Vanya sengaja menyamar menjadi sekretaris yang culun di perusahaan milik pria yang dijodohkan dengannya, Ethan. Dia berniat membuat Ethan tidak menyukainya karena dia tidak ingin menikah dan juga banyaknya rumor buruk yang beredar, termasuk bahwa Ethan Impoten. Tapi ....
"Wah, ternyata bisa berdiri."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 19
"Pak Ethan, ayo keburu hujan!" teriak Vanya dari dalam mobil karena Ethan belum juga masuk ke dalam mobil.
Akhirnya Ethan masuk ke dalam mobil dan melajukan mobilnya, meninggalkan gedung perusahaan.
Vanya hanya bersikap cuek, dia menatap ponselnya sepanjang perjalanan.
Hingga akhirnya hujan turun dengan sangat deras. Suara air yang menghantam atap mobil terasa memekakkan. Ethan tiba-tiba mencengkeram erat lingkar kemudi. Dadanya berdetak kencang, dan napasnya terasa sesak.
Suara rem berdecit dan tabrakan yang sangat keras langsung terngiang lagi di kepalanya. Serangan panik itu datang. Ethan menepikan mobilnya tiba-tiba, dan memegang kepalanya dengan kedua tangannya yang bergetar.
"Pak Ethan kenapa?!" Vanya panik. Dia segera memasukkan ponselnya ke dalam tas dan memegang pergelangan tangan Ethan yang mendekap erat kepalanya. "Pak Ethan!"
"Semua salahku... semua salahku," gumam Ethan sangat pelan dan berulang.
Vanya langsung teringat cerita Bu Clara. Dia tahu, Ethan sedang mengalami trauma yang luar biasa.
"Pak Ethan, jangan panik begini!" teriak Vanya, tangannya mencengkeram erat pergelangan tangan Ethan tapi tidak ada efek. Dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil, berlari mengitari mobil lalu membuka pintu mobil di sebelah Ethan yang kini membeku.
"Cepat geser!" teriak Vanya, dia harus menutup wajahnya dengan satu tangan dari air hujan yang deras.
Ethan hanya menatap Vanya, pandangannya kosong.
"Cepat! Aku sudah basah semua!" teriak Vanya, tangannya mendorong bahu Ethan cukup keras agar pria itu segera tersadar dari serangan paniknya.
Akhirnya Ethan tersentak, dia berpindah tempat duduk ke kursi penumpang. Sedangkan Vanya segera duduk di kursi pengemudi.
"Tuh kan, aku jadi basah semua. Sudah aku bilang, kamu geser ya cepat geser!" Vanya menggerutu, lalu dia menutup bibirnya yang keceplosan bicara non-formal. "H-hmm, maksud saya, Pak Ethan."
Vanya kembali menghidupkan mesin mobil itu. Namun, Ethan yang kini mulai kembali sadar menahan tangan Vanya.
"Kamu mau mengemudi?" tanya Ethan, masih ragu.
"Iya, Pak Ethan tenang saja. Saya juga sudah punya SIM," jawab Vanya, berusaha meyakinkan.
"Serius kamu bisa?" tanya Ethan memastikan sekali lagi.
Vanya tersenyum, dia mendekatkan wajahnya sedikit, mata mereka bertemu untuk beberapa saat.
"Tidak percaya sama saya? Kita buktikan saja." Vanya menjauh, lalu melepas kacamatanya sesaat untuk membersihkan lensanya dari air hujan yang mengotori.
Tiba-tiba, Ethan melepas jasnya dan memakaikan di tubuh Vanya bagian depan yang basah. "Baju kamu basah," kata Ethan. Dia juga mengambil tisu dari konsol dan mengusap kening Vanya yang basah karena hujan. Sentuhan itu sungguh manis dan tak terduga.
Vanya melebarkan kedua matanya. Sejak kapan Ethan yang dingin bersikap sepeduli ini? Apa ini efek dari ikatan semalam?
"Saya bisa sendiri." Vanya segera mengambil tisu dan mengusap seluruh wajahnya. Setelah itu, dia mulai melajukan mobil Ethan dengan sangat mahir.
Ethan duduk dengan tegang di samping Vanya. Dia tidak bisa percaya begitu saja pada Vanya.
"Pak Ethan, santai saja. Saya bisa," kata Vanya, dia tertawa melihat ketegangan Ethan.
Akhirnya Ethan menganggukkan kepalanya, tubuhnya sedikit rileks setelah melihat Vanya fasih meliuk-liukkan mobil di tengah hujan deras.
"Apa Pak Ethan mengalami trauma masa lalu?" tanya Vanya, dia tetap fokus melihat jalanan.
"Iya," jawab Ethan. "Dulu aku mengalami kecelakaan saat hujan." Hanya itu yang dikatakan Ethan.
"Jangan terus menyalahkan diri sendiri. Apa yang terjadi di masa lalu itu semuanya sudah takdir, bukan salah Pak Ethan. Pak Ethan harus segera berdamai dengan keadaan."
Ethan semakin menatap Vanya, namun dia justru mengalihkan pembicaraan mereka karena dia masin enggan berbagi perasaannya dengan orang lain. "Aku penasaran, sejak kapan kamu bisa mengemudi?"
"Sejak cukup umur. Kenapa? Orang miskin tidak boleh bisa mengemudikan mobil?" Vanya kembali ke mode usilnya.
"Ya, bukan begitu. Aku hanya tidak menyangka saja."
Vanya hanya tersenyum miring. Dasar! "Saya langsung antar ke rumah saja. Rumah Pak Ethan di mana?" tanya Vanya.
Ethan tak langsung menjawabnya. Dia hanya menatap Vanya, memproses segala keahlian tersembunyi gadis di sampingnya.
"Lebih baik Pak Ethan pulang saja untuk tenangin diri. Jadi di mana rumah Pak Ethan?" tanya Vanya lagi. Ya, meskipun mereka telah dijodohkan namun Vanya belum tahu dimana rumah Ethan berada.
"Di kompleks perumahan Bintang, blok A," jawab Ethan.
Vanya hanya mengangguk dan melajukan mobil itu. Dia sudah hafal jalanan di kotanya dan tata letak perumahan.
Ethan terus menatap Vanya. Dia merasa, Vanya bukan wanita sembarangan. Vanya yang di depannya adalah seorang pengemudi ahli yang sudah sangat hafal jalanan kota.
Beberapa saat kemudian, Vanya menghentikan mobil itu di blok A. "Yang mana rumah Pak Ethan?" tanya Vanya lagi sambil menoleh ke kanan dan ke kiri melihat rumah mewah di daerah itu. "Yang di ujung itu?" tunjuk Vanya pada rumah yang paling mewah di kompleks perumahan itu.
Ethan tidak menjawabnya. Dia semakin penasaran. Dia harus memastikan sesuatu. Dia mendekat, tangannya terangkat, dan dengan perlahan, dia melepas kacamata tebal Vanya.
"Apa yang Pak Ethan lakukan?" Vanya tercekat, matanya yang indah kini terekspos tanpa penghalang, membuat Ethan terdiam sejenak.
Ethan terpaku. Wajah polos Vanya ternyata jauh lebih cantik dari yang dia duga. Tapi dia seperti mengenal wajah itu. "Apa sebelumnya kita pernah bertemu selain di kantor?"