NovelToon NovelToon
THE SECRETARY SCANDAL

THE SECRETARY SCANDAL

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Playboy / Obsesi / Kehidupan di Kantor / Romansa / Fantasi Wanita
Popularitas:35.4k
Nilai: 5
Nama Author: NonaLebah

Dia mendengar kalimat yang menghancurkan hatinya dari balik pintu:
"Dia cuma teman tidur, jangan dibawa serius."

Selama tiga tahun, Karmel Agata percaya cintanya pada Renzi Jayawardhana – bosnya yang jenius dan playboy – adalah kisah nyata. Sampai suatu hari, kebenaran pahit terungkap. Bukan sekadar dikhianati, dia ternyata hanya salah satu dari koleksi wanita Renzi.

Dengan kecerdasan dan dendam membara, Karmel merancang kepergian sempurna.

Tapi Renzi bukan pria yang rela kehilangan.
Ketika Karmel kembali sebagai wanita karir sukses di perusahaan rival, Renzi bersumpah merebutnya kembali. Dengan uang, kekuasaan, dan rahasia-rahasia kelam yang ia simpan, Renzi siap menghancurkan semua yang Karmel bangun.

Sebuah pertarungan mematikan dimulai.
Di papan catur bisnis dan hati, siapa yang akan menang? Mantan sekretaris yang cerdas dan penuh dendam, atau bos jenius yang tak kenal kata "tidak"?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NonaLebah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 31

Ballroom yang megah berubah menjadi panggung sosial yang berisik. Cahaya gemerlap, denting gelas, dan tawa yang terkadang dipaksakan menciptakan simfoni kemunafikan. Di tengah keramaian itu, Renzi bagai magnet. Ketampanannya yang kini diperkuat potongan rambut segar dan setelan jas yang menempel sempurna di tubuh atletisnya, menarik perhatian seperti cahaya menarik ngengat. Tatapan-tatapan penuh minat, terkadang takzim, seringkali menggoda, mengikutinya dari berbagai sudut ruangan.

Karmel, dengan sensitivitasnya yang tajam, memperhatikan itu semua. Dia mengenali beberapa wajah di antara kerumunan wanita yang melirik Renzi—seorang model dengan rambut pirang platinum yang pernah menjadi berita kecil di kolom gosip, seorang socialite dengan senyum terlalu manis yang fotonya pernah tidak sengaja ia lihat di ponsel Renzi berbulan lalu. Mereka semua memandangnya dengan mata yang sama: penilaian, kecemburuan, dan sedikit cemoohan. Mereka melihat Karmel hanya sebagai aksesori hari ini, bukan ancaman yang serius. Gelombang kecemasan dan amarah mulai menggelora di dalamnya.

Berusaha mengalihkan perasaan, Karmel menuju ke meja prasmanan yang berkelimpahan makanan gourmet. Dia mengambil piring kristal dan mulai mengisiinya—canapé salmon, truffle risotto ball, foie gras. Dia makan dengan lahap, bukan karena lapar, tetapi karena ingin mengisi kekosongan yang mulai merayap dan membungkam suara-suara di kepalanya. Setiap suapan adalah pelarian.

Renzi, yang kembali setelah berbicara singkat dengan seseorang, mendekatinya. Dia berdiri sangat dekat, aroma kayunya menutupi aroma makanan. "Jangan kebanyakan makan, nanti gendut," ujarnya, suara rendah hanya untuknya, tapi nada datarnya terdengar seperti kritik tajam di telinga Karmel yang sudah sensitif.

Karmel menoleh, mata hijau hazelnya menyala. "Kamu jauh-jauh deh dari aku. Dari tadi komentar terus," keluhnya, sengaja mengambil potongan kue keju kecil dan memakannya di depannya, sebuah tantangan kecil.

Renzi menghela napas, melihat sekeliling. "Oke. Aku mau temui beberapa relasi bisnis dulu. Kamu jangan—" ucapnya, ingin bilang 'jangan kemana-mana' atau 'jangan banyak bergaul dengan pria lain', tapi kalimat itu terpotong.

"Oke. Bye!" seru Karmel dengan nada terlalu ceria, tangannya mendorong lembut lengan Renzi, memotong kalimatnya dan mengusirnya pergi.

