NovelToon NovelToon
REINKARNASI BERANDALAN

REINKARNASI BERANDALAN

Status: tamat
Genre:Kebangkitan pecundang / Action / Time Travel / Romansa / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Tamat
Popularitas:252
Nilai: 5
Nama Author: andremnm

Arya Satria (30), seorang pecundang yang hidup dalam penyesalan, mendapati dirinya didorong jatuh dari atap oleh anggota sindikat kriminal brutal bernama Naga Hitam (NH). Saat kematian di depan mata, ia justru "melompat waktu" kembali ke tubuh remajanya, 12 tahun yang lalu. Arya kembali ke titik waktu genting: enam bulan sebelum Maya, cinta pertamanya, tewas dalam insiden kebakaran yang ternyata adalah pembunuhan terencana NH. Demi mengubah takdir tragis itu, Arya harus berjuang sebagai Reinkarnasi Berandalan. Ia harus menggunakan pengetahuan dewasanya untuk naik ke puncak geng SMA lokal, Garis Depan, menghadapi pertarungan brutal, pengkhianatan dari dalam, dan memutus rantai kekuasaan Naga Hitam di masa lalu. Ini adalah kesempatan kedua Arya. Mampukah ia, sang pengecut di masa depan, menjadi pahlawan di masa lalu, dan menyelamatkan Maya sebelum detik terakhirnya tiba?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon andremnm, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 20. fajar di perbatasan...

Di dasar parit kering yang berkelok-kelok, Maya dan Dion terus menyeret tandu darurat Arya. Fajar masih beberapa jam lagi, tetapi cahaya bulan telah meredup, membuat hutan semakin gelap dan jalur mereka semakin sulit. Dion berjalan dengan langkah yang tersentak-sentak, setiap suara dari hutan memicu kilasan balik dari ruang interogasi Gudang I-9.

Dion: (Berbisik, suaranya dipenuhi ketakutan) "Aku... aku mendengar mereka, Maya. Mereka semakin dekat. Pistol itu... Komandan Jaya memukulku dengan gagang pistolnya. Aku tidak tahan, Maya. Aku tidak bisa."

Maya: (Mendorong tandu, matanya fokus ke depan) "Dion, dengarkan aku! Itu bukan suara mereka. Itu hanya gema di pikiranmu. Kau aman di sini. Komandan Jaya tidak bisa menemukan kita di parit ini. Lumpur dan bebatuan menyerap jejak kita."

Dion: "Tapi bagaimana jika mereka punya anjing pelacak? Mereka pasti punya anjing! Bauku... Bau darah Arya..."

Maya: "Kita berjalan di dasar sungai kering. Bau apapun yang ada di kita akan bercampur dengan bau lumpur, lumut, dan air tua. Anjing pelacak tidak bisa membedakannya. Arya sudah memikirkan rute ini, Dion. Kita harus percaya padanya."

Namun, ketakutan Dion tidak hilang. Setiap langkah yang ia ambil adalah perjuangan melawan trauma.

Dion: (Terhuyung-huyung, menjatuhkan sisi tandu) "Aku tidak bisa lagi, Maya! Aku tidak kuat! Aku tidak ingin kembali ke sana!"

Arya, meskipun tak sadarkan diri, tiba-tiba bergumam dengan suara serak, seolah-olah instingnya merasakan kepanikan Dion.

Arya: (Gumam lemah, berhalusinasi) "Dion... kuncinya ada... di otakmu... bukan di tanganmu... bertahan..."

Gumam itu, meskipun tidak jelas, seolah menyentak Dion.

Maya: (Berlutut di samping Dion) "Dion! Lihat aku! Arya butuh kau sekarang! Mereka tidak menyentuh otakmu, kan? Kau ingat sandi enkripsi itu, kau ingat cara memodifikasi senter itu! Kau adalah orang terpintar di tim ini!"

Dion: "Tapi aku takut!"

Maya: "Ketakutan itu adalah hal yang wajar, Dion! Tapi kau harus menggunakannya! Gunakan ketakutanmu untuk mendorong kakimu! Komandan Jaya menginginkanmu hancur secara mental! Jangan biarkan dia menang! Buktikan bahwa kau lebih dari sekadar umpan! Kau adalah penyelamat kita!"

