NovelToon NovelToon
Voice From The Future

Voice From The Future

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Romansa Fantasi / Teen School/College / Time Travel / Romansa / Enemy to Lovers
Popularitas:50
Nilai: 5
Nama Author: Amamimi

Renjiro Sato, cowok SMA biasa, menemukan MP3 player tuanya bisa menangkap siaran dari masa depan. Suara wanita di seberang sana mengaku sebagai istrinya dan memberinya "kunci jawaban" untuk mendekati Marika Tsukishima, ketua kelas paling galak dan dingin di sekolah. Tapi, apakah suara itu benar-benar membawanya pada happy ending, atau justru menjebaknya ke dalam takdir yang lebih kelam?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amamimi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Lidah yang berbelit

Basket itu simpel. Ada bola, ada keranjang, dan ada lawan yang menghalangi jalan. Kalau lawan lo... ah, maksudku, kalau lawan kamu tinggi besar, pakai kecepatan. Kalau lawan kamu cepat, pakai fisik.

Strategi. Adaptasi. Menang.

Itu filosofi hidupku selama 17 tahun. Sampai akhirnya aku ketemu cowok aneh bernama Sato Renjiro.

Jujur saja, awalnya aku kira dia cuma kutu buku lembek. Tipe cowok yang bakal lari terbirit-birit kalau kena bola nyasar. Tapi kejadian di GOR waktu itu... saat dia nekat menjatuhkan badannya ke lantai yang bau thinner cuma demi nyentuh bola...

Itu gila. Dan aku suka yang gila.

Masalahnya sekarang ada satu defender raksasa yang menghalangi jalanku: Tsukishima Marika. Si Ketua OSIS berwajah tembok itu. Dia mengurung Sato di dalam benteng OSIS-nya, mematikan apinya dengan tumpukan kertas dan aturan kaku.

"Takae-san? Woi, Kapten? Bengong aja lo!"

Suara Rina, teman setimku, menyadarkanku. Kami sedang di kantin yang riuh. Aku sedang mengaduk-aduk mi ayamku tanpa selera.

"Berisik," gumamku. "Gue lagi mikir."

Mataku menyapu seisi kantin. Radar pencariku bekerja. Dan di sana, di pojok dekat jendela (tentu saja tempat orang-orang suram), aku melihatnya.

Sato Renjiro.

Dia makan sendirian. Di tangannya ada roti yakisoba, dan di pangkuannya ada buku catatan kecil. Dia makan sambil membaca, keningnya berkerut serius. Di lengan kirinya, badge "OSIS" terpasang mentereng.

Kelihatan sibuk banget. Kelihatan... jauh.

Dulu, kalau aku mau ngomong sama cowok, aku tinggal samperin, tepuk punggungnya keras-keras, terus bilang: "Woi, minggir!" atau "Ayo tanding!"

Tapi Sato beda. Kalau aku kasar terus, dia bakal makin lari ke ketiak si Ketua OSIS itu. Si Ketua OSIS bicaranya baku, sopan, dan "efisien". Mungkin itu tipe Sato?

Aku menelan ludah. Oke. Strategi baru. Change of pace.

Aku berdiri, membawa botol minuman isotonik dingin yang baru kubeli.

"Mau kemana lo?" tanya Rina.

"Mau... diplomasi," jawabku singkat.

Aku berjalan membelah kerumunan kantin. Jantungku berdegup kencang, lebih kencang daripada pas mau free throw di detik terakhir.

Saat aku sampai di mejanya, Sato masih belum sadar. Dia terlalu fokus sama buku catatannya.

"Ehem."

Sato tersentak. Dia mendongak, dan matanya melebar kaget saat melihatku menjulang di depannya.

"Takae... san?" tanyanya ragu. Dia refleks melindungi buku catatannya, seolah takut aku bakal nyiram kuah bakso ke situ.

"Hei," sapaku. Suaraku terdengar aneh di telingaku sendiri. Terlalu pelan.

Aku menarik kursi di depannya dan duduk. Sato terlihat waspada. Dia pasti mikir aku mau nagih janji traktir atau ngajak ribut.

"Lo... eh, maksud gu... mmm... Kamu lagi sibuk?"

Sato melongo. Mulutnya terbuka sedikit. Dia menatapku seolah aku baru saja tumbuh kepala dua.

"Hah?" responnya cerdas.

Sial. Susah banget. Lidahku rasanya keseleo. Biasa ngomong lo-gue, tiba-tiba harus aku-kamu itu rasanya kayak dipaksa dribble pakai tangan kiri padahal aku kidal kanan.

"Aku tanya," ulangku, berusaha keras menahan rasa geli dan jijik pada diriku sendiri. "Kamu lagi sibuk?"

Sato mengerjap-erjap. Dia menatapku curiga. "Takae-san... kepala kamu kebentur bola basket tadi pagi?"

"Sembarangan!" bentakku refleks. "Gu... Aku sehat walafiat!"

Sato tertawa kecil. Tawa yang... manis. Oke, fokus, Yumi. Fokus.

