Winter Alzona, CEO termuda dan tercantik Asia Tenggara, berdiri di puncak kejayaannya.
Namun di balik glamor itu, dia menyimpan satu tujuan: menghancurkan pria yang dulu membuatnya hampir kehilangan segalanya—Darren Reigar, pengusaha muda ambisius yang dulu menginjak harga dirinya.
Saat perusahaan Darren terancam bangkrut akibat skandal internal, Winter menawarkan “bantuan”…
Dengan satu syarat: Darren harus menikah dengannya.
Pernikahan dingin itu seharusnya hanya alat balas dendam Winter. Dia ingin menunjukkan bahwa dialah yang sekarang memegang kuasa—bahwa Darren pernah meremehkan orang yang salah.
Tapi ada satu hal yang tidak dia prediksi:
Darren tidak lagi sama.
Pria itu misterius, lebih gelap, lebih menggoda… dan tampak menyimpan rahasia yang membuat Winter justru terjebak dalam permainan berbeda—permainan ketertarikan, obsesi, dan keintiman yang makin hari makin membakar batas mereka.
Apakah ini perang balas dendam…
Atau cinta yang dipaksakan takdir?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 26 — “Di Antara Kota Asing dan Rasa Aneh”
Matahari Tokyo di musim gugur menyelinap melalui celah tirai otomatis Imperial Suite, menyinari wajah Winter yang masih terlelap. Saat ia membuka mata, hal pertama yang ia rasakan adalah kehangatan yang tidak biasa. Ia menyadari kepalanya tidak lagi berada di atas bantal, melainkan di atas lengan kokoh Darren.
Winter membeku. Napasnya tertahan. Darren masih tertidur, wajahnya terlihat jauh lebih muda dan tenang saat tidak ada beban dunia korporat yang menghimpitnya. Dalam jarak sedekat ini, Winter bisa melihat bekas luka kecil di dekat alis Darren—luka yang ia dapatkan saat mencoba melindunginya dari pecahan gelas di sebuah kedai ramen tua di Shinjuku, sembilan tahun lalu.
Ingatan tentang pengakuan Darren semalam menghantamnya kembali. “Aku berdiri di seberang jalan... Ayahmu tidak memberiku pilihan.”
Winter perlahan menarik diri, berusaha tidak membangunkan pria itu. Ia beranjak menuju jendela besar, menatap ke arah stasiun Shinjuku yang mulai dipadati manusia. Rasa mual melilit perutnya saat ia menyadari bahwa selama sembilan tahun ini, ia telah memuja ingatan tentang ayahnya sambil menghancurkan pria yang justru berkorban untuk melindunginya.
"Kau sudah bangun?" suara bariton Darren yang serak karena baru bangun tidur memecah keheningan.
Winter menoleh, matanya masih terlihat sedikit sembab. "Ceritakan padaku versimu yang sebenarnya, Darren. Segalanya. Jangan ada yang kau tutup-tutupi lagi."
Darren duduk di pinggir tempat tidur, mengacak rambutnya yang berantakan. Ia menatap Winter dengan pandangan yang dalam. "Setelah hari itu, ayahmu memaksaku menandatangani surat pengakuan utang fiktif atas nama ayahku. Dia bilang, jika aku tetap berada di Jepang atau mencoba menghubungimu, dia akan menyerahkan surat itu ke otoritas. Ayahku saat itu sudah sakit-sakitan. Aku tidak punya pilihan selain menghilang ke London, bekerja serabutan, dan membangun Reigar Tech dari nol agar suatu hari nanti aku punya cukup kekuatan untuk kembali dan mengambilmu dari tangannya."
"Tapi ayahku sudah meninggal dua tahun lalu," bisik Winter. "Kenapa kau tidak kembali saat itu?"
"Karena saat itu Alzona sedang goyah, Winter. Lysandra dan beberapa faksi di dewan direksi mencoba mendepakmu. Jika aku muncul sebagai 'mantan kekasih yang miskin', mereka akan menggunakan hubungan kita untuk menjatuhkan kredibilitasmu. Aku harus menunggu sampai Reigar Tech menjadi raksasa yang cukup besar untuk menjadi perisai bagimu. Pernikahan kontrak ini... ini adalah satu-satunya cara legal agar aku bisa menyuntikkan dana dan perlindungan ke Alzona tanpa membuat direksi curiga tentang motif pribadiku."
Winter merasa dunianya terbalik. Semua kepingan puzzle yang selama ini terasa janggal mendadak jatuh ke tempatnya. Dominasi Darren di rapat dewan, sikap pasrahnya terhadap kontrak yang diperpendek, perlindungannya terhadap Ethan Wray—semuanya adalah bagian dari rencana besar untuk menjaga Winter tetap di atas takhta.
"Kenapa kau begitu bodoh?" tanya Winter, air mata kembali mengalir. "Kenapa kau membiarkanku memperlakukanmu seperti sampah di Jakarta?"
