Dulu kamu suka banget main di taman, kan?"

Aku sempat berhenti, tapi dia terus berjalan. Jadi aku menyusul.

"Aku ingat kamu pernah cerita soal anak-anak yang naik tebing dan kamu jadi pahlawan yang nyelametin mereka dari jurang," katanya sambil menoleh dan tersenyum.

Aku enggak menanggapi lebih jauh soal apa lagi yang dia ingat. Mungkin memang wajar, dia mengingat hal-hal tertentu tentang aku dan perasaannya.

Kami berjalan lagi sekitar lima belas menit. Begitu sampai di ujung jalur, dia memandangi dinding batu yang tingginya sedikit di atas kepalanya, lalu menoleh padaku.

"Ini mentok, ya?" katanya. Aku mengangguk dan melangkah maju, menyodorkan tanganku yang sudah mengepal jadi tumpuan. "Wah, seru juga nih."

Dia melompat-lompat mencoba mengintip ke atas batu, tapi jelas enggak akan bisa melihat apa-apa sebelum memanjatnya. Dia memanfaatkan tanganku sebagai pijakan, lalu akhirnya berhasil naik. Perutnya menempel di pinggiran batu, dan pantatnya tepat di depan wajahku.

"Kayaknya emang enggak pernah berubah," gumamku.

"Serius? Emangnya dulu aku juga kelihatan kayak gurita pas manjat gini?" Aku tertawa. Dia menoleh ke belakang. "Ayo, coba lagi!"

"Waktu aku ngelamar kamu di sini, aku sempat gigit pantatmu, lho!" kataku.

"Aku, sih enggak nolak kalau kamu mau ngulang itu sekarang."

Aku memakai dua tangan untuk mendorongnya sampai benar-benar naik ke atas. "Lain kali aja, kali, ya."

Dia mengulurkan tangan untuk membantuku naik, tapi aku malah memilih pakai ranting untuk memanjat sendiri.

"Itu tinggal lewatin pohon-pohon doang," kataku sambil menunjuk jalan dan menyuruhnya jalan lebih dulu. Aku ingin penyiksaan ini cepat selesai.

Dia berjalan pelan melewati pepohonan. Matanya berkeliling ke sana kemari, seperti belum pernah ke sini sebelumnya, padahal kami sudah sering ke tempat ini.

Tiba-tiba dia menarik napas panjang. "Ya ampun ...."

Aku belum keluar dari balik pohon, tapi aku sudah bisa membayangkan danau biru yang dikelilingi pegunungan itu. Aku enggak perlu lihat, pemandangan itu sudah melekat di kepalaku.

"Cantik banget," gumamnya.

Aku keluar dari balik pepohonan dan menatap pemandangan yang dulu pertama kali membuatku kehabisan napas. Masih sama kerennya, sepertinya alam memberi kejutan terindah bagi siapa pun yang menemukan tempat ini.

Dulu aku mengajaknya memanjat tembok ini cuma iseng. Enggak nyangka malah nemuin spot seistimewa ini. Tahun lalu aku sempat datang sekali, tapi enggak tahan, karena rasanya sesak banget.

Aku duduk di batuan pinggir danau, memerhatikan dia berjalan pelan ke arah air. Dia membalikkan badan, menatapku.

"Kamu mau ceritain tentang tempat ini?" Aku menelan kekecewaan, ternyata dengan melihat tempat ini saja ternyata belum cukup untuk mengembalikan ingatannya. "Oke."

Dia duduk di sampingku, menarik lengan jaketku untuk menutupi pahanya. Aku sebenarnya bisa saja menyalakan api unggun, tapi sepertinya kami bakal pergi begitu aku selesai cerita.

"Dulu aku ngajak kamu ke sini, ngelamar kamu, dan kamu bilang iya."

Dia melirikku sambil menyenggol lututku. "Ayo dong, cerita yang benar!."

"Barusan aku udah cerita, kan."

"Ernest, please!"

Aku mengembuskan napas panjang, memandangi danau. "Aku bikin semuanya sama seperti hari-hari biasa pas kita naik ke sini, meskipun aku yakin kamu udah curiga. Kita baru lulus, teman-teman kita udah kuliah, orang tua kamu mau pindah ke Jogja. Waktu itu musim liburan, jalur hiking ramai banget. Tapi aku ajak kamu ke sini pas senja, waktu loket hampir tutup. Aku minta bantuan di kantor ranger, jadi mereka ngasih izin."

