Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Rahasia di Balik Pintu Kos
Yuri keluar dari mobil Ezra dengan tas ranselnya. Jalannya tertatih. Tanpa kata, dia keluar begitu saja dari mobil seniornya. Pikirannya jelas penuh, berkecamuk sana sini, penuh cabang. Jantungnya kembali berdetak dengan keras.
Tadi Ezra sempat menawarkan diri untuk membantu Yuri berjalan, masuk kedalam sampai kosannya, tapi langsung dia tepis pelan, tanda penolakan.
Setelah Yuri masuk ke dalam halaman kosan dan wujudnya nggak kelihatan lagi, Ezra melajukan mobilnya kembali ke rumah dengan perasaan yang sama seperti Yuri, semua berkecamuk.
***
Malam pertama Yuri di tempat baru. Saat ini dirinya sibuk belajar untuk ujian besok, ada dua mata kuliah yang akan di ujikan. Dia fokus dengan materi yang ada di hadapannya, meskipun sesekali pikirannya melanglang jauh ke sosok seniornya, Ezra.
Kalau ingat mantannya sudah menggaet pasangan baru, rasanya dia ingin juga segera memiliki kekasih baru, tapi dia nggak yakin dengan perasaannya. Dia takut, kalau Ezra hanya dia jadikan pelarian dari gengsi karena single. Yuri menggelengkan kepalanya agar kembali fokus belajar lagi.
Rumah utama bapak kos sepi. Yuri berpikir, mungkin keluarga Pak Rudi sedang berpergian karena hari ini juga kan hari Minggu, sebagian orang sedang menikmati waktu liburnya.
Yuri belajar sampai lupa waktu. Jam di ponsel menunjukkan pukul sebelas malam, ia mulai menguap. Yuri berdiri dan berjalan tertatih menuju pintu utama. Ia mau mengecek sekali lagi jendela dan pintu apa sudah tertutup dengan benar karena ia sekarang tinggal sendirian, yang benar-benar sendiri, nggak ada teman kos samping kamar seperti kos lamanya.
"Iya, sayang," samar-samar Yuri mendengar suara seseorang di balik pintu rumah yang baru tempati. Segera ia mendekatkan telinganya buat nguping.
"Hahaha, badan kamu sudah bagus. Mau sekurus apa lagi? Nanti nggak ada yang bisa aku remes loh." lanjut suara di balik pintu.
Yuri bergidik ngeri dengan bahasa yang di pakai si penelepon.
Suara si penelepon terdengar rendah dan serak, seperti menahan sesuatu, "Besok, kita ketemu. Kamu sudah selesaikan datang bulannya?"
Yuri mundur selangkah. Pembicaraan macam apa ini?
"Iya, Sayang. Besok puas-puasin. Pulang kerja besok, kamu aku jemput. Iya tenang saja."
Yuri mengerutkan dahinya, otaknya bekerja dengan cepat. Suara ini, suara di balik pintu kosan barunya. Suaranya familiar banget. Tapi ketawanya? Ketawanya jelas asing.
"Love you, Baby. Muachhh"
Kok mirip suara Pak Kenan?, tebaknya dalam hati.
Yuri langsung menutup mulutnya dan matanya melotot kaget. Serius? Kok bisa?
Kata-kata itu yang terus berputar di otak cerdasnya. Kenapa dosen mudanya ada di depan kosannya?
Bayangan seseorang dari balik gorden masih ada. Yuri mendadak kaku, bingung harus bagaimana. Ia segera berpikir cepat, harus bagaimana saat ini. Yuri jelas nggak menyangka kalau itu benar, dosennya ternyata secabul itu.
"Ya, Halo"
Suara dosennya kembali terdengar, seperti baru menerima telepon lain. Nadanya jelas gembira.
"Iya, kamu Nadya, kan. Tadi Ambu sudah cerita kalau kamu anaknya Prof. Diana. Iya, gimana kabar? Amerika bentar lagi musim panas ya," lanjutnya dengan ramah.
"Kamu lagi apa? Oh... Makan siang."