Maya mengambil tas ransel dan mengeluarkan Daftar Hitam palsu (umpan) yang diberikan Arya.

Maya: "Komandan Jaya menginginkan ini. Tapi kita tidak akan memberikannya. Kita akan menukar keberanianmu dengan kebebasan Arya!"

Dion memandang Daftar Hitam palsu itu, lalu menatap Arya yang tak berdaya. Kilatan tekad yang tajam muncul di matanya. Ia ingat betapa Arya mempertaruhkan segalanya untuk menyelamatkannya.

Dion: "Baik. Aku akan membawa Arya. Aku akan berjalan. Tapi kau harus memberitahuku apa yang harus aku lakukan secara teknis. Aku akan berjalan dan berpikir."

Mereka mengangkat tandu itu lagi. Langkah Dion menjadi lebih mantap. Meskipun ia masih gemetar, pikirannya kini sibuk.

Dion: "Kita harus memikirkan pengalihan perhatian yang lebih besar. Jika mereka menggunakan teropong malam, mereka pasti melacak suhu tubuh. Kita harus memanaskan sesuatu."

Maya: "Kita tidak punya api dan kita tidak punya bensin. Kita tidak punya bahan bakar."

Dion: "Kita punya sesuatu yang lebih baik. Baterai. Di tas ransel kita, ada beberapa baterai alkaline bekas. Jika kita memukulnya dan membiarkannya bocor, elektrolitnya akan bereaksi dengan tanah liat. Itu akan menghasilkan panas yang terdeteksi oleh teropong malam, tapi tidak terlalu terang untuk dilihat mata telanjang. Itu akan terlihat seperti seseorang yang bersembunyi di sana."

Maya: "Bagus sekali, Dion! Kita buat jebakan. Di mana?"

Dion: "Sekitar 100 meter dari sini. Di tikungan parit. Mereka pasti mengira kita akan terus berjalan lurus. Kita akan meninggalkan tiga baterai bocor di sana. Cepat, Maya. Lakukan sekarang."

Maya dengan cepat mengeluarkan tiga baterai bekas, memecahkan casingnya dengan batu, dan membiarkan cairan bocor ke tanah liat di tengah parit. Itu adalah tanda panas palsu yang sempurna.

Mereka kembali membawa Arya, melanjutkan perjalanan mereka menjauh dari jebakan itu, memanfaatkan kecerdasan Dion untuk melawan keahlian militer Naga Hitam. Mereka berjalan, dengan harapan fajar akan segera menyambut mereka.

Mereka melanjutkan perjalanan mereka di sepanjang parit kering yang gelap. Sepuluh menit setelah menanam jebakan baterai, mereka berhenti, bersembunyi di balik gundukan tanah kecil. Hening.

Dion: (Berbisik) "Mereka seharusnya sudah mendekati jebakan kita sekarang. Teropong malam mereka akan mendeteksi panas dari reaksi baterai. Mereka akan mengira ada orang yang bersembunyi di sana."

Tiba-tiba, dari belakang mereka, terdengar suara tembakan tunggal yang teredam.

DOR!

Maya: (Tersentak, menoleh ke belakang) "Itu tembakan! Mereka menembak ke arah jebakan kita! Mereka mengira kita ada di sana!"

Dion: (Menghela napas lega yang luar biasa) "Berhasil! Itu berhasil, Maya! Kita mendapatkan waktu!"

Keberhasilan jebakan itu memberikan suntikan moral yang sangat dibutuhkan Dion. Ia menyadari bahwa ia bisa bertarung, bukan dengan tinju, melainkan dengan otaknya.

Maya: "Bagus, Dion. Tapi sekarang mereka tahu kita berada di parit ini. Mereka akan menyebar dan melacak sisa jejak kita. Kita harus keluar dari parit ini. Di mana perbatasan hutan?"

Dion: "Sekitar satu kilometer lagi, di mana parit ini bertemu dengan jalan setapak tua. Arya bilang, di sana ada sungai kecil dan sebuah pondok usang."

Mereka kembali memanggul tandu Arya. Keringat bercampur lumpur, dan kelelahan ekstrem mulai menyerang Maya dan Dion. Setiap tarikan tandu Arya terasa seperti memikul beban seluruh Kota Cakra Manggala.

