Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gagal Lagi
“Masuk, jangan liatin cucuku terus.”
Suara Kakek Doni dari arah belakang mengejutkan Rian yang masih terpaku di pintu samping masjid. “Kamu itu ngehalangi orang mau masuk,” tambahnya sambil menepuk pelan bahu Rian.
Rian menoleh cepat, wajahnya langsung memerah menahan malu. Ia hanya bisa tersenyum kaku sambil menggaruk tengkuknya yang menjadi kebiasaan refleksnya setiap kali gugup.
Kakek Doni, Rian, para dokter, dan warga yang baru saja masuk kemudian melaksanakan shalat sunnah dua rakaat sebelum memasuki waktu Zuhur. Setelah salam terakhir, seorang warga mendekati Rian.
“Silakan jadi imam, Pak Lurah. Pak Ustad lagi berhalangan, ada urusan keluarga.”
Rian sontak melongo, lalu menoleh kanan-kiri seakan mencari pelarian.
“Masih banyak Bapak-bapak yang lebih senior dari saya, Pak,” tolaknya halus.
“Udah, Pak Lurah aja,” sahut warga lain. “Bacaan Pak Lurah lebih mantap daripada kami yang tua-tua ini.”
“Tapi, Pak—”
“Baru diminta jadi imam aja nolak,” bisik Kakek Doni di sampingnya, suaranya pelan tapi penuh ejekan. “Gimana mau imamin cucu saya nanti?”
Rian langsung tercekat. Ejekan sederhana itu tepat sasaran.
Tak mau kalah, ia berdiri dan melangkah ke shaf paling depan. Seorang warga mengumandangkan iqamah. Jamaah berdiri, merapatkan shaf.
“Luruskan dan rapatkan shaf,” ucap Rian dengan suara tenang namun tegas.
Di sisi wanita, Jelita yang berdiri di shaf paling depan mengangkat wajahnya. Suara imam itu… ia kenal. Ia mengira dirinya salah dengar, tapi begitu melihat sosok yang berdiri memimpin shalat, hatinya sedikit bergetar.
Tanpa sadar, senyum kecil muncul di sudut bibir Jelita. Senyum lembut, nyaris tak terlihat, yang hanya ia sendiri tahu artinya.
Sementara itu, Rian mencoba menjaga kekhusyukan. Namun ia tahu betul bahwa di balik kain pembatas, gadis bersuara dingin dan bermata teduh itu sedang ikut shalat di belakangnya. Entah kenapa, dada Rian terasa menghangat.
“Ya Allah… jangan sampai grogi,” batinnya sambil menarik nafas pelan.
Shalat dimulai, dan dengan khusyu Rian memimpin shalat wajib itu.
Di luar, suara Rian juga terdengar jelas melalui toa masjid. Beberapa warga yang masih berada di luar mulai membicarakan Rian kembali.
“Itu Pak Lurah yang jadi imamnya, ‘kan?” tanya seorang warga.
“Iya, itu suara Pak Lurah,” sahut yang lain.
“Pak Lurah kalau jadi imam enak banget. Suaranya itu lho, merdu,” timpa yang lain.
“Betul betul.”
Nadya yang juga berdiri di dekat mereka tersenyum mendengarnya.
“Nggak sabar mau diimami sama Mas Rian,” bisiknya dalam hati. Sebuah mimpi yang telah lama ia angankan untuk bisa membina rumah tangga bersama pria yang disukainya sejak remaja.
“Itu lihat, si Nadya udah senyum-senyum sendiri,” tegur seorang gadis yang usianya diatas Nadya.
“Hati-hati, Nadya. Senyum-senyum sendiri nanti disangka kesurupan,” canda yang lain.
“Makanya cepat resmikan hubungan kalian, Nad. Keburu Mas Lurah diembat perempuan lain, lho,” ucap teman gadis itu.
Nadya tersenyum manis dan tampak malu-malu. “Doakan saja ya, Mbak Niken. Semoga niat baik ini dilancarkan.”
“Pasti itu, Nadya. Kami pasti doakan itu, semoga Nadya cepat jadi ibu lurah kami. Kalian itu cocok banget, lho. Cantik dan ganteng.” Salah seorang ibu-ibu yang berdiri tidak jauh dari mereka ikut menimpali obrolan mereka.
Nadya makin tersipu mendengar pujian dan harapan warga kampung ini. Mereka semua merestui jika dirinya akan berjodoh dengan Rian, sang pujaan hati.
Kembali ke dalam masjid, shalat itu kini telah siap. Masing-masing melantunkan dzikir, sholawat, serta berdoa. Tak terkecuali dengan Rian.
Dengan menutup matanya, Rian memohon ampun pada Sang Pencipta dan mengucap syukur atas apa yang telah dicapainya hingga saat ini. Tak lupa sebuah doa baru ia panjatkan hari itu.
“Jodohkanlah aku dengannya, Ya Allah.”
Doa meminta jodoh yang belum pernah Rian panjatkan karena memang belum memikirkan masalah jodoh. Namun saat ini, ia merasa jodohnya telah di depan mata, dan dirinya ingin merayu Sang Khalik untuk menjodohkannya dengan gadis yang disukainya.