Dia tersenyum, memiringkan kepala, seperti sedang menikmati ceritaku.

"Seperti biasa, kamu ngajak berenang. Hari itu panas banget, tapi aku enggak mau kamu nyebur dulu. Aku mau ngelamar kamu dulu. Tapi kamu malah lepas semua baju dan langsung loncat."

"Enggak, mungkin, ah!" Dia tertawa.

"Kamu beneran kayak gitu."

"Berarti aku ngerusak momen kamu dong?"

Aku menatapnya. Dia cemberut.

"Enggak, kok. Kamu baru bisa ngerusak momen kalau bilang ‘nggak’."

"Kamu pikir aku bakal nolak?"

Aku memandangnya lagi. "Enggak. Aku lebih mikirin gimana bikin semuanya spesial, bukan takut kamu nolak."

Dia menaruh tangan di dada. "Lanjut!"

"Aku bikin tenda pas kamu lagi berenang. Terus kamu aku selimutin, aku nyalain api kecil. Kamu duduk nyaman di antara kakiku. Pas matahari hampir tenggelam, aku ambil tas dan keluarin cincin. Aku suka mikir waktu itu, apa aku berhasil bikin kejutan buat kamu. Dan, ya, aku ungkapin semua perasaanku."

"Dan aku bilang iya?"

Aku tertawa. "Kamu bilang iya."

"Terus kita manfaatin tendanya?"

Aku tertawa lagi. "Banget ... Sampai salah satu tiang tendanya patah!"

"Aku suka cerita ini," katanya.

"Kita dulu pasangan yang koplak."

Aku memandangi danau jernih dan gunung-gunung di sekelilingnya, memikirkan betapa semuanya sudah berubah dalam hidupku sejak hari itu. Tapi pemandangan ini ... seperti enggak pernah berubah.

"Aku ngerasain itu," katanya pelan. Aku langsung menoleh dan melihat dia mengusap dada. "Aku ngerasain cinta itu." Setetes air mata meluncur di pipinya. "Aku cuma mau kamu tahu, kalau pun nanti semua ini akhirnya bakalan sia-sia ... aku tetap cinta sama kamu, kok."

Aku mengangguk dan menelan gumpalan di tenggorokan.

"Maaf ya," bisiknya lagi.

"Lavinia, sekarang aku cuma bisa bantu buat kasih kamu jawaban yang kamu butuhin."

"Makasih."

Baru kali ini, sejak dia kembali ke Palomino, aku sadar. Karena dia enggak punya memori, kami seperti sedang berjalan di jalur yang sama. Sama-sama mencari hal yang sama. Masalahnya, kalau nanti kami menemukan jawabannya, mungkin itu juga saatnya kami berpisah ... jalan dia ke kanan, sedangkan aku ke kiri.

1
nuraeinieni
baguslaj ernest kalau kamu sdh putus sama naomi
nuraeinieni
semoga saja ernest dan lavinia kembali brrsama
nuraeinieni
iya dong ernest kamu temani lavinia,kasian dia sendirian,lagi pula kamu itu masih suaminya lavinia.
nuraeinieni
buka saja lavinia,siapa tau dalam lemari ada petunjuk yg mengingatkan tentang pernikahan kalian.
nuraeinieni
kalau masih cinta lavinia,berusaha dong ernes bantu kembalikan ingatannya lavinia
nuraeinieni
masih penasaran dgn kepergian lavinia.
nuraeinieni
masih mengikuti alur ceritanya.
nuraeinieni
ada apa dgn pernikahan ernest dan laviana
DityaR: adaa deeeh🤭
total 1 replies
dewi
sebelum nya maaff y thor sampai sejahu ini aku blm ngerti kenapa mereka bisa berpisah yg aq tangkap drama keluarga yg rumit
DityaR: oh iya, kalau baca scanning , emang gak bakal dapet feel-nya kak, percaya deh. 🙏🤭
total 2 replies
merry yuliana
hmmm masih gelap euy kisahnya
lanjut kak
nuraeinieni
aq mampir thor
partini
dari sinopsisnya Ampe bab satu udah ruwet ini thor😂
DityaR: oh, ku kira, 🤭
total 3 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!