Renzi meliriknya dengan ekspresi kesal bercampur keheranan, sebelum akhirnya wajahnya kembali menjadi topeng bisnis yang dingin. Dia membalikkan badan dan menyatu dengan kerumunan eksekutif di seberang ruangan, meninggalkan Karmel sendirian di tengah keramaian.

Tak lama kemudian, Karmel merasa perlu ke toilet. Ruang toilet wanita yang mewah, dilapisi marmer dan berhias bunga segar, terasa seperti ruang penyelamatan sementara. Saat dia duduk di dalam bilik tertutup, mencoba menarik napas, terdengar langkah kaki sepatu tinggi yang click-clack memasuki ruangan, diikuti oleh suara cekikikan dan desahan.

"Liat kan tadi Renzi nyamperin aku? Aku bilang apa," suara pertama, bernada manis namun penuh sikap. "Perempuan yang dibawa Renzi itu cuma mainan Renzi aja, paling. Cuma buat temenin ke acara gini, gitu-gitu doang."

Karmel membeku. Darahnya seolah membeku di pembuluh nadinya.

"Iya, aku juga mikirnya gitu," sahut suara kedua, lebih tajam. "Abis ini juga paling ditinggalin lagi sama Renzi kalau udah bosen. Udah pola dia. Tempat tidur doang, nggak lebih."

Tawa mereka, dingin dan menusuk, bergema di ruangan ber-marmer itu sebelum akhirnya redup seiring dengan langkah mereka yang pergi.

Di dalam bilik yang sunyi, Karmel terduduk lumpuh. Kata-kata itu seperti pisau yang memutar-mutar luka lama.

'Mainan?'

Pikiran itu berdesir. Lalu, seperti banjir bandang, kenangan itu datang: malam-malam panas yang berakhir dengan dingin, kata-kata Renzi di suatu pagi setelah mereka bercinta, diucapkan dengan santai sambil mengikat dasi: "Kita cuma teman tidur, Karmel. Jangan berharap lebih." Saat itu, kata-kata itu menyakitkan. Sekarang, didengungkan kembali oleh suara orang asing, rasanya seperti vonis mati. Apakah itu semua yang dia lihat? Apakah setiap sentuhan, setiap kemarahan yang panas, setiap tatapan penuh arti tadi di butik, hanyalah bagian dari permainan untuknya?

Dia keluar dari bilik dengan langkah gontai. Di depan cermin besar yang bingkainya berlapis emas, dia melihat wajahnya sendiri—wanita yang sudah didandani sedemikian cantik, dengan gaun yang mahal, tapi terasa seperti kostum yang salah. Dengan tangan gemetar, dia memperbaiki sedikit lipstiknya yang hampir luntur, menata sehelai rambut yang lepas. Bayangan di cermin itu terlihat kuat, tapi di dalam, dia merasa remuk.

Dia meninggalkan toilet, berjalan tanpa arah yang jelas di pinggiran ballroom, pikirannya berputar-putar, matanya sedikit berkabut. Begitu larutnya dalam pikirannya sendiri, sehingga dia tidak melihat seorang pria berambut sedikit perak yang sedang berdiri berdekatan dengan istrinya.

Duar.

Dia menabrak bahu pria itu.

"Oh, maaf, Pak!" ujar Karmel buru-buru, menatap ke bawah karena malu.

"Karmel?"

Suara itu terdengar familiar. Karmel mengangkat wajahnya. Di hadapannya berdiri Pak Tomi, mantan bosnya dulu di Bumi Atmaja Nickel yang juga ternyata berteman relasi dengan ayah Herry.

"Pak Tomi? Ibu Sari?" Karmel membenarkan posturnya, memaksakan senyum yang terasa kaku di wajahnya. Senyum itu seolah menjadi perisai tipis dari kekacauan batinnya. Detak jantungnya yang baru saja dipercepat oleh cemoohan di toilet, kini berusaha ditenangkan oleh kehadiran figur yang dihormatinya ini.

Namun, sebelum percakapan bisa berlanjut, sebuah suara yang akrab namun kini terasa menusuk memanggil dari belakang bahu Pak Tomi.

"Mel?"

Karmel berbalik. Di sana, berdiri Bima, mengenakan setelan jas navy yang elegan, wajahnya tampak bersih dan teduh di bawah cahaya lampu kristal. Tapi matanya, yang biasanya selalu hangat, kini memancarkan kejutan dan sesuatu yang lebih dalam—kekecewaan yang berusaha disembunyikan.

