Berniat memberi kejutan kepada sang kekasih, Zifana justru yang terkejut karena ia memergoki sang kekasih sedang bercinta dengan sahabatnya sendiri. Rasa sakit itu kian dalam ketika Zifana mengetahui kalau sahabatnya sedang dalam keadaan hamil.
Zifana pun pergi dan membawa rasa sakit itu. Ia berjanji akan membuat kedua orang itu membayar mahal atas pengkhianatan yang sudah mereka lakukan.
Bisakah Zifana membalas pengkhianatan itu dan menemukan kebahagiaannya?
Simak kisahnya di sini dan jangan lupa selalu beri dukungan untuk Othor Kalem Fenomenal, Guys 😉
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Zifana-26
Hai, Nona Zifana. Senang berkenalan denganmu. Kuharap kau selalu baik-baik saja.
Kening Zifana mengerut dalam ketika ada sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Ia pun membalas pesan tersebut dengan cepat karena penasaran.
Siapa kau?
Balas Zifana.
Ting! Sebuah pesan masuk lagi.
Kau tidak perlu tahu siapa aku, tapi bersiaplah untuk kejutan yang sudah aku persiapkan untukmu. Aku yakin kau akan senang. Sampai jumpa, Nona Zifana.
Zifana kembali membalas lagi, tetapi nomornya justru sudah diblokir. Perasaan wanita itu pun mendadak gelisah. Pikirannya terus menerka siapakah gerangan yang sudah mengirimi pesan misterius itu.
Dengan gegas gadis itu turun untuk mengadu pada sang kakak. Ia tidak akan diam saja karena khawatir ada hal yang tidak diinginkan nantinya. Berbicara jujur lebih baik. Zifana pun mengetuk pintu kamar Joshua dengan cukup kencang. Hingga membuat si empu kamar itu berdecak karena tidurnya telah terganggu.
"Ada apa, sih, Zi? Ya Tuhan, bisakah kau jangan ...." Belum juga Joshua selesai berbicara, Zifana sudah nyelonong masuk bahkan ia menarik sang kakak agar duduk di ranjang. Hal itu membuat Joshua yang awalnya kesal pun menjadi terheran-heran.
"Bang, tahu nomor ini enggak?" Zifana menunjukkan kepada Joshua, nomor asing yang mengirim pesan tadi.
"Kau tidak tahu pemilik nomor ini?" Suara Joshua meninggi saat ia sudah selesai membaca pesan tersebut. Pesan yang membuat Joshua geram karena merasa ketenangan adiknya terancam.
Zifana menggeleng cepat. "Kalau aku tahu, buat apa aku tanya sama Abang."
Joshua pun mengambil ponselnya dan langsung berusaha menghubungi nomor tersebut, tetapi tidak bisa tersambung sama sekali. Joshua tak kehabisan akal. Ia mengirim nomor tersebut kepada Jason barangkali sahabatnya siapa pemilik nomor tersebut.
"Kita tunggu kabar dari Jason. Barangkali dia tahu soal nomor itu." Joshua mengembalikan ponsel milik Zifana. Tatapannya ke arah Zifana tampak khawatir. "Zi, katakan pada Abang. Apa ada yang kau lakukan kemarin atau kapan pun yang membuat seseorang mengirim teror untukmu?"
Zifana terpaku dan berusaha mengingat-ingat. Setelahnya ia mendes*h kasar. "Aku bertemu em ... bukan. Lebih tepatnya aku menemui Jayden kemarin."
Bola mata Joshua membelalak lebar bahkan ia menatap adiknya dengan tidak percaya. "Kau jangan bercanda, Zi! Kau menemui Jayden ke penjara?"
Zifana mengangguk lemah menanggapi pertanyaan itu. Joshua tampak kesal bahkan ia mengacak rambutnya secara kasar. "Aarggh! Zifana, kenapa kau menemui Jayden?"
"Aku hanya ingin melihat keadaan dia saja, Bang, dan pastiin kalau dia itu udah menderita. Biar rasa sakit hati aku terbalaskan," sahut Zifana menggebu-gebu.
Joshua merasa dongkol kepada adiknya, tetapi ia juga tidak mungkin memarahi gadis itu. Saking gemasnya Joshua hanya mencubit pipi gadis itu. "Kau sungguh ceroboh. Lebih baik sekarang kau tidurlah dan Abang akan selalu ngejagain kamu. Jason juga sudah pasti ngejaga kamu setelah tahu ada yang berusaha menerormu."
"Iya, Bang."
Zifana kembali ke kamar dengan lesu. Ia sungguh menyesal karena memang benar apa yang dikatakan sang kakak kalau ia sangatlah ceroboh.
***
"Zal, apa kau tahu nomor ini?" tanya Jason. Menunjukkan nomor itu kepada Rizal.
Rizal awalnya mengamati nomor tersebut lalu menggeleng cepat setelahnya. "Tidak, Tuan. Memang kenapa?"
"Nomor itu neror Zifana, dan aku juga tidak tahu siapa pemilik nomor tersebut karena aku melacak juga tidak bisa. Sepertinya bukan orang sembarangan," ujar Jason disertai embusan napas kasar.
