Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Bisa Lari Lagi
Hari-hari berikutnya berjalan seperti mimpi buruk yang berulang.
Elena bangun, berpura-pura tersenyum pada Clara, makan sendirian di meja panjang, lalu menghabiskan waktu di perpustakaan atau taman bersama Luna, kucing kecil yang kini menjadi satu-satunya teman.
Namun kebahagiaan semu itu tak pernah bertahan lama. Setiap kali ia mengangkat wajah, ada kamera kecil yang menatapnya. Setiap kali langkah kakinya bergema di lorong, ia merasa Adrian bisa muncul kapan saja, menutup semua celah untuk bernapas.
Kesepian perlahan berubah menjadi tekanan yang menghancurkan.
Suatu malam, Elena tidak bisa tidur. Ia duduk di balkon dengan Luna di pelukannya, menatap kota Verona yang berkilauan jauh di bawah sana. Lampu-lampu itu terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi. Begitu dekat, tapi mustahil dijangkau.
Air mata jatuh membasahi bulu putih Luna. “Aku tidak bisa lagi… aku tidak bisa…” bisiknya dengan suara serak.
Kucing kecil itu mengeong pelan, seolah mengerti kesedihan tuannya. Tapi Elena tahu, tidak ada suara, tidak ada pelukan, yang bisa benar-benar menembus jeruji tak kasat mata di sekelilingnya.
Keesokan paginya, Clara menemukan Elena masih duduk di balkon, mata merah, wajah pucat. “Nona, Anda harus makan,” katanya pelan.
Elena menoleh dengan tatapan kosong. “Untuk apa? Bahkan tubuhku pun bukan milikku lagi.”
Clara terdiam, sorot matanya mengeras, tapi ada sedikit getaran dalam suaranya. “Jangan katakan itu. Jika Anda menyerah sekarang, Anda benar-benar akan hilang.”
Namun kalimat itu tidak memberi kekuatan pada Elena. Ia justru merasa semakin lelah. Apa gunanya bertahan, kalau setiap harapan selalu direnggut dariku?
Sore itu, Adrian muncul. Ia menemukan Elena duduk di lantai kamar, tubuhnya lemah, matanya nyaris tak memiliki cahaya. Luna meringkuk di sampingnya, seperti berusaha melindungi.
Adrian berdiri di ambang pintu, diam cukup lama, menatapnya. Ada sesuatu yang bergetar samar di balik wajah tenangnya.
“Elena.”
Elena mengangkat wajah perlahan, suaranya serak. “Kalau tujuanmu adalah menghancurkanku… selamat. Kau sudah berhasil.”
Kata-kata itu menampar udara di antara mereka. Untuk sesaat, senyum tipis Adrian menghilang. Tatapannya mengeras, tapi bukan dengan kemarahan, melainkan sesuatu yang lebih dalam, lebih gelap.
Ia melangkah masuk, mendekat, lalu berjongkok di depan Elena. Tangannya mengusap pipi gadis itu yang basah karena air mata. Sentuhan itu lembut, tapi terasa menyesakkan.
“Aku tidak ingin menghancurkanmu, Elena,” bisiknya. “Aku hanya ingin kau tidak bisa hidup tanpaku.”
Elena menutup mata, tubuhnya gemetar. Ia tahu ia sudah terlalu dekat dengan titik runtuh dan itulah yang membuatnya takut. Karena jika ia benar-benar runtuh, ia tidak lagi bisa membedakan antara benci dan butuh.
Dan di situlah Adrian menunggu.
.....
Elena berjalan mondar-mandir di kamar, napasnya tersengal, jantungnya seperti hendak meledak. Pikiran-pikiran hitam terus berdengung, menekan dari segala arah. Setiap sudut ruangan mengingatkannya pada belenggu, pada tatapan Adrian, pada kenyataan bahwa ia tak akan pernah benar-benar bebas.
Tidak ada jalan keluar.
Kata-kata itu menjerit di kepalanya, berulang kali, sampai ia merasa hampir gila.
