Alvan hanyalah seorang anak petani yang baru lulus kuliah.
Hidup sederhana di desa, membantu orang tuanya di sawah sambil mencari arah hidup yang belum pasti.
Satu kalimat dari gurunya dulu selalu terngiang:
“Nak, ibu sarankan kamu lanjut kuliah"
Namun dunia Alvan berubah bukan karena gelar tinggi, melainkan karena satu tindakan kecil, menolong seorang anak yang terjatuh di sawah.
Ding!
[Sistem berhasil terikat]
Sejak hari itu, kehidupannya tak lagi sama.
Setiap kebaikan kecil memberinya “misi,” setiap tindakan membawa “hadiah”
dan setiap bibit yang ia tanam… bisa muncul nyata di hadapannya.
Namun, seiring waktu berjalan, Alvan menyadari sesuatu, bahwa selain hal-hal baik yang ia dapatkan, hal-hal buruk pun perlahan mulai menghampiri dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Quesi_Nue, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 19 - Apartemen
Alvan masih duduk di trotoar, napasnya belum benar-benar tenang.
Besi besar yang tadi jatuh kini tergeletak tak jauh dari mereka diam tapi masih menyisakan getar takut di dada orang - orang.
Sementara di pangkuannya, wanita itu masih pingsan, wajahnya tenang seolah baru tertidur setelah hari yang panjang.
Tangannya bergerak pelan, mengusap rambut wanita itu dengan lembut, sama seperti dulu ketika ia menenangkan adiknya yang menangis saat masih SD.
Gerakannya alami, penuh kepedulian, tanpa niat lain hanya rasa iba dan tanggung jawab.
“Tenang aja… kamu udah aman sekarang,” ucapnya pelan, seolah wanita itu masih bisa mendengar.
Beberapa menit telah berlalu, Wanita itu perlahan bergerak, matanya berkedip pelan, lalu terbuka sepenuhnya.
Ia menatap langit, tetapi ia bingung malah melihat wajah seseorang yang familiar dan Alvan pun masih menunduk memperhatikan nya.
“Kamu…” suaranya lirih, sedikit serak, “kamu yang tadi… narik aku, ya?”
Alvan menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Iya.”
Wanita itu terdiam. Ekspresinya perlahan berubah, dari bingung menjadi sadar sepenuhnya akan apa yang baru saja terjadi.
Ia kini memindahkan pandangan menatap ke arah besi besar yang kini tergeletak hanya dua meter dari tempat nya duduk sekarang, lalu kembali menatap Alvan.
“Terima kasih…” katanya akhirnya, suaranya pelan tapi tulus. “Kalau nggak ada kamu, aku mungkin…”
Sebelum kalimat itu selesai, Alvan mengangkat telunjuknya ke depan bibir wanita itu.
“Ssst. Jangan di lanjut. Yang penting kamu tidak ada apa apa.” Ucap Alvan dengan tulus.
Dan di balas anggukan oleh wanita itu.
Hening menyelimuti selama beberapa detik.
Hanya suara sirene dari kejauhan dan langkah-langkah orang yang mulai menenangkan situasi warga.
Entah kenapa, di tengah semua keramaian itu, suasana di antara mereka terasa sepi tapi hangat.
Alvan pun terpikirkan untuk membantu wanita ini pulang karena masih trauma.
Ia pun kembali bertanya, “Kamu tinggal di mana?” Ucapnya.
“Di dekat sini,” jawab wanita itu pelan. “Ada apartemen disana, aku di lantai dua puluh. Aku tinggal bersama keluarga.” lanjutnya.
Alvan mengangguk singkat. “Baik, aku akan antar. Apa masih bisa jalan?”
Wanita itu mencoba berdiri, tapi baru saja bangkit, lututnya langsung lemas.
“Ah–”
Refleks, Alvan menahan tubuhnya agar tidak jatuh.
“Kalo begini berarti aku harus menggendong nya pulang,” gumamnya datar tapi lembut.
Tanpa pikir panjang, ia lalu membungkuk sedikit dan mengangkat wanita itu dalam gendongannya.
“Eh, tunggu, aku bisa jalan sendiri!” seru wanita itu kaget, wajahnya memerah.
Namun tubuhnya justru bereaksi lebih cepat dari pikirannya, secara refleks, tangannya melingkar di leher Alvan, erat tapi sedikit gemetar.
Ia bisa merasakan detak jantung Alvan di dekat telinganya, tenang namun kuat.
“Kalau kamu jatuh lagi di sini, nanti malah aku yang di salahin keluarga mu.”
Wanita itu tak menjawab. Ia hanya menunduk sedikit, pipinya menempel di bahu Alvan, mendengar suara napas pria itu yang stabil di tengah hiruk pikuk.
Ada sesuatu yang menenangkan di sana terasa hangat, nyata, dan anehnya membuat rasa takut wanita itu hilang perlahan.