Darren berdiri, melangkah mendekati Winter. Ia berhenti tepat di depan wanita itu, namun tidak menyentuhnya. "Karena aku layak mendapatkannya. Aku tetap meninggalkanmu hari itu, Winter. Apapun alasannya, aku membiarkanmu menangis sendirian di bawah salju. Rasa sakit yang kau rasakan selama sembilan tahun adalah hutang yang tidak akan pernah bisa kulunasi, tidak peduli berapa banyak paten teknologi yang kuberikan padamu."
Keheningan di antara mereka kali ini terasa berbeda. Ada rasa pahit yang tersisa, namun ada juga kelegaan yang aneh.
Pertemuan bisnis dengan Japan Tech hari itu berlangsung di sebuah restoran tradisional di daerah Akasaka. Winter menjalankan perannya sebagai CEO dengan sempurna, namun pikirannya terus melayang. Darren berada di sampingnya, menjadi mitra bicara yang brilian bagi para investor Jepang. Namun, setiap kali mata mereka bertemu di sela-sela negosiasi, ada percikan komunikasi yang melampaui kata-kata.
Setelah pertemuan selesai, Darren menolak mobil jemputan hotel. "Biarkan kami berjalan-jalan sebentar," ujarnya pada asisten.
Mereka berjalan di sepanjang jalanan kecil di daerah Omotesando yang dipenuhi daun-daun maple merah yang berguguran. Tokyo terasa sangat asing namun sekaligus sangat familiar.
"Ingat tempat ini?" tanya Darren, menunjuk ke sebuah taman kecil di sudut jalan.
Winter mengangguk. "Tempat kita makan es krim matcha meskipun suhu sedang minus lima derajat."
Darren tertawa kecil. "Kau sangat keras kepala saat itu. Dan sepertinya itu tidak berubah."
"Aku harus keras kepala agar bisa bertahan, Darren," balas Winter pelan. Ia berhenti berjalan dan menatap Darren. "Aku tidak tahu harus berbuat apa sekarang. Dendam ini... ini adalah bahan bakar hidupku selama hampir satu dekade. Jika aku melepaskannya, aku tidak tahu siapa diriku lagi."
Darren mengambil tangan Winter, kali ini ia menggenggamnya dengan erat. "Kau adalah Winter Alzona. Kau tidak butuh dendam untuk menjadi hebat. Kau hanya butuh... kejujuran pada dirimu sendiri."
Winter menatap genggaman tangan mereka. Rasa aneh itu—rasa hangat yang selama ini ia sangkal—kini meledak di dadanya. Di tengah kota asing ini, di tengah ribuan orang yang tidak mengenal mereka, Winter merasa untuk pertama kalinya ia tidak perlu menjadi "CEO yang kaku".
Namun, keraguan tetap ada. Bagaimana dengan Lysandra? Bagaimana dengan bukti-bukti yang ditunjukkan adiknya di Jakarta? Jika Darren begitu tulus, kenapa Lysandra bersikeras bahwa Darren adalah musuh?
"Darren, ada satu hal lagi," ujar Winter. "Lysandra... dia menunjukkan rekaman suara dan dokumen yang mengatakan kau berencana mengambil alih Alzona melalui firma di Jepang."
Darren menghentikan langkahnya. Ekspresinya berubah menjadi sangat serius. "Firma yang mana?"
"Saito & Associates."
Darren menghela napas panjang, wajahnya menunjukkan kekecewaan yang mendalam. "Winter, Saito & Associates adalah firma yang aku gunakan untuk membeli kembali aset-aset Alzona yang secara diam-diam dijual oleh Lysandra kepada Ethan Wray setahun yang lalu. Aku tidak mengambil alih perusahanmu. Aku sedang mengumpulkan bagian-bagian perusahaanmu yang dicuri oleh adikmu sendiri."
Winter terperanjat. "Apa?"
"Lysandra memiliki hutang judi dan investasi bodoh yang sangat besar di Macau. Dia menjual sebagian saham Alzona ke Wray Group untuk menutupinya. Jika aku tidak bertindak, Wray Group akan memiliki mayoritas suara di dewan direksi dalam waktu singkat. Aku mengumpulkannya di bawah nama Reigar agar aku bisa mengembalikannya padamu saat pernikahan ini berakhir."
Winter merasa seolah-olah seluruh keluarganya adalah sebuah rumah kartu yang sedang runtuh di hadapannya. Ayah yang ia puja adalah manipulator, dan adik yang ia lindungi adalah pengkhianat. Dan di tengah semua kekacauan itu, pria yang ia coba hancurkan adalah satu-satunya orang yang memegang fondasi rumah itu agar tidak runtuh sepenuhnya.
"Aku butuh waktu untuk mencerna ini semua," bisik Winter, merasa sangat lelah secara emosional.
"Aku tahu. Dan aku akan menunggumu, Winter. Sama seperti aku menunggumu di Tokyo selama sembilan tahun ini, meskipun dalam bayang-bayang," sahut Darren.
Malam itu, saat mereka kembali ke hotel, ketegangan di antara mereka bukan lagi tentang benci. Itu adalah ketegangan tentang rasa yang tertahan, tentang rindu yang terlalu lama dipendam, dan tentang kenyataan bahwa di antara mereka, kontrak hanyalah selembar kertas yang tidak ada artinya dibanding ikatan yang tak pernah benar-benar putus.