"Mas Bima..." Suara Karmel hampir tercekik. Perasaannya campur aduk: rasa malu yang membakar karena kebohongannya, rasa bersalah yang menusuk, dan sebuah keinginan aneh untuk bersembunyi. Dia merasa dirinya tengah berdiri di persimpangan dua dunia yang saling bertabrakan.

"Kamu di sini?" tanya Bima, langkahnya mendekat. Nada suaranya tetap lembut, tetapi ada pertanyaan yang tak terucap di dalamnya: Bukankah kamu ada acara keluarga?

"Hummm. Iya, Mas..." Karmel mengangguk, tangannya tak sadar meremas ujung clutch hitamnya. "Maaf." Kata itu keluar seperti desahan, sebuah pengakuan kecil atas dusta yang melukai ketulusannya.

Bima memandangnya sejenak, matanya menyapu penampilan Karmel yang memesona sekaligus rentan dalam gaun hitam itu. Sebuah tarikan napas halus. "Nggak apa-apa, Mel," ujarnya, dan kelembutan itu justru membuat Karmel semakin merasa bersalah. "Kamu cantik banget malam ini."

Pujian tulus itu seperti garam di luka. "Makasih, Mas," jawab Karmel, menunduk, menghindari tatapannya yang bisa melihat terlalu dalam.

Dari seberang ruangan, di balik kerumunan orang yang sedang bersulang, sepasang mata hitam yang seperti elang telah mengamati seluruh interaksi ini sejak awal. Renzi. Wajahnya yang tadi masih menunjukkan ekspresi bisnis yang netral, kini berubah menjadi dingin yang membeku. Alisnya turun sedikit, membentuk garis keras. Dia melihat cara Bima memandang Karmel—penuh perhatian, penuh rasa—dan cara Karmel menunduk, seperti anak yang ketahuan bersalah. Sebuah api kecemburuan dan kemarahan yang dingin menyala di dadanya.

Dengan langkah yang pasti dan penuh wibawa, Renzi meninggalkan lingkaran eksekutif yang sedang ia ajak bicara. Langkahnya tidak terburu-buru, namun setiap hentakan sepatu Oxford-nya di lantai marmer seakan menandai wilayah kekuasaannya. Ia mendekat, dan aura dinginnya segera terasa, mengubah dinamika grup kecil itu.

"Selamat malam, Pak Tomi, dan Pak Bima," sapa Renzi, suaranya halus namun memotong seperti silet. Senyum profesional yang sempurna menghiasi bibirnya, tetapi tidak sampai ke matanya. "Senang bisa bertemu di sini."

Sebelum ada yang bisa menanggapi lebih lanjut, Renzi melakukan gerakan yang lancar namun penuh klaim. Tangannya yang besar dan hangat meraih pinggang ramping Karmel, menariknya dengan lembut namun pasti hingga tubuh Karmel bersandar pada sisinya. Telapak tangannya menempel erat di pinggang Karmel yang hanya dibalut sutra tipis, panasnya menembus kain. Itu bukan sekadar sentuhan, melainkan sebuah stake of claim, sebuah pemberitahuan visual yang jelas bagi siapa pun yang melihat: Dia milikku.

Karmel menegang. Sentuhan itu, yang seharusnya akrab, terasa seperti belenggu di tengah situasi ini. Pipinya memerah, campuran antara malu, marah, dan sebuah pengakuan memalukan bahwa di kedalaman hatinya, sentuhan itu tetap membuatnya bergetar.

"Selamat malam, Pak Renzi," balas Pak Tomi dengan tenang, matanya yang berpengalaman menangkap ketegangan di antara mereka. "Saya juga senang bisa bertemu Bapak di sini."

Namun, Bima terdiam. Senyumnya memudar. Tatapannya tertuju pada tangan Renzi yang dengan posesif melingkari pinggang Karmel, lalu naik ke wajah Karmel yang tampak terjepit. Ada sesuatu yang padam di matanya—harapan, atau mungkin ilusi.

Renzi, dengan liciknya, segera mengalihkan percakapan ke medan di mana ia paling berkuasa: bisnis. "Bagaimana kondisi perusahaan Bapak sekarang?" tanyanya pada Pak Tomi, tetapi pertanyaan itu menggema makna ganda. Ia mengingatkan semua orang, terutama Bima, tentang jasanya yang besar dalam menyelamatkan PT Bumi Atmaja Nickel dari kebangkrutan—sebuah transaksi di mana Renzi adalah penyelamat sekaligus pengendali.

