Bara, pelaut rasional, terdampar tanpa koordinat setelah badai brutal. Menjadi Musafir yang Terdampar, ia diuji oleh Syeikh Tua yang misterius: "Kau simpan laut di dadamu."
Bara menulis Janji Terpahit di Buku Doa Musafir, memprioritaskan penyembuhan Luka Sunyi keluarganya. Ribuan kilometer jauhnya, Rina merasakan Divine Echo, termasuk Mukjizat Kata "Ayah" dari putranya.
Bara pulang trauma. Tubuh ditemukan, jiwa terdampar. Dapatkah Buku Doa, yang mengungkap kecocokan kronologi doa dengan keajaiban di rumah, menyembuhkan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiga Alif, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 22: PESAN BOTOL DAN KEPASRAHAN SETELAH DOA TERTULIS
Fajar di Cadas Sunyi datang dengan warna abu-abu yang dingin. Bara duduk bersila di atas batu kapur yang permukaannya masih lembap oleh embun laut. Di telunjuk kirinya, sepotong kain dari sisa kemeja melilit luka yang baru saja ia buat semalam untuk menulis doa dengan darah. Rasa denyutnya masih ada, sebuah pengingat fisik akan pengorbanan yang telah ia lakukan demi Nirmala. Namun, di balik rasa sakit itu, ada ketenangan yang sangat dalam—sebuah ruang sunyi di dalam dada yang sebelumnya selalu penuh dengan hiruk-pikuk kecemasan akan hari esok.
Buku Doa Musafir itu kini tergeletak tertutup di sampingnya. Selesainya penulisan doa untuk putrinya menggunakan tinta darah telah membawa Bara pada sebuah ambang pintu baru. Ia tidak lagi merasa perlu memburu kapal yang melintas, tidak juga meratapi botol-botol yang pecah. Ia hanya merasa penuh.
"Kau terlihat sangat tenang untuk seseorang yang masih terdampar di ujung dunia," suara itu memecah kesunyian, datang dari arah rimbun pohon cemara laut.
Bara tidak menoleh. Ia mengenali suara yang berat namun jernih itu. "Bukankah kau yang mengatakannya, Syeikh? Bahwa pulang adalah ujian yang lebih berat daripada tersesat di sini. Aku hanya sedang mencoba mempersiapkan diri."
Syeikh Tua berjalan mendekat, tongkat musafirnya mengetuk lembut butiran pasir, menciptakan bunyi yang ganjil namun menenangkan. "Persiapanmu terlihat nyata. Kau tidak lagi memandang cakrawala dengan mata seorang pengemis."
"Semalam, aku mencium aroma parfum Rina," ucap Bara datar, matanya tetap menatap laut. "Sangat kuat. Seolah dia berdiri di belakangku."
"Lalu, apa kau percaya itu adalah tanda bahwa kau akan segera bertemu dengannya?"
Bara terdiam sejenak. Ia menarik napas dalam-dalam, merasakan aroma garam dan pembusukan bakau yang kini kembali mendominasi indra penciumannya. "Mungkin itu hanya halusinasi. Tubuhku sudah mencapai batasnya, Syeikh. Dehidrasi dan rasa lapar bisa menciptakan ribuan bayangan yang kita inginkan. Aku memilih untuk tidak menjadikannya sandaran. Biarlah dia menjadi kenangan yang manis, bukan janji yang menuntut bukti."
"Itu adalah pilihan yang berani," Syeikh Tua berhenti tepat di samping Bara. "Menolak konfirmasi adalah bentuk tertinggi dari ketaatan. Kau tidak butuh upah untuk imanmu."
Bara menunduk, melihat sisa botol kaca bening yang sebelumnya ia kumpulkan dari sampah laut yang terdampar. "Namun, aku masih memiliki satu ikhtiar logis yang tersisa. Bukan karena aku tidak percaya pada doa darah itu, tapi karena aku masih hidup. Dan selama aku masih bernapas, aku harus menghormati kehidupan dengan berusaha."