"Iya, cantik banget kalau kamu pakai mini dress warna cerah gitu."
Yuri yang tadinya kebingungan lagi-lagi mengerutkan dahinya makin bingung. Tadi dia teleponan sama siapa dan sekarang sama siapa lagi?
Suara di balik pintu masih berlanjut, kali ini sibuk tertawa lirih, seolah lawan bicaranya sedang melawak di seberang sana.
"Iya, kamu baik-baik disana. Iya, kalau jodoh pasti nggak ke mana. Pasti, nanti kita ketemu kalau kamu pulang. Aku tunggu Desember nanti. Bye, cantik."
Wah... Yuri jelas merinding sebadan-badan. Kalau benar itu dosennya, ia jelas angkat tangan. Pemain!
Terdengar suara langkah kaki menjauh dan pintu besi berderit dan terkunci.
"Fiuh..."
Yuri menghela napas lega, seolah baru saja tahu rahasia penting dan nyawanya sebagai taruhan. Setelah memastikan seseorang itu sudah nggak ada di sekitar rumah yang dia tempati, dia melanjutkan niatan awalnya dan segera kembali ke dalam kamar.
Yuri jelas yakin itu suara dosennya, tapi bisa saja salah orang, kan. Yuri juga belum memastikan wujud orang yang ada di balik pintu, benar dosennya atau bukan.
Debaran jantungnya belum juga usai, setelah mendengar percakapan 21+, tiba-tiba ponselnya bergetar.
Drrrt drrrt
Suara getaran ponselnya di nakas samping ranjang, membuatnya sedikit kaget. Ada telepon masuk rupanya. Nama Ezra tertera di layar. Dengan enggan Yuri mengangkat teleponnya.
"Halo, Hana."
"Halo," Yuri sambil merebahkan badannya.
"Kok, belum tidur?"
"Ini mau tidur," Yuri terus menjawab tanpa bertanya kembali.
"Besok ujian jam berapa?"
"Siang sampai sore," jawabnya sambil tangannya menahan mulutnya karena menguap, Ezra bisa dengar itu.
"Ya, sudah besok pagi gue ke kosan lo ya. Gue bawain sarapan. Gue juga bakal anterin lo ambil mobil di bengkel."
"Hmmm,"
"Han", panggil Ezra. Suara napas Yuri terdengar teratur, Ezra cuma bisa senyum tipis.
Yuri sudah mulai masuk alam mimpi. Samar-samar suara Ezra terdengar seperti lagu pengantar tidur.
"Sleep tight, Honey. Love you," bagian akhir Ezra menyebutnya lirih dan langsung mematikan sambungan telepon mereka.
***
Pagi-pagi suara kicauan burung terdengar. Tidur Yuri jelas nyaman dengan ponsel yang berakhir di sebelahnya. Dia kembali bergelung di balik guling dan selimutnya.
Drrrt drrrt
Suara getaran ponselnya terus saja berbunyi. Yuri jelas nggak dengar, dia kembali tidur dengan nyenyak.
Lima belas menit kemudian, pintu rumah diketuk cukup keras. Setelah Bi Ati yakin kalau Yuri ada dirumah kali ini, karena ada sepasang sepatu di balik pot.
"Kak, Kak Yuri," suara Bi Ati terus memanggil Yuri. Belum juga ada jawaban dari Yuri, Bibi beralih ke jendela salah satu kamar. Bi Ati kembali mengetuk dan memanggil Yuri dari balik jendela yang gordennya masih tertutup rapat.
"Ngggg," Yuri menggeliatkan badan merasa terganggu paginya kali ini.
"Iya Bi," jawabnya serak sedikit berteriak yang bisa di dengar oleh Bi Ati saat mendengar ketukan berulang di jendelanya.
Yuri berjalan pelan-pelan menuju pintu dan membukanya, "Pagi, Bi. Ada apa ya?" tanyanya sayup-sayup. Di dinding ruang tamu ada jam besar estetik menunjukkan pukul sembilan pagi.
"Di depan ada temannya Kak Yuri, namanya Mas Ezra."
