Alya, gadis sederhana dan salehah yang dijodohkan dengan Arga, lelaki kaya raya, arogan, dan tak mengenal Tuhan.
Pernikahan mereka bukan karena cinta, tapi karena perjanjian bisnis dua keluarga besar.
Bagi Arga, wanita berhijab seperti Alya hanyalah simbol kaku yang menjemukan.
Namun bagi Alya, suaminya adalah ladang ujian, tempatnya belajar sabar, ikhlas, dan tawakal.
Hingga satu hari, ketika kesabaran Alya mulai retak, Arga justru merasakan kehilangan yang tak pernah ia pahami.
Dalam perjalanan panjang penuh luka dan doa, dua hati yang bertolak belakang itu akhirnya belajar satu hal:
bahwa cinta sejati lahir bukan dari kata manis… tapi dari iman yang bertahan di tengah ujian.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ricca Rosmalinda26, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Retakan Senja
Suara riuh anak-anak kecil memenuhi aula panti sosial sore itu.
Beberapa anak duduk melingkar, tertawa lepas saat Alya membantu mereka menempelkan kertas warna-warni ke papan besar bertuliskan “Mimpi Masa Depan”.
Wajah Alya tampak lembut, matanya berbinar saat melihat seorang bocah perempuan tersenyum lebar sambil menunjukkan hasil kreasinya.
Namun di tengah kehangatan itu, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja. Layar menampilkan nama yang membuat hatinya langsung berdebar.
Mama Retno
Alya segera berdiri dan menjauh dari anak-anak sebelum mengangkatnya.
“Assalamu’alaikum, ma—”
Suara di seberang terdengar terburu-buru, hampir bergetar.
“Alya... kamu di mana, Nak?”
Alya langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. “Alya di panti sosial, ma. Ada apa?”
“Papa... barusan jatuh di rumah.” Suara Bu Retno terdengar terisak kecil.
“Kami sudah bawa ke rumah sakit, tapi dokter bilang kondisinya belum stabil. Jantungnya kambuh, Alya...”
“Ya Allah...” Alya menutup mulutnya, langkahnya gemetar. “Sekarang di rumah sakit mana, Ma?”
“Rumah Sakit Cendana. Mama lagi di UGD sekarang. Mama telpon Arga tapi gak di angkat, jadi langsung telepon kamu.”
“Iya, ma. Iya... Alya segera ke sana. Alya berangkat sekarang.”
“Baik, Nak... hati-hati di jalan.”
Telepon terputus, tapi gemuruh di dada Alya tak juga mereda.
Ia buru-buru merapikan tas, matanya berkeliling mencari pengurus panti.
“Bu Norma, Alya pamit dulu, ya. Ada keluarga yang sakit,” katanya cepat sambil menunduk sopan.
Bu Norma, kepala panti, menatapnya cemas. “Ya ampun, semoga tidak apa-apa, Alya. Hati-hati di jalan, ya.”
“Iya, Bu, terima kasih. Assalamu'alaikum.”
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh."
Langkah Alya tergesa keluar dari aula. Hatinya serasa ditarik ke dua arah, antara rasa panik dan rasa bersalah karena meninggalkan anak-anak begitu saja.
Begitu tiba di parkiran, ia langsung memesan taxi dan menatap jam di pergelangan tangannya: pukul 17.40.
Sepanjang perjalanan, matanya terus memandangi layar ponsel. Ia berulang kali mencoba menelepon Arga.
Nada sambung terdengar, tapi tak ada jawaban.
Tangan Alya bergetar. Ia sempat berpikir untuk menunggu Arga pulang, tapi waktu terasa berjalan terlalu lambat.
"Ke Maheswari Grup, pak."
Tujuannya: kantor Maheswara Grup.
---
Lobby gedung itu masih ramai meski sudah hampir pukul tujuh malam. Karyawan bergegas pulang, sementara beberapa staf lembur masih menenteng berkas.
Alya berdiri di depan resepsionis, sedikit gugup. Ia belum pernah ke kantor Arga sebelumnya.
“Maaf, saya mau menemui Pak Arga Maheswara,” ucapnya sopan.