Ikhtiar Logis yang Sunyi
Bara bangkit dengan perlahan, merasakan sendi-sendinya yang kaku berderit. Ia mengambil botol kaca itu, membersihkannya dari pasir yang menempel. Karena pensil dan arangnya telah hancur menjadi debu, ia beralih ke cara lain. Ia mengais sisa jelaga hitam dari bekas api unggun kecil yang ia buat beberapa malam lalu. Ia mencampurnya dengan sedikit air laut di atas sebuah cangkang kerang besar, hingga membentuk cairan hitam pekat yang kasar.
Ia membuka Buku Doa Musafirnya pada lembaran paling belakang—sebuah halaman kosong yang tersisa di balik sampul, bukan bagian dari doa-doa yang telah ia tulis dengan darah. Dengan sangat hati-hati, ia merobek bagian kecil dari kertas itu.
"Apa yang kau tulis kali ini, Musafir? Bukankah doamu sudah kau kunci dengan darah?" tanya Syeikh Tua.
"Hanya koordinat, Syeikh. Angka-angka yang menunjukkan di mana jasad atau nyawaku berada. Ini bukan doa, ini adalah surat untuk dunia nyata," jawab Bara sambil mencelupkan sepotong kayu kecil ke dalam tinta jelaga buatannya.
Ia mulai menulis dengan tangan yang gemetar. Angka-angka itu terlihat kasar dan berantakan, jauh berbeda dengan tulisan doa darahnya yang semalam tampak bercahaya. Ini adalah janji logisnya yang paling rapuh. Ia menuliskan nama koordinat pulau ini, berharap setidaknya satu botol bisa menembus arus yang tidak terduga.
"Tinta jelaga untuk dunia, tinta darah untuk Tuhan," gumam Syeikh Tua dengan senyum tipis di balik janggut putihnya. "Kau memisahkan keduanya dengan sangat rapi."
"Dunia butuh bukti, Syeikh. Tuhan hanya butuh hati," balas Bara singkat.
Ia memasukkan kertas kecil itu ke dalam botol, lalu menutupnya rapat-rapat dengan sumbat kayu yang ia lapisi dengan getah pohon cemara yang pahit. Getah itu lengket dan berbau tajam, memastikan tidak ada air laut yang bisa merembes ke dalam.
Bara berjalan menuju bibir pantai, di mana air laut bergerak maju mundur dengan irama yang membosankan. Ia menatap botol di tangannya, lalu menatap hamparan laut lepas yang beberapa kali telah mengkhianati harapannya.
"Aku melepaskannya bukan karena aku yakin dia akan sampai," bisik Bara pada angin. "Aku melepaskannya karena aku harus bergerak."
Ia melemparkan botol itu. Botol kaca bening itu jatuh ke air dengan bunyi pelan, mengapung dan terombang-ambing. Bara berdiri diam, menunggu arus menyeretnya ke tengah, seperti yang seharusnya terjadi pada hukum alam yang ia pahami sebagai pelaut.
Ujian Kegagalan di Bibir Pantai
Namun, laut seolah memiliki kehendak lain. Botol itu hanya melayang sekitar tiga meter dari kaki Bara, lalu berhenti. Sebuah arus balik yang kecil justru mendorongnya ke samping, membuatnya tersangkut di antara celah karang-karang kecil dan akar bakau gergasi yang menonjol seperti tulang raksasa.
Bara mengerutkan kening. Ia mengambil Tongkat Musafir yang dipinjamkan Syeikh Tua padanya beberapa hari lalu sebagai sandaran. Ia mencoba mendorong botol itu ke arah arus yang lebih dalam.
"Pergilah," gumamnya.
Setiap kali Bara mendorong botol itu, ombak kecil kembali menghantamnya kembali ke daratan. Botol itu seolah-olah ditolak oleh laut. Ia hanya berputar-putar di tempat yang sama, terjebak dalam pusaran kecil yang tidak membawanya ke mana-mana.
"Arusnya sedang tidak berpihak padamu, atau mungkin laut sedang mencoba memberitahumu sesuatu," Syeikh Tua memperhatikan dari kejauhan.
Bara mencoba sekali lagi, kali ini dengan dorongan yang lebih kuat hingga ia harus masuk ke dalam air setinggi lutut. Kakinya yang penuh luka perih saat menyentuh air garam yang asin. Namun, botol itu tetap kembali, tersangkut lagi di akar bakau yang sama.