"Berkat bantuan Pak Renzi, sekarang kondisi perusahaan sudah stabil," jawab Pak Tomi, mengangguk hormat. "Terima kasih, Pak." Rasa hormat itu tulus, namun juga merupakan pengakuan atas hierarki yang ada.

Renzi lalu memalingkan tatapan tajamnya ke Bima, yang masih diam. "Pak Bima?" panggilnya, suaranya seperti es yang berderak, memecah kesunyian pria itu. Ia sengaja menggunakan gelar formal 'Pak', menegaskan jarak dan status.

Bima seakan tersentak dari lamunannya. Ia menarik napas, berusaha menjaga profesionalisme. "Iya, Pak. Saya sangat berterima kasih atas bantuan Pak Renzi," ujarnya, terdengar datar, namun Karmel bisa menangkap getar kegetiran di baliknya.

Renzi mengangguk dingin, sebuah anggukan penerimaan yang sekaligus merupakan tanda bahwa pembicaraan usai. "Kalau begitu, saya tinggal dulu ya," ucapnya.

Lalu, tanpa aba-aba, tanpa memedulikan perasaan orang lain, Renzi mempererat dekapannya di pinggang Karmel. Sutra gaun itu berkerut dalam genggamannya. Dia membelokkan tubuh Karmel, menyelaraskannya sepenuhnya dengan tubuhnya sendiri. Saat berbalik, dia menunduk sedikit ke telinga Karmel, namun dengan sengaja mengeraskan suaranya agar terdengar oleh Bima dan Pak Tomi.

"Ayo, sayang."

Kata 'sayang' itu diucapkan dengan tekanan yang aneh—bukan lembut, tetapi penuh kepemilikan dan kemenangan. Seolah-olah ia berkata, Lihatlah, dia akan selalu mengikuti aku.

Karmel terpaksa melangkah, tubuhnya diseret oleh kekuatan tangan Renzi. Dia melemparkan pandangan terakhir yang cepat—sebuah pandangan yang berisi permintaan maaf, kebingungan, dan rasa sakit—kepada Bima, sebelum akhirnya terpaksa berbalik, meninggalkan pria yang memperlakukannya dengan baik itu, untuk kembali ke dalam cengkeraman pria yang memperlakukannya seperti properti pribadi.

Di belakang mereka, Bima berdiri kaku, wajahnya perlahan-lahan kehilangan cahaya. Pak Tomi menghela napas pelan, sementara istrinya, Ibu Sari, hanya bisa menggenggam lengan suaminya, matanya penuh simpati pada Karmel dan sebuah keprihatinan yang dalam pada dinamika beracun yang baru saja mereka saksikan. Dalam ballroom yang meriah, sebuah drama kecil telah berakhir dengan kemenangan strategis Renzi, tetapi dengan harga yang mungkin suatu hari harus dibayar dengan sangat mahal.

1
La Rue
biar Renzi tahu konsekuensi dari segala perbuatannya terhadap Karmel
DiTA
lanjut Thor...semakin seruu...
DiTA
kasian juga dg Renzi,sebenarnya cinta tapi egoisss...sdgkan Bima sy pun tak sukaa...spt nya drama banget dia
Pcy
karmel cerdas tpi kok bikin gedeg sama ke oon nya...masa iya2 aja
IndahMulya
knpa yaa aku gedeg banget sama bima
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊: aku ke Renzi...knp ke Bima kak??😄😄
total 2 replies
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
OMG Renzi Karmel harusnya udah punya 4 anak...
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
astaga melll...😠😠😠
Masitah Zuliani
lanjuttt thor
Aisyah Ranni
siapa ya apakah Henry ....
shenina
Hhhmmmm 😮‍💨
La Rue
sedihnya
🌺ziRa_hEnY💞🐊🐊
sakit jiwa Renzi😠😠
shenina
nexttt
Masitah Zuliani
up lagi thorrrrr😍
Dilla Fadilla
Lanjuttt yg bnyk 💪👍
kalea rizuky
novel yg menginjak2 harga diri perempuan pantes sepi like
kalea rizuky
mati aja Mel dripda jd budak nafsu
kalea rizuky
salah sendiri murahan goblok
kalea rizuky
sekali pelacur ttep pelacur
kalea rizuky
novel apaan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!