"Sedikit sibuk," jawab Sato, akhirnya rileks. Dia menutup buku catatannya. "Lagi ngafalin kode inventaris sekolah. Marika... maksudku, Ketua... nyuruh aku hafal di luar kepala sebelum rapat nanti sore."

Marika lagi. Marika terus.

"Oh," kataku. "Berat ya jadi... orang penting."

Aku meletakkan botol isotonik itu di meja, lalu menggesernya pelan ke arahnya.

"Nih."

Sato menatap botol itu. "Buat apa?"

"Buat... kamu," kataku, memalingkan wajah ke jendela. Pipiku rasanya panas. Sialan, kenapa jadi tingkahku kayak cewek-cewek di shoujo manga sih?! "Katanya... katanya kamu baru sembuh sakit kemarin-kemarin. Jadi... ya... buat stamina."

Sato diam lama banget. Aku memberanikan diri melirik. Dia menatap botol itu, lalu menatapku dengan senyum bingung tapi tulus.

"Makasih, Takae-san," katanya. "Tapi bukannya aku yang harusnya traktir kamu? Kan aku kalah taruhan."

"Anggap aja ini..." jawabku cepat. "Diskon. Lagian... kamu kelihatan capek."

Sato membuka tutup botol itu dan meminumnya. Jakunnya bergerak naik turun. Aku menatapnya lekat-lekat. Ternyata kalau diperhatikan dari dekat, bulu matanya lumayan lentik. Dan ada tahi lalat kecil di lehernya.

"Takae-san," panggil Sato setelah selesai minum.

"Apa?"

"Kenapa tiba-tiba ngomongnya pake 'aku-kamu'?" tanyanya polos. Terlalu polos.

Mampus. Ketahuan.

Aku panik. Otakku berputar mencari alasan yang logis—alasan yang bisa diterima sama anak buah si Ketua OSIS Logis.

"Itu... anu..." Aku menggaruk belakang kepalaku yang nggak gatal. "Biar... biar lebih sopan aja! Kan kamu sekarang anggota OSIS. Pejabat sekolah. Masa aku ngomongnya kasar kayak preman? Nanti... nanti kamu dilaporin sama si Ketua Kaku itu kalau gaul sama anak nakal."

Sato terdiam sebentar, lalu dia tertawa lepas. Bukan tawa sopan, tapi tawa geli yang renyah.

"Apaan sih," katanya di sela tawa. "Nggak usah dipaksain kali. Aneh dengernya. Takae-san ya Takae-san aja. Mau ngomong kasar juga nggak apa-apa."

Aku tertegun.

"Tapi..." Sato menatapku, matanya menyipit ramah. "Makasih udah usaha. Aku ngehargain kok."

Blush.

Oke. fix. Wajahku pasti merah padam sekarang. Jantungku rasanya mau keluar dari dada.

Dia ngehargain usahaku. Dia nggak ilfeel. Dia malah ketawa.

"Ya... ya udah!" kataku salah tingkah, langsung berdiri sampai kursinya berdecit keras. "Pokoknya abisin tuh minum! Awas kalo nggak abis!"

"Siap, Kapten," goda Sato.

"Dan Sato!" panggilku lagi sebelum beranjak.

"Ya?"

Aku menatapnya tajam. Aku harus kasih statement.

"Nanti sore... kalau rapatnya udah kelar... mainlah ke lapangan lagi," kataku, suaraku sedikit melembut di akhir. "Anak-anak basket nanyain kamu. Mereka bilang... kamu jago bersih-bersih."

Sato nyengir. "Sialan. Gue dijadiin cleaning service."

"Tapi serius," kataku pelan. "Jangan kekurung terus di ruangan itu. Udara luar lebih sehat."

Tanpa nunggu jawaban, aku langsung balik badan dan jalan cepat—hampir lari—kembali ke meja timku.

"Ciee... mukanya merah," ledek Rina pas aku duduk. "Gimana diplomasinya? Sukses?"

Aku menyambar es teh Rina dan meminumnya sampai habis untuk mendinginkan badanku.

"Sukses," jawabku sambil menyeringai lebar. "Target sudah dikunci."

Aku melirik ke arah Sato lagi. Dia sedang meminum isotonik dariku sambil membaca bukunya lagi. Tapi kali ini, dia terlihat lebih santai.

Tsukishima Marika boleh punya otaknya. Dia boleh punya aturan dan jam kerjanya.

Tapi aku bakal jadi tempat dia lari pas dia butuh napas. Aku bakal jadi "udara luar"-nya.

Dan soal gaya bicara... oke, mungkin aku bakal pertahanin "aku-kamu" ini sedikit lebih lama. Ternyata... nggak buruk-buruk amat.

"Liat aja, Bu Ketua," gumamku pelan. "Pertandingan baru dimulai."

1
Celeste Banegas
Bikin nagih bacanya 😍
Starling04
Gemes banget sama karakternya, ketawa-ketiwi sendiri.
Murniyati Mommy
Asyik banget bacanya!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!