"Kenapa?" tanya Bara, suaranya mulai bergetar. "Ini hanya sebotol kecil pesan. Kenapa laut menahannya?"
"Mungkin karena kau masih menggantungkan sebagian kecil jiwamu pada botol itu, Bara. Kau bilang kau ikhlas, tapi matamu masih mengejar ke mana botol itu pergi."
Bara terdiam. Ia menatap botol yang kini terombang-ambing lesu di celah akar bakau. Rasa frustrasi yang biasanya membakar dadanya kini tidak muncul. Ia justru merasakan sebuah keheningan yang dingin. Ia menyadari sesuatu: ia memang telah melakukan segalanya. Menulis dengan darah, menulis dengan jelaga, berteriak pada kapal, dan sujud hingga dahi menyentuh pasir.
"Aku sudah selesai," ucap Bara pelan.
Ia menarik kakinya dari air, membiarkan botol itu tetap di sana, tersangkut dan tidak berguna. Ia tidak lagi mencoba mengejarnya. Ia berjalan kembali ke arah pantai kering, meninggalkan ikhtiar logis terakhirnya menjadi sampah di antara akar bakau.
"Kau tidak akan mengambilnya kembali?" tanya Syeikh Tua.
"Tidak. Jika takdir ingin dia sampai, dia akan menemukan jalannya sendiri tanpa dorongan tongkatku. Jika tidak, maka biarlah dia hancur di sana bersama sisa-sisa harapanku yang lain," jawab Bara.
Pada saat itulah, Bara benar-benar mencapai Titik Nol Kepasrahannya. Ia berdiri di sana, di perbatasan antara daratan yang memenjarakannya dan laut yang menolaknya, tanpa membawa keinginan apa pun. Ia tidak lagi meminta untuk pulang. Ia tidak lagi meminta untuk diselamatkan. Ia hanya ada.
"Sekarang, kau benar-benar menjadi seorang musafir sejati," bisik Syeikh Tua, dan suaranya terdengar seperti gema yang merambat di atas permukaan air.
Bara menancapkan Tongkat Musafir itu dalam-dalam ke dalam pasir pantai yang basah. Ia menggenggam hulu tongkat itu dengan kedua tangannya, menundukkan kepala, dan memejamkan mata. Dunia di sekelilingnya seolah menghilang. Suara ombak, kicauan burung laut, dan gesekan daun cemara memudar menjadi satu keheningan yang absolut.
Tiba-tiba, dari dalam kayu tongkat yang kasar itu, Bara merasakan sesuatu. Bukan sebuah gerakan fisik, melainkan sebuah getaran. Getaran itu terasa sangat dingin dan kuat, merambat dari telapak tangannya, naik ke lengan, hingga ke pusat dadanya. Getaran itu berdenyut dengan irama yang ganjil, sebuah frekuensi yang tidak berasal dari bumi.
"Apa ini?" bisik Bara, matanya terbuka lebar.
"Itu adalah jawaban yang kau cari, tapi bukan lewat botol kacamu," jawab Syeikh Tua, yang sosoknya mulai tampak memudar menjadi cahaya pagi. "Sinyal Arus Takdir sudah bergerak. Pengorbanan darahmu semalam telah membuka gerbang yang selama ini terkunci."
Bara merasakan getaran itu semakin kuat, membuat seluruh tubuhnya bergetar sinkron dengan frekuensi tongkat itu. Ini bukan sekadar gerakan kayu, ini adalah resonansi metafisik yang menandai bahwa di suatu tempat di luar sana, mesin takdir telah mulai berputar untuk membawanya kembali.
Getaran dari tongkat itu semakin merasuk, seolah-olah kayu tua tersebut sedang menyalurkan denyut nadi dari jantung bumi sendiri. Bara mencengkeramnya erat-erat, membiarkan energi dingin itu menembus tulang-tulangnya. Di saat yang sama, ribuan kilometer di daratan utama, rumah Rina sedang diselimuti kesunyian yang mencekam. Jam dinding tua di ruang tamu, yang biasanya berdetak dengan ritme yang teratur, tiba-tiba berhenti.