"Oh... oke. Tamu cowok boleh masuk nggak ya Bi sama Bapak?" tanya Yuri sambil tangannya sibuk menggelung rambutnya asal.
"Bapak pernah bilang boleh kok, Kak. Bapak nggak ikut campur buat privasi Kak Yuri atau orang lain."
"Ya sudah kalau gitu. Minta tolong buat dia masuk saja ya, Bi. Ini kaki saya masih sakit," tunjuk Yuri sambil nyengir.
"Ya ampun, Kak. Kakinya kenapa?", kagetnya.
"Keseleo kemarin di kampus, sudah ke dokter juga kok. Makasih ya, Bi." Bi Ati segera berlalu ke depan lagi.
Pintu rumah masih Yuri buka, terdengar ada suara langkah kaki berat mendekat. Yuri yakin kalau itu Ezra.
"Hana," panggilnya sambil masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.
Yuri yang ada di kamarnya rebahan sambil membaca ulang materi kuliah, jelas mendengar suara Ezra masuk dan menutup pintu, tapi dia pura-pura cuek. Debaran jantungnya kembali terasa, dia nggak mau salah tingkah di depan Ezra. Dia berusaha biasa saja.
"Hana," panggil Ezra sekali lagi sambil masuk ke kamar yang pintunya terbuka.
"Bang Ez nggak berangkat ujian?" tanya Yuri tanpa basa-basi saat Ezra masuk dan duduk di tepi ranjang. Tangannya mengelus lembut kaki Yuri yang terpasang perban. Lagi-lagi Yuri merasa perutnya digelitiki.
"Jadwal gue siang hari ini. Sudah sarapan?" Yuri menjawab dengan gelengan.
"Makan yuk, gue bawa nasi kuning, pagi ini suwiran cakalangnya ada."
Yuri cuma menganggukkan kepalanya sambil menggigit dalam pipinya. Dia yakin, wajahnya pasti mulai memerah karena dari tadi Ezra terus memperhatikan dirinya lekat.
***
Kaki Yuri jelas belum bisa buat mengendarai mobil, tapi Yuri kekeh buat ambil mobilnya dari bengkel. Ezra mengiyakan dengan syarat mobilnya dia parkir di rumahnya saja, karena habis ini kan liburan semester. Siapa yang bisa menjamin keamanan dan kalau mobilnya butuh service, Ezra punya orang kepercayaan yang bisa dia suruh. Yuri pasrah saja mengiyakan. Pagi ini dia belum ada menatap lekat wajah Ezra, penglihatannya terus dia alihkan, entah ke ponsel, buku dan lainnya.
"Niatan lepas dari Bang Ezra kenapa susah banget sih," batinnya.
Akhirnya, Yuri menghubungi pihak bengkel kalau mobilnya minta tolong di antar ke alamat yang dia kirimkan nanti sore.
Siang ini Yuri kembali berangkat ke kampus bareng Ezra setelah berdebat sedikit. Yuri cuma diam saja di dalam mobil. Masuk ke dalam kampus, lagi-lagi mereka berdebat dengan segala argumen dan alasan Yuri minta diturunkan di Fakultas MIPA yang cukup jauh dari gedung Fakultasnya alias memutar. Awalnya Ezra nggak setuju, tapi Yuri berusaha meyakinkan kalau dia ada janji sama Widya di sana.
"Hati-hati, Hana," kata Ezra saat mereka tiba, ia langsung mengusap kepalanya sebentar sebelum Hananya keluar dari mobilnya.
"Yuri," panggil Widya dari belakangnya. Mobil Ezra sudah melesat pergi.
"Syukur deh, lo udah datang. Kita naik opang (ojek pangkalan) saja ya ke jurusan," pinta Yuri sambil tangannya memanggil dua ojek pangkalan yang nggak jauh dari Fakultas MIPA berada. Kalau nunggu bis kampus, dia takut nggak keburu. Widya jelas mengiyakan, nggak mungkin juga mereka panas-panas siang bolong gini jalan ke jurusannya, ditambah kaki Yuri masih sakit.
"Lo, ada hubungan apa sih sama Bang Ezra?"