Sebelum resepsionis sempat menjawab, seseorang menepuk bahunya pelan dari belakang.
“Alya? Istrinya Arga?”
Ia menoleh. “Eh, mas Bima?”
Bima menatapnya dengan kaget, lalu cepat-cepat tersenyum. “Kamu ngapain di sini malam-malam gini? Arga belum pulang soalnya.”
“Aku tahu. Aku coba hubungi dia, tapi gak diangkat. Papa Damar... dilarikan ke rumah sakit.” Suaranya bergetar, dan mata Bima langsung berubah serius.
“Pak Damar?”
Alya mengangguk. “Kondisinya katanya kritis.”
Tanpa pikir panjang, Bima menepuk bahunya pelan. “Oke, ikut aku. Kita langsung ke ruangannya.”
Mereka naik lift bersama. Bima mencoba membuka percakapan kecil untuk menenangkan Alya, tapi perempuan itu hanya diam, matanya memandangi angka di layar lift yang naik perlahan.
Cantik dan anggun, batin Bima saat melihat Alya lebih dekat. Saat pernikahan Alya dan Arga, Bima tidak banyak memperhatikan Alya. Tapi ternyata wanita itu punya aura yang begitu menyejukkan jika dilihat lebih dekat.
"Lo beruntung, Ga." Batin Bima lalu mengalihkan pandangannya.
Saat pintu terbuka di lantai 27, suasana kantor terasa lengang. Hanya beberapa lampu masih menyala.
Bima berjalan lebih dulu. “Ruangan Arga di ujung. Biasanya dia masih di sana kalau lagi ngerjain revisi proyek besar.”
Alya mengikutinya, langkahnya cepat karena gugup. Tapi sebelum mereka sampai, keduanya berhenti hampir bersamaan.
Pintu ruang kerja Arga tidak tertutup rapat.
Dari celah itu, terlihat Clara, sekretaris pribadi Arga, berdiri di dekat meja dengan wajah pucat. Salah satu tumit sepatunya patah.
Dan Arga, berada di kursinya, satu tangan menahan pinggang Clara agar tidak jatuh tetapi sambil menoleh, posisi mereka terlihat seperti seseorang yang sedang memeluk atau bahkan menci*um dari jarak dekat?
Clara meringis malu sambil memegangi pergelangan kaki. “Aduh, maaf, Pak. Saya kepleset—”
Tapi Alya tidak mendengar sisanya.
Yang ia lihat hanya satu hal: suaminya memeluk perempuan lain, dengan tangan yang terlihat begitu natural, seolah kedekatan itu bukan hal baru.
Waktu berhenti.
Napas Alya tercekat, dan suara jantungnya berdentum di telinga.
"Arga... " Bentak Bima.
“Mas...” suaranya pelan, nyaris seperti bisikan.
Arga langsung menoleh. Matanya membulat kaget ketika melihat Alya berdiri di depan pintu bersama Bima.
“Alya, ini bukan seperti yang kamu lihat,” katanya cepat, berdiri dari kursi.
Clara langsung menjauh, wajahnya merah padam. “Saya... saya cuma hampir jatuh, Pak.”
Tapi Alya tidak menjawab. Ia memandangi keduanya, dan sesuatu dalam dirinya retak halus, bukan karena cemburu semata, tapi karena momen itu datang di saat terburuk.
Bima melangkah maju, wajahnya menegang. “Lo ngapain ha?"
“Enggak, Bi. ini salah paham” Arga gelagapan.
Sementara Alya menatap Arga lagi. “Aku cuma mau nyampein kabar. Papa... masuk rumah sakit,” suaranya lirih tapi jelas. “Katanya kritis.”
Ruangan itu mendadak sunyi.
Wajah Arga berubah seketika, antara panik dan tak percaya.
“Apa?” suaranya serak.
“Dari rumah. Aku dapat kabar waktu di panti,” lanjut Alya, menahan air matanya agar tak jatuh. “Aku coba hubungi mas, tapi mas gak angkat.”
Arga menatapnya lama, seperti ingin bicara tapi tak tahu harus mulai dari mana.