Maya: "Arya semakin dingin. Luka tembaknya... kita harus menghentikan pergerakannya. Perjalanan ini memperburuk lukanya."

Dion: "Kita tidak punya pilihan. Jika kita berhenti, mereka akan mengapit kita di parit ini. Kita hanya perlu mencapai tempat yang datar. Aku akan membantunya."

Dion mengeluarkan pakaian bersih terakhir mereka dari ransel. Dengan keahlian yang dia pelajari dari menonton Maya, ia membuka balutan luka tembak Arya yang sudah basah oleh keringat dan darah.

Dion: (Berbisik, wajahnya pucat) "Darahnya merembes lambat, Maya. Peluru itu bertindak sebagai penyumbat, tetapi jika kita bergerak terlalu keras, itu bisa lepas."

Maya: "Kita harus melilitkan kain sekuat mungkin. Gunakan sabukmu. Sabuk Arya terlalu longgar."

Mereka menggunakan sabuk Dion untuk melilit bahu Arya, menekan luka itu sekuat mungkin untuk mengurangi pendarahan internal.

Saat mereka berjuang maju, langit mulai menunjukkan warna abu-abu. Fajar akan segera menyingsing.

Dion: (Melihat ke atas) "Lihat, Maya. Fajar. Itu berarti mereka tidak bisa lagi menggunakan teropong malam, tetapi itu juga berarti kita tidak punya tempat bersembunyi lagi."

Maya: "Kita harus segera mencapai pondok itu sebelum matahari terbit penuh. Kita tidak bisa berada di tempat terbuka. Tim pelacak akan menggunakan drone optik setelah fajar."

Mereka berdua memaksakan diri berlari. Rasa sakit pada kaki dan punggung Dion terasa tidak penting lagi. Fokusnya adalah pada tandu dan kehidupan Arya yang tergantung di sana.

Tiba-tiba, parit itu berakhir di sebuah jalan setapak yang ditumbuhi semak belukar. Di kejauhan, mereka melihat atap jerami kecil—pondok usang yang disebutkan Arya.

Dion: "Pondok! Itu dia!"

Tepat saat mereka keluar dari parit, sebuah drone kecil bersuara rendah terbang di atas hutan di dekat mereka.

Maya: "Drone! Mereka sudah menggunakan pengintaian udara! Kita tidak punya waktu!"

Mereka berlari menuju pondok itu, menyeret Arya secepat yang mereka bisa, tahu bahwa mereka kini terlihat oleh Naga Hitam.

Drone kecil bersuara mendengung itu bergerak di atas mereka, mengunci target. Maya dan Dion berlari kencang menuju Pondok Usang yang terletak sekitar seratus meter di depan. Mereka menyeret tandu Arya dengan sisa-sisa kekuatan mereka, tidak peduli lagi dengan kebisingan yang mereka timbulkan.

Dion: (Berteriak, terengah-engah) "Mereka melihat kita! Mereka pasti sudah menghubungi tim darat!"

Maya: "Kita harus mencapai pondok itu! Itu satu-satunya penutup!"

Mereka mencapai pondok yang rapuh itu, yang hanya terbuat dari kayu lapuk dan atap jerami. Mereka menjatuhkan Arya di dalam, di sudut tergelap.

Dion: "Apa yang harus kita lakukan? Kita tidak bisa bertarung! Kita tidak punya senjata!"

Maya: "Kita punya umpan! Daftar Hitam palsu! Mereka akan menginginkan buku ini!"

Maya mengeluarkan buku bersampul kulit hitam palsu itu dan meletakkannya di atas meja reyot di tengah pondok.

Tiba-tiba, dari jalan setapak di luar pondok, dua sosok berpakaian hitam muncul. Mereka adalah tim pelacak darat Naga Hitam, lengkap dengan senjata otomatis dan rompi anti peluru.

Pemimpin Tim: (Mengaum) "BERHENTI! JATUHKAN SENJATA KALIAN! KAMI TAHU KALIAN MEMILIKI DAFTAR HITAM!"

Dion: (Panik, bersembunyi di balik Maya) "Mereka punya senjata! Kita tidak bisa melawan!"