"Mungkin orang yang membenci Nona Zifana atau musuh Anda, Tuan," cetus Rizal.
"Musuhku? Aku merasa tidak memiliki musuh," bantah Jason karena memang selama ini ia tidak merasa tidak memiliki musuh. Bahkan, hubungannya dengan rekan kerjanya selalu baik-baik saja.
"Tuan, mungkin Anda merasa tidak memiliki musuh, tapi Anda tidak pernah tahu siapa saja yang menganggap Anda adalah musuh. Banyak orang yang pandai memakai topeng hanya untuk menutupi wajah aslinya. Mereka mungkin akan terlihat baik di depan Anda, tetapi di belakang ... kita tidak tahu orang itu seperti apa," ujar Rizal.
Jason terdiam dan mengusap dagu untuk merenungi ucapan bawahannya tersebut. Ucapan itu memang ada benarnya, tetapi ia berusaha memikirkan siapa sekiranya yang memakai topeng di depannya, sungguh otak Jason terlalu lemah saat ini untuk memikirkan hal itu.
"Kalau begitu, bantu aku selidiki saja dan pastikan Zifana selalu dalam keadaan aman," perintah Jason dan hanya ditanggapi dengan anggukan oleh Rizal.
Setelahnya, Jason pun menyuruh lelaki di depannya agar keluar dari ruangan itu. Ketika pintu sudah tertutup rapat, Jason menyandarkan kepala di kursi. Pikirannya terus saja menerka siapa yang kira-kira melakukan ini semua.
Jika musuhnya, sepertinya tidak mungkin karena ia merasa tidak memiliki musuh. Kalau Jayden tidak mungkin juga karena lelaki itu masih di penjara. Atau jangan-jangan ....
"Leli."
Jason bergumam lirih. Ia yakin kalau yang melakukan ini adalah Leli. Bisa saja Leli menaruh dendam kepada Zifana dan meneror wanita itu. Jason pun segera menghubungi Rizal dan meminta bantuan lelaki itu agar mencari di mana keberadaan Leli dan mengawasi wanita itu jika sudah ditemukan.
"Kalau memang benar wanita itu dalang di balik semua ini maka aku akan memberi pembalasan untuknya. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Zifana." Jason mengepalkan tangan dengan erat karena hatinya terasa memanas dipenuhi emosi.
Di saat pikirannya sedang kacau ada sebuah panggilan masuk. Ketika melihat nama Rere tertera di layar, Jason pun langsung menerima panggilan tersebut tanpa pikir panjang.
"Re, kenapa wajahmu sangat jelek. Kau baru selesai menangis?" tanya Jason cemas saat ia melihat wajah Rere yang memenuhi layar, terlihat sembab seperti habis menangis hebat.
"Jason, aku sungguh sakit hati." Wanita itu kembali mengeluarkan air mata yang membuat Jason menjadi tidak tega saat melihatnya. Andai mereka dekat, sudah pasti Jason akan memeluk wanita tersebut dengan erat.
"Katakan padaku siapa yang sudah membuatmu sakit hati? Aku akan memberi perhitungan padanya," kata Jason. Hatinya yang sedang dipenuhi emosi, kini amarah itu kian meninggi hingga membuatnya seperti akan meluap karena sudah penuh di ubun-ubun.
"Pacarku selingkuh. Padahal dia sudah mengambil keperawananku. Dia bilang akan bertanggung jawab, tapi dia justru kabur dengan wanita lain. Aku sakit, Jason."
Jason yang awalnya merasa iba, justru kini terpaku. Berusaha mencerna ucapan Rere yang sangat jauh dari perkiraan. Ia masih belum percaya jika Rere sudah kehilangan kesuciannya.
"Kenapa kau mau menyerahkan kesucianmu pada kekasihmu? Kau sungguh bodoh, Re!" omel Jason geram.
"Mana aku tahu kalau ternyata dia mau pergi. Selama ini dia selalu berkata dan bersikap manis padaku." Rere membela diri.
"Kau sungguh bodoh, Zi!" umpat Jason kesal.
"Zi? Kau memanggilku Zi?" tanya Rere. Kali ini gantian wanita itu yang merasa kesal.
Jason pun mendadak grogi. Bahkan, ia memindahkan arah kamera agar Rere tidak melihat wajahnya yang dipenuhi kegugupan.
"Jason! Ke mana kau? Kenapa kau panggil aku Zi? Atau jangan-jangan Zi itu Zifana, ya?" Suara Rere terdengar meninggi.
Jason pun mengarahkan kembali kamera ke wajahnya saat ia sudah merasa tenang. "Maafkan aku, Re. Aku kelepasan. Aku sudah terbiasa di kantor sama Zifana. Jadi, aku ingetnya Zifana terus."
"Alesan! Bilang saja kalau kau suka sama Zifana," tukas Rere.
Jason tidak menjawab apa pun. Ia justru mengalihkan pembicaraan hingga membuat Rere kian curiga.