Bima langsung menepuk pundaknya. “Ga, sekarang lo kelewatan. tapi, biar gue yang antar kalian. Lo gak usah nyetir di saat begini."
Alya menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Aku ikut ke rumah sakit. Tapi setelah itu... aku akan pulang sendiri.”
Arga memandangnya. “Alya—”
“Udah.” Ia tersenyum kecil, tapi matanya tidak ikut tersenyum. “Kita fokus sama Papa dulu.”
Arga tak bisa berkata apa-apa. Yang ia lihat hanyalah punggung Alya yang berjalan pergi dengan langkah mantap.
Dan di saat itu, untuk pertama kalinya, Arga merasa kehilangan sesuatu yang belum sempat benar-benar ia miliki sepenuhnya.
"Gue rasa lo bakal kehilangan dia kalau tetap begini" Bisik Bima, mengikuti Alya.
Lalu Arga berjalan sedikit terburu-buru mengikuti sahabat dan istrinya.
---
Beberapa jam kemudian.
Rumah sakit.
Aroma antiseptik bercampur dinginnya udara malam. Arga berdiri di depan ruang ICU, menatap ayahnya yang terbaring lemah dengan oksigen di hidung.
"Ma? Bagaimana keadaan papa." Tanya Alya saat melihat ibu mertuanya, bu Retno.
“Dokter bilang beliau kena serangan jantung,” ujar Bu Retno pelan di sampingnya. "Kamu mama telepon-telepon gak di angkat, untung Alya mau jemput kamu." Lanjutnya pada Arga.
Arga tidak menjawab.
Kata-kata itu justru membuat dadanya terasa lebih berat. Alya yang tadi sempat salah paham, yang melihat sesuatu yang membuatnya terluka, tetap jadi orang pertama yang peduli.
"Aku antar pulang, Alya. Istirahat saja di rumah." Ucap Arga. Dia melihat jam sudah menunjukkan pukul 21.00.
"Tidak perlu mas, aku akan pulang sendiri. Mas menunggu papa saja."
“Tidak mas. Aku bisa sendiri."
Alya salim kepada Bu Retno lalu salim ke Arga.
Arga menarik napas sedikit, "Biar diantar Bima, yaa." Ucap Arga.
"Tidak mas, itu akan menimbulkan ke salah pahaman." Sahut Alya.
Dan perkataan itu, sukses membuat Arga tertampar.
"Biar aku pesan kan mobil online. Ini perintah dari suamimu. Jangan keras kepala, Alya. Ini sudah malam, pak Hasan pun sudah istirahat." Jawab Arga. Sisi dominannya benar-benar keluar saat itu.
"Baiklah maas. Aku akan menunggu mobilnya di depan." Ucap Alya.
"Ma, Alya pulang dulu. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam... Hati-hati di jalan, nak."
Arga menarik napas panjang, dia melihat istrinya melangkah pelan. Lalu menatap lampu ICU yang berpendar pucat.
Entah kenapa, wajah Alya muncul di pikirannya. Tatapan teduh yang biasanya menenangkan, kini berganti jadi dingin dan jauh.
Dan itu lebih menyakitkan dari apa pun yang pernah ia rasakan.
---
Malam semakin larut.
Arga duduk di kursi tunggu rumah sakit, kemejanya kusut, matanya merah.
Sebuah pesan masuk di ponselnya.
Alya: Aku udah di rumah. Tolong kabari kalau kondisi Papa membaik.
Jaga diri kamu, mas.
Ia membaca pesan itu berulang kali. Lalu mengetik balasan.
Arga: Maaf tentang tadi. Aku akan jelaskan semuanya.
Namun, status pesannya hanya berhenti di terkirim, tidak berubah menjadi terbaca.
Arga memejamkan mata, menahan sesal yang mulai menyesap dalam-dalam.
Dan malam itu, ia menyadari bahwa kehilangan tidak selalu datang karena perpisahan, kadang dimulai dari kesalahpahaman begini.
aku aja klo ngomong diceramahi emosi apalagi modelan arga 🤣🤣