Maya: (Berdiri tegak di ambang pintu) "Kami tidak punya senjata! Kami hanya ingin hidup! Biarkan kami pergi!"

Pemimpin Tim: "Diam! Serahkan buku itu dan bocah itu! Kami akan mempertimbangkan untuk tidak membunuh kalian di tempat!"

Pemimpin Tim itu menembakkan tembakan peringatan ke atap. Jerami itu berhamburan.

DOR!

Maya: (Berteriak) "Buku itu ada di sini! Ambil saja! Tapi tinggalkan kami!"

Pemimpin Tim dan satu anggotanya melangkah masuk, mengarahkan moncong senjata ke Maya dan Dion. Mereka melihat buku yang tergeletak di meja.

Pemimpin Tim: (Tersenyum dingin) "Bagus. Kalian membuat segalanya mudah."

Saat Pemimpin Tim itu meraih buku palsu itu, suara keras terdengar dari semak belukar di belakang pondok.

Suara Serak (Baru Muncul): "TINGGALKAN ANAK-ANAK ITU, BAJINGAN! KOTA INI BUKAN MILIK NAGA HITAM LAGI!"

Dari balik semak, muncul sesosok pria tinggi dan berotot, wajahnya penuh bekas luka. Dia membawa senapan tua dan mengenakan pakaian compang-camping khas perbatasan. Dia adalah Surya, kontak lama Arya, seorang mantan tentara bayaran yang beralih menjadi penjaga hutan.

Pemimpin Tim: (Terkejut) "Siapa kau?! Ini bukan urusanmu!"

Surya: "Ini adalah urusanku. Aku menjaga perbatasan ini. Dan Komandan Jaya... dia akan segera menghadapi masalah besar."

Surya menembakkan senapannya ke arah kaki Pemimpin Tim.

BLAR!

Pemimpin Tim Naga Hitam itu menjerit dan jatuh, senjatanya terlempar. Anggota tim kedua refleks menembak ke arah Surya.

DOR! DOR!

Surya menghindari tembakan itu, tetapi ia terluka di lengan. Ini adalah pertempuran kecil yang mereka butuhkan.

Maya: "Dion! Sekarang!"

Maya dan Dion mengambil kesempatan kekacauan itu. Maya segera berlari ke arah Surya untuk membantunya, sementara Dion mengambil pistol dari Pemimpin Tim Naga Hitam yang terluka.

Dion: (Mengarahkan pistol dengan tangan gemetar) "JANGAN BERGERAK! ATAU AKU AKAN MENEMBAKMU!"

Meskipun tangannya gemetar, ancaman Dion efektif. Anggota tim Naga Hitam kedua menjatuhkan senjatanya.

Surya: (Mengangguk, lega) "Bagus, Nak. Kau berani. Siapa di antara kalian yang Arya?"

Maya: "Di dalam! Dia terluka parah! Dia demam tinggi!"

Surya melihat ke dalam pondok, melihat Arya terbaring tak sadarkan diri.

Surya: "Sialan! Komandan Jaya benar-benar parah kali ini. Angkat dia! Kita tidak bisa tinggal di sini. Tim Naga Hitam lainnya akan datang!"

Surya, Maya, dan Dion segera mengangkat Arya. Sebelum pergi, Surya menyalakan korek api dan melemparkannya ke atap jerami pondok itu, membakar Daftar Hitam palsu di meja.

Surya: "Kita berikan mereka sedikit asap. Itu akan membuat mereka sibuk sebentar. Kita akan menggunakan jalur bawah tanah lama. Kita akan membawanya ke tempat yang aman."

Mereka meninggalkan pondok usang yang kini terbakar, membawa Arya yang sakit kritis, menuju tempat persembunyian yang aman di bawah perlindungan kontak lama Arya di perbatasan hutan. Perjuangan mereka di Kota Cakra Manggala telah berakhir, dan fase pelarian sejati baru saja dimulai.

1
Calliope
Duh, hati jadi bahagia setelah selesai baca karya ini!
andremnm: makasih🙏🙏
total 1 replies
Deqku
Aku jatuh cinta dengan ceritamu, tolong update sekarang juga!
andremnm: makasih ya
total 1 replies
tae Yeon
Terlalu emosional, sampai menangis.
andremnm: makasih 🙏
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!