Rina berdiri di tengah dapur, memegang gelas kosong. Ia merasakan bulu kuduknya berdiri. Kehangatan yang ia rasakan setelah memeluk Mala semalam tiba-tiba digantikan oleh getaran halus yang terasa di bawah telapak kakinya. Lantai keramik itu seolah-olah bergetar sangat tipis, sebuah resonansi yang hanya bisa dirasakan oleh mereka yang jiwanya sedang terjaga.
"Ada apa, Bu? Kenapa Ibu diam saja?" tanya Mala yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengeringkan tangannya pada daster kecilnya.
"Mala, kau merasa lantai ini bergetar?" Rina bertanya balik, suaranya hampir menyerupai bisikan.
Mala berdiri diam, mencoba merasakan apa yang dirasakan ibunya. "Tidak, Bu. Tapi telinga Mala berdenging. Seperti suara lebah yang sangat jauh."
Rina meletakkan gelasnya dengan tangan gemetar. Ia berjalan menuju ruang tengah, tempat Arka duduk bersila di depan jendela yang terbuka. Putranya itu sedang menatap langit yang mendung dengan pandangan yang sangat fokus, seolah-olah ada sesuatu yang sedang meluncur turun dari awan. Arka tidak rewel, tidak juga bergumam. Ia hanya diam, tangannya diletakkan di atas lutut, persis seperti posisi Bara saat sedang bermeditasi mencari ketenangan.
"Arka?" panggil Rina lembut.
Arka tidak menoleh, namun ia mengangkat satu jarinya, menunjuk ke arah laut yang jauh di balik cakrawala kota. "Dingin... Ibu," ucap Arka lirih.
Rina terpaku. "Dingin? Kau kedinginan, Sayang?"
"Bukan. Di sana... dingin," jawab Arka lagi, jarinya tetap menunjuk ke arah yang sama.
Rina merasakan air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi di pulau tempat Bara berada, namun ia bisa merasakan sinkronisasi ini. Getaran di bawah kakinya, denging di telinga Mala, dan kata-kata Arka adalah satu kesatuan sinyal. Ia berjalan ke arah rak buku, mengambil Buku Doa cadangan yang semalam ia tuliskan pesan untuk Bara. Ia memeluk buku itu ke dadanya, mencoba menyalurkan ketenangan kepada anak-anaknya.
"Iya, Nak. Di sana memang dingin, tapi Ayah pasti sedang berusaha menghangatkan dirinya," ucap Rina, meskipun ia sendiri tidak yakin dengan apa yang ia katakan.
Gema Takdir yang Merambat
Di Pulau Cadas Sunyi, getaran pada Tongkat Musafir mulai melambat, meninggalkan rasa kebas yang aneh di tangan Bara. Ia melepaskan pegangannya, menatap telapak tangannya yang kini memerah. Syeikh Tua sudah tidak terlihat lagi di pantai, meninggalkan Bara sendirian dengan botol pesannya yang masih tersangkut di akar bakau.
"Kau menahannya karena kau punya cara lain, kan?" Bara bertanya pada laut yang luas. "Kau menahan botolku karena koordinat itu tidak lagi penting jika Kau sendiri yang akan membawaku pulang."
Bara duduk kembali di pasir, membelakangi laut. Ia tidak lagi peduli pada botol itu. Kepasrahan mutlaknya telah mengubah persepsinya tentang ruang dan waktu. Ia merasa seolah-olah ia bisa mendengar suara Rina yang sedang menenangkan Arka, ia bisa merasakan hangatnya pelukan Mala. Jarak ribuan kilometer itu kini terasa seperti selembar kertas tipis yang bisa ia tembus hanya dengan memejamkan mata.
"Ayah tahu kau ada di sana, Mala," bisik Bara. "Ayah sudah menulis janjinya. Darah Ayah ada di buku itu, dan cinta Ayah ada di sekelilingmu."
Bara mengambil sehelai daun cemara laut yang gugur di dekatnya. Ia memilin daun itu di antara jari-jarinya yang kasar. Getah pahitnya meresap ke kulitnya, namun ia tidak lagi merasa pahit itu sebagai penderitaan. Ia merasakannya sebagai bagian dari proses penyembuhan.
Tiba-tiba, permukaan air laut di depannya yang tadi tenang mulai bergejolak. Bukan karena angin, melainkan karena arus bawah yang sangat kuat sedang berputar. Pusaran air itu perlahan-lahan mendekati tempat botol pesannya tersangkut. Dengan satu tarikan yang halus namun bertenaga, pusaran itu menarik botol kaca tersebut keluar dari celah akar bakau dan menyeretnya masuk ke dalam arus utama yang menuju ke tengah samudra.
