NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:4k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 12 JANJI BERBAHAYA

Ava berdiri tepat di depan pintu kamarnya, tubuhnya bersandar pada daun pintu yang tertutup rapat. Napasnya terasa lebih berat, dadanya berdegup kencang seolah ingin menerobos keluar. Suara klakson, langkah-langkah di luar, dan bisik-bisik samar yang terdengar melalui dinding sudah memberi cukup petunjuk: keluarga Alder telah datang.

Dan ia tahu persis untuk apa.

“Ah, sial…” Ava mulai berjalan bolak-balik di dalam kamar, setiap langkahnya terdengar seperti ketukan panik yang memantul di lantai kayu. “Kenapa aku harus mengatakan itu semalam? Kenapa aku bilang akan mempertimbangkannya?”

Ia berhenti sejenak, kedua tangan bertumpu di pinggang, pandangannya menatap kosong pada karpet. “Apa aku harus kabur saja?” bisiknya lirih, seolah ada kemungkinan dunia memberi jalan keluar seajaib itu.

Tapi bayangan wajah Margaret yang memelas, tubuhnya yang jatuh semalam, dan rasa bersalah yang menikam seperti sembilu membuat niat kabur itu meredup seketika. Ia mengembuskan napas panjang, pasrah namun gelisah.

Tok… tok… tok…

“Nonaa, Tuan memanggil Anda ke ruang tamu,” suara Bi Amy terdengar dari luar, cukup keras untuk membuat Ava hampir melompat.

Ava membeku. Lalu tangan menutup wajah. “Ah… apa yang harus aku lakukan sekarang?” Tanpa berpikir panjang, ia berteriak, “Ava tengah mandi, Bi!”

“Di kamar mandi? Tapi suaranya bisa terdengar sampai sini…?” gumam Bi Amy kebingungan sebelum akhirnya melangkah pergi.

Ava menutup mulutnya sendiri setelah itu, menahan desah malu dan putus asa. Brilian, Ava. Hebat sekali bohongnya.

Satu jam terpaksa ia habiskan untuk merias diri seolah benar-benar mandi. Dan kini, ia berdiri di depan cermin dengan dress hijau muda selutut, cardigan tipis yang membungkus tubuhnya, dan rambut lurusnya yang dibiarkan tergerai. Perban di dahinya tampak lebih kecil, tapi masih cukup mencolok untuk mengingatkannya pada semua kekacauan minggu ini.

Ia menelan ludah sebelum akhirnya melangkah keluar dari kamarnya. Begitu tiba di ruang tamu, suara kecil yang riang menyambutnya lebih dulu.

“Kak Avaa!!”

Esther langsung bangkit dan berlari ke arahnya, memeluknya erat tanpa ragu. Pelukan itu adalah satu-satunya hal yang terasa ringan dan hangat pagi itu. Ava membalasnya sambil tersenyum, meski senyumnya hanya tersisa di bibir, tidak sampai ke matanya.

Ia kemudian menyapa Margaret dan Agam dengan sopan, senyuman tipis namun tetap hangat karena ia menghormati keduanya.

Namun saat ia mengalihkan pandangan, ia langsung bertemu sepasang mata gelap yang menusuknya seperti tombak.

Arash.

Tatapannya dingin, tajam, dan tidak berusaha disembunyikan sedikit pun. Ava refleks membuang muka, berpura-pura sibuk mendengar Esther yang membisikkan sesuatu tidak penting di dekat telinganya. Tapi jantungnya tetap berdegup keras, seolah tatapan Arash masih menempel di kulitnya.

Margaret duduk sedikit lebih maju, seakan tidak sabar menuntaskan sesuatu.

“Kita semua sepakat,” ujar Agam tiba-tiba, suaranya mantap dan formal seperti seorang hakim mengucapkan putusan. “Pernikahan kalian akan dilaksanakan lusa.”

Hening sejenak. Lalu kedua suara itu pecah bersamaan.

“Apa?!” Arash dan Ava sama-sama terkejut, sama-sama refleks bangkit sedikit dari tempatnya sebelum menahan diri. “Lusa?!”

Margaret mengangguk dengan ekspresi seolah sedang menyampaikan kabar baik. “Iya, sayang. Lusa.”

Ava terdiam membeku. Dunia seperti berputar lebih cepat, suara-suara di sekitarnya mendadak terdengar sayup. Lusa. Dua hari lagi. Dua hari untuk merubah seluruh hidupnya.

Namun di ruangan itu, bukan hanya Ava yang terdiam. Arash menatap ibunya, lalu berpaling menatap Ava. Gadis itu sedang bicara dengan Margaret, tersenyum kecil—senyum terpaksa yang dipaksakan hanya untuk menghormati. Tapi di mata Arash, senyum itu tampak seperti pengkhianatan terhadap semua yang dikatakannya kemarin.

