Luna punya segalanya, lalu kehilangan semuanya.
Orion punya segalanya, sampai hidup merenggutnya.
Mereka bertemu di saat terburuk,
tapi mungkin… itu cara semesta memberi harapan baru..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CHRESTEA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Fall
New York
Sejak sore, hujan turun tapi bukan yang deras. Hanya rintik-rintik yang jatuh pelan, cukup untuk membuat kaca apartemen Luna dipenuhi titik air yang mengalir lambat. Kota di luar terlihat agak kabur, seolah ikut paham perasaannya.
Luna berdiri di depan jendela sambil memegang ponsel yang terus bergetar. Setiap notifikasi yang muncul membuat dadanya semakin sesak. Komentar-komentar jahat bermunculan tanpa ampun. Artikel yang memelintir fakta. Video reaksi orang-orang yang bahkan tidak kenal dirinya.
Semua menyerangnya tanpa memberi ruang untuk menjelaskan.
“Aku capek…” gumamnya pelan.
Pintu apartemen terbuka.
Kai Donovan masuk dengan mantel basah, wajah tegas tapi penuh khawatir. Begitu melihat Luna, dia langsung menutup pintu dengan gerakan pelan.
“Kamu masih baca itu?” tanyanya sambil mendekat.
Luna tidak menjawab. Dia hanya memegang ponselnya lebih erat, seolah itu satu-satunya hal yang tersisa.
Kai langsung mengambil ponselnya pelan dari tangan Luna, lalu mematikan semua notifikasi. “Kamu nggak perlu lihat ini dulu. Ini cuma bikin kamu makin kepikiran.”
Luna menarik napas panjang, tapi suaranya tetap pelan. “Kenapa semua orang langsung percaya? Aku bahkan nggak—”
“Aku tahu.” Kai meletakkan ponsel itu di meja. “Aku udah bilang, industri ini kejam. Mereka suka drama. Mereka gak mau tahu itu fakta atau bukan, selama mereka puas itu yang mereka percaya. Sudah yang penting kamu istirahat dulu.”
Luna duduk di sofa. “Aku nggak merasa aman.”
Kai ikut duduk. “Justru itu, makanya besok kamu harus ikut aku ketemu dokter.”
Luna melirik cepat. “Dokter? Aku sakit apa?”
“Bukan sakit fisik,” jawab Kai sambil memijat tengkuknya. “Tapi kamu butuh bantuan buat ngatur stress kamu. Kamu kelihatan rapuh banget.”
Luna menelan ludah. “Kai… aku nggak gila.”
“Aku tahu kamu nggak gila.” Kai tersenyum kecil. “Kamu cuma butuh ruang buat napas. Dan dokter ini bagus..”
Luna mengerutkan kening.
Kai mengangguk. “Iya. Aku yakin kamu cocok sama dia.”
“Ya udah deh. Aku ikut,” katanya akhirnya.
⸻
Keesokan harinya, Luna datang ke klinik dengan hoodie dan masker besar. Kai berjalan di sampingnya, seolah siap menghalangi dunia kalau dunia berniat menghancurkan Luna lagi.
Klinik itu tidak besar, tapi hangat. Tempat itu seperti dirancang supaya pasien merasa aman: musik lembut, bau peppermint, cahaya lampu yang tidak terlalu terang.
Luna duduk di ruang tunggu sambil menatap lantai. Jari-jarinya saling menggenggam erat.
Kai menyentuh pundaknya pelan. “Napas dulu.”
Luna menarik napas panjang.
Beberapa saat kemudian, pintu ruangan dokter terbuka. Seorang pria keluar dengan map di tangan. Rambutnya rapi, wajahnya tenang, dan cara berjalannya menunjukkan percaya diri yang tidak berlebihan.
Tatapannya langsung tertuju pada Luna,bukan terkejut, tapi seperti seseorang yang sudah tahu siapa yang akan dia temui.
“Luna Carter?” panggilnya dengan nada ramah.
Luna langsung mendongak. Matanya membesar sedikit.
“Kamu?” katanya spontan.
Dia tidak menyangka doktor yang dimaksud Kai ternyata,kakak tirinya. Luna langsung berdiri pelan, bingung harus bagaimana.
Damian tersenyum tipis. “Ya. Aku Damian Fergio. Lama tidak bertemu, adikku." Suara itu stabil, seolah dia sudah tahu dari awal Luna akan bereaksi begitu.
Damian sama sekali tidak kaget,karena sejak pagi, bagian administrasi sudah memberikan data pasien bernama Luna Carter Hadinata.