Tangannya terulur ke laci meja rias, menariknya dengan kasar. Gagang besi berderit, dan di sana ia menemukan sebuah gunting kecil berkilau di bawah cahaya lampu. Benda sepele, tapi di matanya kini seperti tiket menuju kebebasan.
Elena memungutnya dengan tangan gemetar. Nafasnya tercekat, tenggorokannya kering. Ia menatap dirinya di cermin. Mata merah, wajah pucat, rambut berantakan. Bayangan yang kembali menatapnya bukanlah Elena yang ia kenal. Itu adalah bayangan seorang tawanan yang sudah kehilangan dirinya sendiri.
Air mata jatuh. Ia mengangkat gunting itu, mendekatkannya ke pergelangan tangannya. “Mungkin ini satu-satunya cara untuk bebas,” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
Suara berat yang familiar tiba-tiba mengiris keheningan.
“Jangan!”
Tubuh Elena membeku. Gunting hampir terlepas dari tangannya. Dengan gerakan refleks, ia menoleh cepat dan menemukan Adrian berdiri di ambang pintu.
Cahaya lampu membuat wajahnya terlihat lebih gelap, matanya seperti bara yang menyala dalam bayangan. Tidak ada teriakan, tidak ada amarah. Hanya suara rendah yang memerintah, lebih menakutkan daripada ancaman apa pun.
Adrian melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya. Hening. Hanya suara hujan di luar yang menemani.
Elena mundur selangkah, masih menggenggam gunting. “Jangan mendekat! Aku serius, Adrian. Kalau kau mendekat, aku akan melakukannya!”
Suara Elena pecah, tangis dan teriakan bercampur, tapi tangannya tetap bergetar di udara, ujung gunting menusuk kulit halus di pergelangan.
Adrian tidak berhenti. Ia melangkah perlahan, seperti predator yang tahu mangsanya tak punya tempat kabur. Tatapannya menusuk, tapi di balik itu ada sesuatu yang jauh lebih berbahaya. Obsesi yang dingin.
“Kalau kau melakukannya, Elena,” suaranya rendah, tenang, “kau tidak menghukumku. Kau hanya memberiku alasan untuk tak pernah melepaskanmu, bahkan setelah kau mati.”
Kata-kata itu menghantam dada Elena seperti palu. Air matanya tumpah deras. “Aku tidak tahan lagi! Aku bukan milikmu, aku tidak akan pernah jadi milikmu!”
Adrian kini hanya berjarak setengah langkah. Dengan gerakan secepat kilat, ia meraih pergelangan tangan Elena, memelintirnya, merebut gunting itu, lalu melemparkannya jauh ke lantai. Logam itu berdering keras, memantul sekali sebelum terhenti.
Elena terisak keras, tubuhnya bergetar di genggaman Adrian. “Lepaskan aku! Biarkan aku pergi!”
Tapi genggaman Adrian semakin menguat. Ia menunduk, wajahnya begitu dekat hingga Elena bisa merasakan panas napasnya di pipi.
“Dengar aku baik-baik,” bisiknya. “Aku tidak akan biarkan kau hilang, Elena. Tidak dengan cara apa pun. Jika perlu, aku akan mengikatmu dengan luka yang tak bisa sembuh. Luka yang membuatmu terus kembali padaku, bahkan ketika kau ingin lari.”
Elena lemas, seolah tenaga tersedot dari tubuhnya. Ia benci dirinya karena… di balik semua ketakutan, ada secuil rasa lega. Bagian kecil dalam dirinya. Bagian yang paling ia benci, bersyukur Adrian datang tepat waktu.
Adrian menariknya ke dalam pelukan paksa, mencengkeram erat seakan tak ingin Elena bisa bergerak sejengkal pun.
“Kau boleh benci padaku. Kau boleh menangis, menjerit, bahkan berharap aku mati. Tapi satu hal yang tak bisa kau lakukan, Elena… kau tidak bisa lepas dariku.”