Tangan Arash mengepal perlahan, begitu keras hingga buku jarinya memutih. Ia menahan emosi yang mendidih di dalam dadanya, memaksakan dirinya tetap duduk, tetap tenang, tetap diam.

Ia tidak mungkin meledak di rumah orang lain. Tidak mungkin mempermalukan kedua orang tuanya. Tidak mungkin membuat Margaret atau Agam malu. Tidak di tempat ini. Tidak saat ini. Tapi rasa panas itu tetap naik ke tengkuknya, memaksa napasnya menjadi berat.

Arash tidak tahu siapa yang harus ia marahi terlebih dahulu—Ava yang tiba-tiba “setuju,” ibunya yang memutuskan sepihak, atau situasi ini yang semakin lama semakin melilit lehernya.

...----------------...

Setelah kunjungan itu, keluarga Alder kembali ke kediamannya. Hanya Esther yang tidak ikut pulang—gadis itu harus pergi menemui rekannya untuk tugas kuliah. Begitu pintu depan rumah Alder tertutup, keheningan menggantung sebentar sebelum akhirnya pecah oleh langkah Arash yang menghentak masuk.

Ia tidak sekadar berjalan—ia menyerbu ruang tamu seperti badai. Rahangnya mengeras, napasnya memburu. Emosi yang ia tahan sejak duduk di rumah Ava kini meledak tanpa bisa dicegah.

“Kenapa Mama tidak mengatakan padaku kalau pernikahan itu akan diadakan lusa?” suara Arash menghantam ruangan, bergema tajam. Tangannya mengepal kuat hingga buku-buku jarinya memutih.

Margaret yang baru menanggalkan scarf-nya tertegun. Wajahnya pucat, tapi ia mencoba bertahan dengan nada lembut yang memaksa.

“Karena semua persiapan pernikahan kakakmu diadakan lusa,” jelasnya perlahan. “Gedung, makanan, dekorasi… semuanya sudah siap. Kau hanya tinggal datang sebagai pengantin pria.”

Kata-kata itu menampar Arash lebih keras daripada yang mampu ia tunjukkan. Bahunya naik-turun, menahan gejolak marah yang semakin panas. “Jadi aku pengganti kakak? Begitu?” suaranya pecah, kasar, dan getir.

“Arash! Pelankan suaramu!” tegur Agam dari balik sofa, suaranya berat dan tegas. “Kau tengah bicara dengan Mamamu.”

Arash menoleh tajam, matanya merah bukan karena menangis—tapi karena menahan sesuatu yang jauh lebih pedih dari itu.

“Di kantor Papa aku menggantikan kakak,” katanya dengan tawa getir, “dan sekarang… menikah pun aku menggantikan kakak? Kalian… bahkan tidak memikirkan perasaanku sedikit saja?”

“Arash, cukup.” Agam berdiri. Tubuh besarnya membuat ruangan terasa mengecil. “Kau bukan pengganti kakakmu.”

“Tapi faktanya?” balas Arash dengan suara parau. “Kenyataannya aku selalu menjadi cadangan untuk segalanya."

Wajah Margaret memucat, matanya memanas, tetapi ia tak bisa menemukan kata-kata tepat sebelum Arash berbalik, langkahnya cepat dan dingin.

Pintunya terbuka kasar, lalu tertutup kembali dengan dentuman yang mengguncang bingkai foto keluarga di dinding.

“Arash, Mama cuma—” suara Margaret tercekat, dan kalimatnya putus. Anak itu sudah pergi sebelum ia sempat menjelaskan apa pun.

Margaret menutup mulutnya dengan kedua tangan, bahunya bergetar halus seperti seseorang yang baru saja menyadari betapa jauh ia telah melangkah. Agam hanya menghela napas panjang, sorot matanya redup namun tajam, penuh kalkulasi yang tidak pernah berhenti bergerak di balik ketenangannya.

“Biarkan dia menenangkan diri,” katanya pelan, hampir seperti sebuah keputusan yang sudah ia timbang sebelum Margaret sempat berpikir. “Lagipula… keinginanmu tetap akan terjadi.”

Margaret memejamkan mata. Perlahan menunduk. Rasa bersalah yang selama ini hanya menjadi bayang samar… kini terasa seperti beban nyata yang menekan dada.

Sejenak rumah itu senyap. Lalu—

Suara raungan mesin motor sport menyayat ketenangan, memekakkan telinga seisi rumah. Motor itu meraung dari dalam garasi, suaranya berat, garang, seperti binatang luka yang melawan kandang. Arash keluar dengan langkah panjang—tshirt pendeknya menempel pada tubuh yang tegang oleh emosi, helm hitam mengkilap menutupi seluruh wajahnya.

Dalam hitungan detik, motor hitam itu melesat keluar dari gerbang rumah. Asap tipis tertinggal, debu beterbangan, sementara suara mesinnya menjauh, memanjangkan garis kemarahannya ke jalanan kota.

...----------------...