Mereka berjalan melewati kerumunan yang mulai bubar.
Di pelukannya yang terasa hangat, Ia menatap wajah Alvan dari jarak begitu dekat.
Cahaya pagi memantul di kulitnya yang sedikit berkeringat, tapi justru membuat garis rahangnya terlihat tegas.
Bulu matanya lentik, matanya tajam tapi tenang, seperti orang yang sudah sering menghadapi hal sulit dalam hidupnya.
Wanita itu merasa dadanya berdebar.
"Orang ini… tampan." Satu kata itu langsung terlintas di pikiran nya.
Tapi bukan cuma itu ada sesuatu dalam caranya diam, dalam cara ia menatap sesuatu di sekitarnya yang penuh kehancuran tapi tetap tenang, yang membuat Nadia ingin tahu lebih jauh.
“Kenapa aku malah merasa aman di pelukan orang asing begini…” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Alvan yang mendengar samar-samar hanya melirik sekilas. “Ngomong sesuatu?”
“Ah! Nggak! Nggak kok!” jawabnya cepat sambil berpura-pura menatap ke arah lain.
Panas menjalari pipinya, entah karena malu atau efek adrenalin yang belum sepenuhnya reda.
Di tengah perjalanan menuju apartemen kecanggungan menjalar, Alvan pun membuka pembicaraan,
“Oh iya… kita belum tahu nama satu sama lain. Nama mu siapa?” Ucap Alvan.
Nadia tersenyum tipis, sedikit ragu. “Namaku… Nadia Zai.”
Nama itu biasanya membuat orang gugup atau berubah sikap seketika, tapi Alvan hanya mengangguk pelan, seolah mencatatnya di pikirannya sendiri.
“Oh begitu… kenalin, namaku Alvan. Alvan saja,” ucapnya santai.
Nadia menatapnya, sedikit bingung. Mengapa pria ini bisa terdengar begitu biasa saja mendengar nama keluarganya?
Biasanya orang akan langsung bersikap sopan, kaku, atau bahkan terlalu formal. Tapi Alvan… tidak. Kebingungan di pikirannya harus tertahan karena di depan sudah terlihat apartemen megah.
Alvan dan Nadia akhirnya tiba di depan gedung apartemen tinggi menjulang, sekitar dua puluh lantai.
Lampu besar di tengah ruangan dan lampu-lampu kecil di lobi menyala lembut, memantulkan bayangan mereka di lantai marmer yang mengilap.
“Aku turun di sini aja…” ucap Nadia pelan dari gendongan, suaranya agak malu, apalagi banyak mata yang mulai menoleh.
Namun Alvan menggeleng ringan.
“Gak usah, aku anterin sampai atas. Toh cuma naik lift, bukan naik tangga manual,” ucapnya sambil tersenyum tipis senyum santai yang entah kenapa membuat Nadia terdiam saja dan mengangguk kecil.
Setelah mendapat anggukan, Alvan kembali melangkah menuju lift dengan langkah tenang.
Beberapa karyawan apartemen yang berjaga di meja resepsionis menatap dengan mata membulat, saling berbisik pelan.
“Eh, itu kan Nona Nadia? Kok bisa digendong cowok?”
“Wah, jangan-jangan pacar nya ya?”
“Mungkin saja! Soalnya kemarin ibunya maksa suruh nyariin cowok, katanya si Nona kerja mulu sampe lupa istirahat.
"Mungkin akhirnya ketemu orang yang bisa nyeret dia pulang (Cowok idaman), haha.”
Salah satu karyawan wanita menutup mulut sambil menahan tawa kecil.
“Tapi cowoknya lumayan juga ya, tampan dan kayak orang kuat dan tenang gitu.”
"iya.."
Lift berbunyi ting terbuka. Alvan masuk bersama Nadia tanpa menoleh ke arah mereka, sementara Nadia hanya bisa menunduk, pipinya bersemu merah karena merasa jadi pusat perhatian.
“Alvan…” suaranya terdengar pelan, hampir tenggelam di antara dengungan lift.
“Hmm?” jawab Alvan tanpa menoleh.
“Kamu… gak jadi,” ucap Nadia, menatap melihat wajah Alvan sebentar dan terlihat tenang membuatnya ragu untuk melanjutkan pembicaraan mengenai perkataan sebelumnya.
Alvan sebenarnya tak begitu mengerti maksud perkataan para karyawan tadi.
Ia hanya sempat menangkap kata “Nona” yang beberapa kali disebut-sebut.
Dalam hati, ia bergumam,
“Nona? Wah, di sini panggilannya begitu, ya? Pasti sih penghuni apartemen mahal gini ga mungkin tidak punya sebutan khusus…” Pikir Alvan tetapi matanya tetap fokus ke lift yang sedang berjalan ke lantai dua puluh.