Di luar, hujan terus menampar kaca.
Dan di dalam kamar itu, Elena sadar, ia baru saja melewati titik runtuhnya. Tapi bukan untuk bebas, melainkan untuk terjerat lebih dalam pada obsesi seorang pria yang bahkan kehancurannya pun ingin ia miliki.
....
Keesokan paginya, Elena terbangun dengan kepala berat dan tubuh lelah. Sinar matahari menembus tirai tipis, tapi rasanya tak ada yang benar-benar terang. Yang tersisa hanyalah kelelahan emosional yang mengendap di dada.
Saat ia bangkit, ia menyadari sesuatu. Meja rias yang semalam ia gunakan untuk menyimpan gunting kini kosong. Tidak hanya gunting itu, semua benda tajam, bahkan kaca kecil, lenyap.
Elena meraba sekeliling. Lemari yang biasanya penuh dengan gaun kini tampak berbeda. Setiap pakaian sudah diatur ulang. Bahkan rak bukunya disusun dengan rapi, seakan seseorang memeriksa setiap halaman untuk memastikan tak ada catatan tersembunyi.
Ia merasakan hawa dingin merayapi kulitnya. Dia mengatur ulang segalanya…
Pintu terbuka. Adrian masuk dengan langkah tenang, mengenakan jas hitam sederhana. Di tangannya ada sebuah nampan dengan sarapan lengkap. Roti hangat, sup bening, dan segelas jus jeruk segar.
Ia meletakkannya di meja, lalu menoleh pada Elena. “Mulai hari ini, kau tidak akan kekurangan apa pun. Aku akan pastikan semuanya ada untukmu.”
Nada suaranya datar, tapi mata itu…
Elena menatap sarapan di meja, lalu menatap Adrian balik. “Kau bahkan mengambil hakku untuk memilih. Apa aku harus berterima kasih karena kau memberi makan setelah kau mengurungku?”
Adrian mendekat, meraih dagunya dengan lembut tapi tegas, memaksa Elena menatapnya. “Bukan hanya makan. Tidurmu, bajumu, waktumu… semuanya. Kau tidak perlu lagi memikirkan apa pun, Elena. Aku akan memikirkannya untukmu.”
Elena menahan napas, tubuhnya kaku. “Kau ingin aku jadi boneka? Hidup hanya sesuai kehendakmu?”
Adrian tersenyum samar, tapi tidak melepaskan dagunya. “Bukan boneka. Tapi Milikku.”
Elena menepis tangannya dengan kasar, tapi tatapan Adrian tetap tenang, penuh keyakinan. Ia tahu, semakin Elena melawan, semakin kuat jeratnya.
Clara masuk beberapa menit kemudian, membawa pakaian baru. Semua gaun bernuansa lembut, pastel, kontras dengan warna hitam atau merah yang Elena sukai dulu. Clara meletakkannya di lemari tanpa sepatah kata.
Elena menatapnya tak percaya. “Bahkan pakaianku pun kau pilih?”
Adrian menjawab santai, “Aku tidak ingin melihatmu memakai sesuatu yang tidak sesuai denganmu. Kau akan tampak… lebih indah seperti ini.”
Malamnya, Elena duduk di balkon dengan Luna di pangkuan, matanya kosong. Ia merasakan dunia semakin sempit, seolah setiap inci ruang sudah ditentukan Adrian. Tidak ada tempat untuk jatuh. Tidak ada tempat untuk bersembunyi.
Ia sadar, sejak malam ia mencoba melukai dirinya, Adrian sudah mengunci segalanya.
Dan itulah ironi terburuk. Bahkan kehancurannya pun bukan lagi pilihannya sendiri.
Sementara itu, di ruang kerjanya, Adrian menatap monitor yang menampilkan Elena di balkon. Wajahnya terlihat tenang, tapi matanya berbinar puas.
“Sekarang kau tidak bisa lagi lari, Elena,” gumamnya. “Bahkan dari dirimu sendiri.”