Panas matahari siang itu begitu menyengat hingga udara di atas aspal bergetar seperti fatamorgana. Di tengah teriknya, dua mobil melaju kencang di sirkuit tertutup—menerobos tikungan demi tikungan seperti dua hewan buas yang saling menerkam.

Ban-ban berdecit keras. Bau karet terbakar memenuhi udara. Lian, di mobil hitamnya, terus menekan pedal gas hingga dasar. Wajahnya tegang, rahangnya mengeras saat ia mencoba menyalip Arash yang memimpin dengan mobil birunya.

Namun Arash hari itu seperti sedang membalap bukan untuk menang, tetapi untuk melampiaskan seluruh rasa sakit dan marah dalam satu tarikan napas. Mobilnya melesat tajam, setiap belokan ia ambil seolah tidak peduli apakah mobilnya akan tergelincir atau tidak.

Hingga akhirnya, garis finish terlewati dan Arash tetap menjadi yang pertama.

Ia menginjak rem keras, pintu mobil terbuka dengan hentakan kasar, dan ia keluar sambil menarik helmnya—wajahnya basah oleh keringat, napasnya memburu, matanya merah oleh tekanan emosi yang tidak pernah ia ceritakan pada siapa pun.

Lian segera berlari menghampiri dengan dua botol air dingin di kedua tangannya. Nafasnya masih terengah, keringat menetes dari bawah helmnya. Ia memberikan salah satu botol pada Arash. Tanpa berkata apa pun, Arash langsung membuka tutup botol dan menyiramkan air itu ke wajahnya—dingin menyentuh kulit panasnya, namun tidak cukup untuk meredakan bara di dadanya.

“Kau kelihatan mau meledak. Ada apa?” tanya Lian sambil menatapnya cemas.

Arash menatap kosong ke arah lintasan beberapa detik sebelum akhirnya menjawab dengan suara berat, datar, tanpa drama, tanpa ragu.

“Aku akan menikah lusa.”

Lian yang sedang minum langsung tersedak. Matanya membulat seketika. “Apa?!” serunya. Ia buru-buru mengelap bibirnya yang basah oleh air yang tumpah karena terkejut. “Jangan bercanda! Kau bahkan tidak punya kekasih, —tiba-tiba menikah?”

Ia tertawa pendek, tidak percaya. Namun tawanya langsung terputus begitu ia melihat wajah Arash yang sama sekali tidak menunjukkan gurauan. “Kau serius?!”

Lian menelan ludah. “Dengan siapa?”

“Calon istri kakakku,” jawab Arash pelan, jujur, tapi penuh tekanan.

Lian sontak membeku. “APA?!" Ia menatap Arash seperti baru mendengar sesuatu yang mustahil. "Bagaimana bisa?! Kau… kau menyukainya? Atau—kalian sudah punya hubungan diam-diam?!”

“Jangan bodoh!” sentak Arash. “Aku terpaksa menikah dengannya.”

Lian mengerutkan alis. “Jadi kau dijodohkan?” Arash mengangguk pendek. "Kenapa tidak menolaknya?” tanya Lian.

“Aku tidak bisa.” Arash menatap tanah, rahangnya mengeras. “Itu syarat dari Papa. Jika aku ingin posisi COO, aku harus menikah dengannya.”

Lian mengangguk perlahan, mencerna. “Tapi sekalipun kau mau… kalau dia tidak mau, pernikahan itu tidak akan terjadi. Benar?”

Arash tertawa sinis—tawa pendek yang lebih mirip luka daripada humor. “Itu masalahnya,” katanya. “Aku sudah menyuruhnya menolak. Tapi tiba-tiba… aku dapat kabar kalau dia setuju.”

Lian terdiam, mencoba membaca ekspresi Arash yang berkecamuk. “Lalu kau mau apa sekarang?” tanyanya pelan.

“Aku akan menikah dengannya.” Suara Arash terdengar gelap, penuh keputusan yang tidak bisa ditarik kembali. Ia mencengkeram botol air di tangannya hingga plastiknya tertekuk. “Dan saat itu juga aku akan menceraikannya.”

Lian mengusap wajahnya dengan frustasi. “Kau gila!? Pernikahan bukan permainan, Arash! Kau tidak bisa berdiri di altar lalu menceraikannya hari itu juga! Apa kata orang tentang keluargamu? Tentang perusahaanmu? Tentang—”

Arash terdiam. Mata hitamnya mengeras, dingin, penuh tekad yang tidak bisa dibantah. “Kalau begitu…” ujarnya pelan, seperti janji berbahaya. “...akan aku buat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Angin panas menerpa mereka, membawa bau karet terbakar. Lian menatap sahabatnya itu—dan untuk pertama kalinya, ia tidak tahu apakah Arash sedang melindungi dirinya… atau sedang memulai kehancurannya sendiri.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 jangan lupa likee yaa, big luv dari minmin🥰❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!