Bara melihat kejadian itu dengan mata kepala sendiri. Ia tidak bersorak, ia tidak melompat kegirangan. Ia hanya tersenyum tipis.
"Sekarang kau membawanya," ucap Bara. "Setelah aku berhenti mendorongmu, kau justru mengambilnya."
"Itulah rahasia dari Arus Kepulangan, Bara," suara Syeikh Tua kembali terdengar, kali ini seperti desau angin di sela daun cemara. "Selama kau masih menggenggam, ia akan diam. Saat kau melepaskan, ia akan bergerak."
Bara mengangguk paham. Ia merasa sangat lelah, namun kelelahan ini adalah kelelahan yang nikmat. Ia merasa seolah seluruh beban hidupnya telah diangkat. Ia berjalan perlahan kembali menuju guanya, tempat ia menyimpan Buku Doa Musafirnya. Ia ingin beristirahat, membiarkan energi takdir bekerja sepenuhnya tanpa campur tangannya lagi.
Sinyal yang Menembus Dinding Rumah
Di rumah, getaran yang dirasakan Rina perlahan memudar, namun meninggalkan jejak berupa rasa tenang yang belum pernah ia alami. Ia melihat jam dindingnya kembali berdetak, namun ada yang berbeda. Suara detaknya terdengar lebih mantap, lebih berwibawa.
Rina duduk di sofa, memandangi Arka dan Mala yang kini mulai bermain bersama di lantai—sesuatu yang sangat langka terjadi. Mala tampak sedang membacakan buku cerita untuk adiknya, dan Arka mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa ada tanda-tanda ingin mengamuk.
"Kenapa Ibu tersenyum?" tanya Mala sambil menoleh.
"Ibu hanya merasa... Ayah baru saja mengirimkan surat untuk kita," jawab Rina lembut.
"Tapi tidak ada Pak Pos yang datang, Bu," sahut Mala heran.
"Surat Ayah tidak dibawa oleh Pak Pos, Mala. Surat Ayah dibawa oleh ombak, dan dibacakan oleh hati kita sendiri," Rina mengusap rambut Mala.
Tiba-tiba, telepon rumah berdering. Rina tersentak, rasa takut sempat kembali menyelinap. Ia khawatir itu adalah Bapak Harjo atau Herman yang kembali menagih janji. Dengan ragu, ia mengangkat gagang telepon.
"Halo?"
"Selamat siang, apakah ini kediaman Nyonya Rina?" suara seorang pria yang berat namun sopan terdengar di seberang sana.
"Iya, saya sendiri. Ada apa ya?"
"Saya Kapten Hadi dari otoritas pelabuhan. Kami ingin menginformasikan bahwa ada laporan dari salah satu kapal penangkap ikan tentang penampakan benda-benda dari KM Harapan Jaya di area koordinat yang selama ini dianggap mustahil. Kami akan memulai pemindaian ulang di area tersebut besok pagi."
Rina menutup mulutnya dengan tangan. Air mata kebahagiaan tumpah begitu saja. "Terima kasih... terima kasih banyak, Pak."
"Kami belum bisa menjanjikan apa-apa, Nyonya. Tapi arus laut baru-baru ini bergerak sangat aneh, seolah-olah mereka sengaja mendorong puing-puing itu ke arah kami. Kami akan terus memberi kabar."
Gagang telepon diletakkan kembali pada tempatnya. Rina merosot ke lantai, bersujud dengan penuh syukur. Sinyal Arus Takdir yang baru saja bergetar di tangan Bara di pulau terpencil, telah sampai ke daratan dalam bentuk harapan yang nyata. Penguncian spiritual telah selesai, dan kini dunia nyata mulai bergerak mengikuti irama doa yang ditulis dengan darah.
Bara di pulaunya, dan Rina di rumahnya, kini berada dalam satu frekuensi yang sama. Meskipun mereka dipisahkan oleh lautan yang ganas, mereka tahu bahwa titik koordinat takdir mereka telah bertemu di satu titik: Kepulangan.