Nama belakang itu yang membuatnya diam beberapa detik.
Bukan karena dia terkejut, tapi karena nama itu membawa memori masa lalu yang tidak bisa diabaikan. Luna, di sisi lain, justru kelihatan canggung.
“Kakak kenapa bisa disini?” tanyanya pelan, seperti masih mencoba memastikan.
“Iya,” jawab Damian tenang. “Ayo masuk.”
Kai memberi isyarat dari jauh. “Aku tunggu di luar, Na.”
Luna mengangguk, lalu mengikuti Damian masuk ke ruangan. Pintu tertutup di belakangnya.
Ruangannya terasa nyaman,ada tanaman hijau, sofa empuk, lukisan bertema laut, dan bau peppermint yang sama seperti di luar. Luna duduk pelan, masih belum sepenuhnya menghilangkan rasa kagetnya.
Damian duduk di seberangnya sambil membuka catatan.
“Kamu tegang banget,” katanya sambil tersenyum kecil.
“Aku cuma,nggak nyangka dokter yang Kai maksud ternyata kakak,” jawab Luna jujur.
Damian merespons dengan anggukan pelan.
“Kenapa? Kamu kaget kakak busa jadi dokter?.”
Perkataan itu membuat Luna mengerjap.
“Oh…bukan..bukan gitu.."
Damian menutup map sebentar. “Tenang aja Na..Aku tahu ini pasti aneh, tapi anggap aja sekarang aku dokter, bukan kakak kamu..”
Suara Damian lembut, tapi tidak manis berlebihan. Cara dia bicara memberi kesan bahwa dia tahu kapan harus memberi ruang, kapan harus memandu.
“Kamu kelihatan capek sekali,” katanya. “Sudah berapa hari kamu tidur nggak nyenyak?”
“Dua hari ini…” Luna menggigit bibirnya. “Aku cuma tidur kalau badan bener-bener capek, tapi begitu bangun aku langsung panik.”
Damian mengangguk, mencatat sesuatu. “Wajar. Kamu sedang berada di situasi yang terasa tidak aman. Tubuh dan pikiran kamu sedang bereaksi.”
Luna meluruskan punggung, sedikit canggung. “Maaf kalau aku kelihatan berantakan.”
“Kamu nggak perlu minta maaf,” kata Damian sambil tersenyum hangat. “Kamu sedang berusaha bertahan. Dan itu sudah cukup.”
Untuk alasan yang tidak Luna mengerti, kata-kata itu membuat dadanya terasa lebih longgar.
“Aku bakal bantu kamu pelan-pelan,” lanjut Damian. “Kamu nggak perlu cerita semuanya hari ini. Kita mulai dari hal yang paling gampang dulu.”
Damian memintanya latihan napas beberapa kali, lalu memperhatikan cara Luna merespons.
Perlahan, bahu Luna mulai turun, wajahnya sedikit lebih rileks.
“Gimana? Masih sesak?” tanya Damian.
“Sedikit lebih baik…” Luna mengusap wajah. “Terima kasih.”
“Sama-sama. Kamu butuh ruang aman, dan ruangan ini salah satunya.”
Luna tersenyum kecil. “Aku… senang bisa ketemu kamu kak."
Damian tertawa pelan. “Kamu boleh panggil aku Damian saja. Kalau panggilan kakak sulut di ucapkan.
“Oh…enggak, aku cuma masih kaget aja,kak.”
"Kamu akan terbiasa. Hari ini cukup disini ya."
Setelah sesi selesai, Damian mengantar Luna sampai pintu.
“Kita lanjut sesi besok. Kalau kamu merasa drop malam ini, kamu bisa minta Kai hubungi aku,” ujarnya.
“Oke. Terima kasih,kak.”
Kai langsung berdiri begitu Luna keluar. “Gimana?”
Luna menarik napas pelan. “Aku… lebih baik.”
Kai tersenyum, lega. “Good.”
Saat mereka pergi, Damian tetap berdiri di pintu, memperhatikan.
Tidak ada ekspresi terkejut. Tidak ada kebingungan. Karena sejak awal dia sudah tahu pasien barunya adalah Luna Carter Hadinata, nama yang pernah melewati hidupnya bertahun-tahun lalu, walau Luna tidak mengenal dirinya pada masa itu.
Yang membuat Damian tidak tenang bukan karena Luna seorang artis terkenal. Tapi karena keadaan adiknya terlihat sama seperti waktu-waktu itu.