Jelita juga mengakhiri ibadah zuhurnya siang itu dengan doa yang selalu sama. Pengampunan dan dilapangkan kubur untuk kedua orang tua kandungnya, dan juga keberkahan dan umur panjang untuk mama dan papanya.
Setelah selesai, Jelita melipat kembali mukena nya, dan menyimpannya ke dalam tas sandang miliknya. Ia kemudian berdiri, berjalan ke pintu belakang tepat dimana dirinya masuk tadi.
Gerak-gerik Jelita rupanya menarik perhatian Rian. Begitu melihat Jelita beranjak, ia spontan bangkit dan menyusul keluar dari masjid. Kakek Doni yang melihat tingkah sang lurah hanya bisa menggeleng pelan. “Anak ini memang sudah kelewat naksir.”
Begitu Rian berdiri di samping Jelita, ia langsung berkata, “Mau makan, Mbak Jelita?”
“Iya, Pak Lurah,” jawab Jelita singkat sambil tetap melangkah pelan.
Rian mendesah, lalu mencemberutkan bibir seperti anak kecil yang ngambek. “Bukannya kita sudah sepakat jangan manggil ‘Pak Lurah’, Mbak?”
Jelita hanya tersenyum kecil tanpa menatapnya.
Belum sempat Rian mengatakan apa pun, suara seorang perempuan tiba-tiba memotong suasana.
“Mas Rian!” Nadya datang tergesa dengan senyum manis di bibirnya. “Ayo makan bareng aku. Tadi Ibu-ibu juga nyuruh kita duduk di meja tamu biar gampang ngatur konsumsi.”
Rian spontan menoleh, dan sedikit saja ketidaksukaannya terlihat dari sorot matanya. Ia jelas lebih ingin bersama Jelita daripada harus meladeni Nadya. Namun ia tidak enak menolak terang-terangan.
“Oh… iya. Sebentar, Mbak Nadya.” Rian kemudian menatap Jelita lagi. “Mbak Jelita ikut sama saya aja, yuk?”
Jelita menggeleng pelan sambil tersenyum sopan. “Pak Rian duluan aja. Saya mau nunggu Kakek, Dokter Suryo dan Dokter Ichwan dulu. Mereka masih di dalam.”
Rian menepuk dahinya pelan. Dirinya baru menyadari jika bisa-bisanya dirinya melupakan tamu-tamunya.
“Saya tunggu mereka juga. Mereka tamu saya, Mbak Nadya. Jadi… Mbak Nadya duluan saja,” ucap Rian akhirnya.
Tampak kekecewaan di wajah Nadya, namun dengan cepat ia tutup dengan senyuman manisnya lagi. “Saya ikut nunggu disini kalau gitu.”
Jawaban Nadya tentu membuat Rian terkejut. Maksud hati ingin mengusir gadis itu, kini malah gadis itu ikut menunggu.
“Nggak usah, Mbak Nadya. Disini panas. Mbak Nadya di tenda saja.”
“Saya ikut bersama Mas Rian dan Mbak Jelita saja disini,” jawabnya yang membuat Rian mendesah pelan.
Jelita hanya berdiri diam dan tenang, tidak terusik sama sekali oleh kedatangan Nadya maupun ekspresi canggung Rian. Ia sibuk dengan ponselnya, membuka pesan-pesan yang belum sempat ia baca sejak tadi.
Tak lama kemudian, suara Kakek Doni yang memanggil cucunya terdengar jelas, membuat tiga orang yang berdiri di sana serempak menoleh.
“Kenapa kalian berdiri di sana?” tanya Kakek Doni yang datang bersama Dokter Suryo dan Dokter Ichwan.
“Nungguin Kakek, Dokter Ichwan juga Dokter Suryo,” jawab Jelita sambil segera berjalan menyambut kakeknya. Dengan manja, ia merangkul lengan pria tua itu, membuat langkah mereka menjadi beriringan.
Dokter Ichwan terkekeh melihatnya. “Ternyata Mbak Jelita bisa manja juga, ya.”
“Di antara kelima cucu saya, dia ini yang paling manja,” sahut Kakek Doni bangga, yang langsung disambut tawa ringan dari yang lain.
Saat mereka lewat tepat di depan Rian dan Nadya yang masih berdiri kikuk, Kakek Doni berkata sambil menoleh, “Ayo, Pak Lurah.”
Dengan langkah yang jelas menunjukkan kelesuan hati, Rian mengangguk dan mengikuti mereka dari belakang. Nadya tentu saja langsung bergerak untuk tetap berjalan di sampingnya.
Rian menghela nafas pelan, menatap langkah Jelita yang berjalan sambil menggandeng kakeknya.
“Gagal lagi pengen dekat sama princess-ku,” gumamnya dalam hati, terdengar begitu putus asa.
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁
Pak Lurah tolong ya diperjelas, statusnya Nadya buat pak Lurah itu apa. Jangan sampai warganya bergosip lagi lho😂